HUTAN TANAMAN INDUSTRI JENIS Acacia mangium SEBAGAI SUMBER PAKAN LEBAH Apis cerana

Agroforestry of Sorgum spp. to Acacia crassicarpa plantation as the bee forage of Apis cerana to support the honey bee culture in Riau Province

 

 

Oleh/by:

Avry Pribadi dan Purnomo

Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan

Jl. Raya Bangkinang-Kuok km. 9 Bangkinang-Riau 28401

avrypribadi@gmail.com

 

 

 

ABSTRACT

Industrial Plantation Forest (IPF) in Riau province generally used Acacia crassicarpa on peatland typed. Corporate Social and Responsbility (CSR) is the provision of land and support of the IPF activities by intercropping with honey bees (silvopastura). Problems. However, the abundance of potential nectar A. crassicarpa is not comparable to availability of pollen source. Pollen is used as a protein source for adult bees and brood. Objectives. (1) evaluated the potency of 12 and 50 month A. crassicarpa nectar and (2) evaluated the effect of sorghum that planted in A. crassicarpa to the development of A. cerana. Results. (1) volume secretion of A. crassicarpa nectar amounted to 42774 cc/day/hectare for ages 12 months and 73766 cc /day/hectare for ages 50 months, (2) A. cerana placed on sorghum intercropped to the PFI of  A. crassicarpa showed the CP value by 58% and significantly different to to the PFI of  A. crassicarpa without sorghum intercropped (31.90%), (3) the honey productivity showed that the highest results in the treatment of the sorghum intercropped (453.3 cc or average of enhancment was 77.37% per observation) while on treatment without intercropped of sorghum showed lower honey production (183.33 cc or enhancment 41.25% per observation), and (4) Sorghum planted on the IPF of A. crassicarpa showed the number of strokes had increased by 0.86 strokes / 30 days or by 15.75% per 30 days) and without sorghum intercropped increased only by 0.29 strokes per 30 days or 6.29% per 30 days .

Key word : Apis cerana, Agroforestry, Acacia crassicarpa, sorghum      

 

 

  1. PENDAHULUAN

Pada propinsi Riau sampai pada saat ini sedikitnya terdapat 3 jenis tanaman yang dijadikan bahan baku bagi industri pulp dan kertas, yaitu Acacia mangium dan Eucalyptus sp. di lahan mineral serta Acacia crassicarpa di lahan gambut (Mindawati, 2010). Beberapa alasan pemilihan A. crassicarpa di lahan gambut adalah species dapat tumbuh dengan baik, memiliki riap yang tinggi, perawatan yang mudah, rendemen yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah, dan kekuatan yang dihasilkan tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007).

Beberapa perusahaan HTI di propinsi Riau telah banyak berkembang, salah satunya adalah PT Arara Abadi (Sinar Mas dengan dengan luasan areal konsesi sebesar hampir 300.000 ha dengan realisasi hampir 200.000 ha (Dishut  Riau, 2006). Perusahaan tersebut juga memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar areal konsesi. Salah satu bentuk yang dapat diupayakan adalah dengan melakukan kegiatan tumpang sari baik dengan penanaman tanaman pangan (agroforestry) ataupun silvopastura yang dilakukan oleh masyarakat sekitar areal konsesi.  Salah satu bentuk kegiatan silvopastura yang memiliki potensi cukup besar untuk ditawarkan kepada masyarakat adalah kegiatan peternakan lebah madu.

Vegetasi hutan tanaman A. crassicarpa sebagai areal peternakan lebah madu diduga dapat dijadikan sumber pakan lebah madu yang melimpah dan bersifat berkelanjutan serta tidak mengenal musim paceklik sehingga dimungkinkan dapat dikembangkan usaha budidaya lebah madu secara menetap (Purnomo, 2010). Hal ini menjadikannya berbeda dengan tehnik beternak lebah madu di pulau Jawa yang menggunakan sistem gembala mengikuti musim bunga sebagai penyedia nectar sehingga dibutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi dan modal yang kuat. Di areal hutan tanaman A. crassicarpa diduga melimpahnya potensi nectar tidak diimbangi dengan ketersedian pollen. Pollen merupakan sumber makanan yang berfungsi sebagai sumber protein bagi kehidupan lebah.

Dengan demikian kurangnya sumber pollen di areal HTI A. crassicarpa perlu dicarikan solusinya yaitu dengan melakukan penanaman tanaman sela jenis serealia , yaitu sorgum (Sorghum spp.). Alasan penanaman sorgum adalah diharapkan ketersedian sumber pollen akan tercukupi ketika tanaman sorgum tersebut mulai berbunga. Adapun tujuan dari studi ini adalah (1) melakukan identifikasi sumber pakan lebah pada areal hutan tanaman A. crassicarpa (2) mengevaluasi pengaruh dari tehnik penanaman sorghum secara agroforestry pada areal hutan tanaman  A. crassicarpa terhadap produktivitas koloni lebah madu jenis Apis cerana.

 

  1. METODE PENELITIAN

II.1 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2010 s.d Desember 2011 (2 tahun). Penelitian identifikasi sumber pakan lebah pada areal hutan tanaman A. crassicarpa ini dilakukan di areal hutan tanaman A. crassicarpa umur 12 dan 50 bulan pada distrik Rasau Kuning milik PT Arara Abadi (Sinar Mas) yang terletak di kab. Siak.

II.2 Pengamatan potensi pakan lebah pada tegakan A. crassicarpa

Studi awal menunjukkan bahwa potensi pakan lebah di areal hutan tanaman A. crassicarpa adalah bersumber dari nectar ekstrafloral (nectar yang sekresikan di luar organ bunga). Pengamatan potensi nectar ekstraflora dilakukan dengan cara mengukur volume sekresi dengan menggunakan mikropipet. Sepuluh tegakan dipilih secara acak dan setiap tegakan dilakukan pemilihan daun berdasarkan strata tajuk (atas, tengah, dan bawah) dan setiap tajuk diambil sampel sebanyak 8 helai mengikuti 4 arah mata angin (utara, selatan, timur, dan barat) sehingga diperoleh 24 helai daun untuk setiap tegakannya. Pengamatan dilakukan setiap jam mulai dari pukul 0630 s.d 1830.

II.3  Pengamatan produktivitas koloni lebah A. cerana pada areal yang hutan tanaman A. crassicarpa

 

Sebanyak 20 stup koloni lebah A. cerana diujicoba dibudidayakan di areal hutan tanaman A. crassicarpa, yaitu sebanyak 10 koloni diletakkan di areal hutan tanaman A. crassicarpa yang diintroduksi sorgum dan 10 koloni sisanya diletakkan di areal hutan tanaman A. crassicarpa yang tidak diintroduksi dengan sorgum . Pengamatan dilakukan dengan melakukan pengukuran luas sisiran anakan terhadap sarang jumlah sisiran dan madu. Tingkat kesehatan lebah pekerja dicari dengan mengukur kadar persentase protein badan lebah pekerja (crude protein/CP) juga diamati. Pengamatan hanya dibatasi pada variable perkembangan koloni lebah.

II.4 Pengolahan dan analisa data

Data volume sekresi nectar yang kemudian dilakukan penghitungan dengan melakukan kalkulasi jumlah sekresi untuk setiap tegakan kemudian untuk setiap hektarnya. Analisa data dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan melakukan komparasi antara potensi nectar pada A.crassicarpa umur 12  dan 50 bulan dan produktivitas koloni lebah A. cerana (CP, perkembangan sisiran, dan produksi madu) yang diberi perlakuan tanaman sela sorgum dan yang tidak diberi tanaman sela sorgum.

 

  • HASIL DAN PEMBAHASAN

 

III.1 Potensi sekresi nectar ekstrafloral tegakan A. crassicarpa

Potensi volume sekresi nectar ekstrafloral A. crassicarpa pada setiap sampel daun menunjukkan nilai yang sama pada seluruh umur tegakan yang diamati (12 dan 50 bulan, yaitu rata 0,035 cc/hari (Tabel 1). Akan tetapi tersebut jika dilakukan penghitungan terhadap volume sekresi nectar pada setiap tegakan akan menghasilkan nilai berupa volume sekresi yang berbeda, yaitu rata-rata 25,69 cc/hari untuk umur 12 bulan dan 44,31 cc/hari untuk umur 50 bulan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan jumlah rataan daun muda per tegakan, yaitu untuk kelompok umur 12 bulan (734 helai daun/tanaman) dan untuk umur 50 bulan (1266 helai daun/tanaman). Angka ini jika dilakukan perhitungan terhadap seluruh tegakan A. crassicarpa per hectare, maka potensi volume sekresi nectar adalah sebesar 42.774 cc/hari/hectare untuk umur 12 bulan dan 73.766 cc/hari/hectare untuk umur 50 bulan.

Tabel 1. Volume rata-rata harian sekresi nectar ekstrafloral tanaman Acacia crassicarpa umur   12 dan 50 bulan

sekresi nectar umur tanaman
12 bulan (cc/hari) 50 bulan (cc/hari)
per daun 0,035 0,035
per pohon 25,69 44,31
per hektar 42.774,00 73.766,00

 

Berdasarkan pengamatan harian terhadap sekresi nectar ekstrafloral pada A. crassicarpa diperoleh bahwa sekresi nectar tertinggi pada tegakan umur 12 bulan terjadi  pada pukul 06.30 s.d 07. 30 yaitu sebesar 0,012 cc/ daun. Nilai ini akan terus menurun sampai pukul 17. 30 dengan volume sekresi hanya mencapai 0,001 cc/ daun dan volume sekresi akan kembali meningkat pada pukul 17.30 dengan volume sekresi mencapai 0,002 cc/ daun (Grafik 1). Sedangkan pada pengamatan harian terhadap sekresi nectar ekstrafloral pada tegakan A. crassicarpa umur 50 bulan diperoleh kecenderungan yang sama dengan pola sekresi nectar pada umur 12 bulan, yaitu tertinggi pada pukul 06.30 s.d 07.30 dengan volume sekresi 0,010 cc/ daun dan terus menurun sampai cenderung tidak berubah pada pukul 10.30 s.d 17.30 dengan volume sekresi hanya mencapai 0,001 cc/ daun dan volume sekresi akan kembali meningkat pada pukul 17.30 s.d 18.30 dengan volume sekresi mencapai 0.003 cc.

 

Grafik 1. Kuantitas sekresi nectar ekstrafloral harian tanaman Acacia crassicarpa pada 2 kelas umur yang berbeda

 

Pola sekresi yang serupa ini diduga disebabkan factor lingkungan, salah satunya adalah factor iklim, yaitu temperatur, kelembaban, dan angin. Kapil (1960) menyatakan bahwa kombinasi antara temperatur dan kelembaban lingkungan akan berpengaruh terhadap tingkat kejenuhan air di udara. Temperatur udara harian menunjukkan pola yang selalu meningkat sampai siang hari dan kembali menurun sampai pada pengamatan sore hari, akan tetapi kecenderungan yang berkebalikan terjadi pada kelembaban udara. Pada siang hari, temperatur yang tinggi dan kelembaban yang rendah diduga akan mempengaruhi tingkat kadar air dari nectar yang disekresi sehingga nectar akan cenderung cepat mengalami kering. Faktor angin juga diduga menambah tingkat kecepatan nectar untuk menjadi lebih cepat kering.

 

III.2  Introduksi tanaman Sorghum spp. pada areal HTI dan produktivitas koloni lebah A. cerana.

 

Tingkat kesehatan koloni lebah dapat dilihat dari persentase protein kasar (crude protein/CP) dari tubuh lebah pekerja A. cerana yang dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi. Nektar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat sedangkan pollen untuk memenuhi kebutuhan akan protein. Hasil analisa menunjukkan bahwa pada lebah A. cerana  yang ditempatkan pada areal plantation yang ditumpangsarikan dengan sorgum menunjukkan nilai CP sebesar 58% dan berbeda nyata dengan lebah A. cerana yang tidak ditumpangsarikan dengan sorgum (31.90%) (Tabel 3). Selain itu pada lebah A. cerana yang diintroduksi dengan sorgum menunjukkan kecenderungan peningkatan kandungan CP rata-rata sebesar 1,013 %, sedangkan pada A. cerana yang tidak diintroduksi sorgum menunjukkan kecenderungan penurunan CP sebesar rata-rata 0,034 % pada setiap pengamatan (30 hari).  

 

Tabel 3.  Kandungan Crude protein (CP) tubuh lebah A. cerana pada 2 lokasi pengamatan.

Pengamatan ke Kandungan (CP) Lebah A. cerana
Introduksi Sorghum spp. Tidak diintroduksi Sorghum spp.
1

2

3

4

56,76

57,00

58,44

59,80

31,60

33,20

31,30

31,50

Rataan 58,00* 31,90

Keterangan: Tanda * di belakang angka menunjukkan nilai yang berbeda nyata (untuk setiap barisnya) pada taraf α= 0.05%

 

Salah satu penanda bagi lebah yang sehat menurut Kleinschmidt (1982) yaitu tubuh lebah mengandung CP antara 40% s.d 67 %. Untuk mendapatkan CP tubuh lebah dengan kisaran di atas 40% koloni lebah harus mengkonsumsi pollen dangan kualitas minimal mengandung protein 18 %. Pollen yang berasal dari tanaman sorgum dari hasil analisa proksimat mengandung protein sebesar 18,68%. Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh informasi bahwa penanaman sorgum akan meningkatkan CP tubuh lebah A. cerana yang kemudian akan berdampak pada tingkat kesehatan lebah dan anakannya (brood).

Menurut Mourizio (1975) pollen merupakan sumber protein yang diperlukan bagi pertumbuhan anak-anak lebah dan perkembangan lebah-lebah dewasa. Selain protein pollen juga mengandung lemak, vitamin dan mineral yang merupakan nutrisi penting bagi lebah. Menurut Dietz (1975), anakan lebah (brood) membutuhkan sebanyak 120 s.d 150 mg pollen untuk mencapai fase dewasanya. Protein yang terkandung dalam pollen berfungsi sebagai materi untuk pembentukan kelenjar hypopherengeal yang terletak pada bagian caput dari lebah yang berfungsi sebagai pembentuk royal jelly.

Pengaruh dari penanaman sorgum pada areal hutan tanaman A. crassicarpa juga dapat dilihat pada perkembangan jumlah sisiran sarang A. cerana (Tabel 4). Perlakuan  penanaman sorgum pada areal hutan tanaman A. crassicarpa menunjukkan jumlah sisiran sarang pada koloni lebah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,86 sisiran/ 30 hari atau sebesar 15,75% per 30 hari, sedangkan yang tidak diintroduksi dengan sorgum hanya terjadi penambahan 0,29 sisiran/ 30 hari atau 6.29% per 30 hari).

 

Tabel 4. Perkembangan jumlah sisiran sarang koloni A. cerana di areal hutan tanaman A. crassicarpa

 

Perlakuan Rata-rata Jumlah Sisiran Sarang per koloni/30 hari
I II III IV V VI
Introduksi Sorghum spp. 4,10 4,25 4,90 6,10 7,70 8,40
 

Tidak diintroduksi Sorghum spp.

4,15 4,40 4,60 5,30 5,30 5,60

 

Keterangan:

Luas 1 sisiran adalah 540 cm2

 

Pada parameter produksi madu menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi produksi madu terdapat pada perlakuan dengan introduksi sorgum yaitu sebesar 453,3 cc/ 30 hari atau meningkat rata-rata sebanyak 77,37% per 30 hari) sedangkan pada perlakuan tanpa introduksi sorgum produksi madu lebih rendah, yaitu sebesar 183,33 cc/30 hari atau hanya meningkat 41,25% per 30 hari (Tabel 5). Pada jenis lebah A. cerana, kekurangan sumber pakan terutama pollen akan berdampak buruk yaitu tidak hanya sampai pada penurunan populasi, akan tetapi dapat sampai pada hijrahnya koloni meninggalkan sarang (absconding) (Woyke, 1976). Bahkan menurut Wongsiri dan Tangkanasing (1987), persentase hijrahnya A. cerana akibat tidak tersedianya sumber pollen dapat mencapai 50%.

 

Tabel 5. Produksi madu A. cerana di areal hutan tanaman A. crassicarpa

Perlakuan Produksi Madu (cc)/ koloni/ 30 hari
I II III IV
Introduksi Sorghum spp. 310 660 1.140 1.670
 

Tidak diintroduksi Sorghum spp.

360 710 780 910

 

Rendahnya jumlah sisiran sarang dan produksi madu pada lokasi yang tidak diintroduksi oleh sorgum menunjukkan bahwa kebutuhan anggota koloni lebah akan gizi khususnya protein yang bersumber dari pollen tidak tercukupi sehingga lebah kurang bersemangat untuk beraktivitas mencari sumber nektar. Selain itu, kekurangan anggota lebah pekerja (akibat minimnya kemampuan ratu lebah untuk bertelur) pada areal yang tidak diintroduksi sorgum menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi madu. Bagi lebah muda keberadaan protein akan berpengaruh terhadap kelenjar hypopharengeal yang kemudian berpengaruh terhadap kemampuan lebah tersebut untuk membentuk pakan bagi larva dan ratu lebah. Berpengaruh langsung terhadap orientasi dari lebah pekerja dalam mencari pakan lebah dan berkomunikasi. Menurut Cale and Ruthenbuhler (1975), perkembangan populasi lebah dipengaruhi oleh beberapa factor salah satunya adalah kemampuan ratu lebah untuk terus bertelur. Kemampuan untuk bertelur ini sangat dipengaruhi oleh makanan (royal jelly) yang diberikan oleh lebah pekerja kepada ratunya dan untuk memproduksi royal jelly koloni lebah membutuhkan pollen dalam jumlah yang cukup. Oleh sebab itu, rendahnya ketersediaan pollen pada lokasi yang tidak diintroduksi sorgum berdampak pada rendahnya kualitas dan kuantitas lebah pekerja yang dihasilkan oleh ratu lebah sehingga produktivitasnya cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan koloni lebah yang diintroduksi oleh sorgum.

 

  1. KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

  1. Potensi volume sekresi nektar tegakan crassicarpa adalah sebesar 42.774 cc/hari/hectare untuk umur 12 bulan dan 73.766 cc/hari/hectare untuk umur 50 bulan.
  2. Lebah cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. crassicarpa yang ditumpangsarikan dengan sorgum menunjukkan nilai CP tubuh lebah sebesar 58% dan berbeda nyata dengan lebah A. cerana yang tidak ditumpangsarikan dengan sorgum (31.90%)
  3. Introduksi penanaman sorgum pada areal hutan tanaman crassicarpa meningkatkan jumlah sisiran sarang koloni lebah A. cerana rata-rata sebesar 0,86 sisiran/ 30 hari atau sebesar 15,75% per 30 hari dan untuk areal hutan tanaman A. crassicarpa yang tidak diintroduksi dengan sorgum hanya mengalami peningkatan sebesar 0,29 sisiran per 30 hari atau 6,29% per 30 hari.
  4. Produksi madu pada perlakuan introduksi sorgum adalah 453,3 cc/ 30 hari atau meningkat rata-rata sebanyak 77,37% per 30 hari, sedangkan pada perlakuan tanpa introduksi sorgum menunjukkan produksi madu lebih rendah, yaitu 183,33 cc per 30 hari atau hanya meningkat 41,25% per 30 hari).

IV.2 Saran

Berbeda dengan usaha beternak lebah madu di jawa yang nomaden/gembala, usaha beternak lebah madu di  hutan tanaman A. crassicarpa dapat berlangsung secara menetap karena tegakan A. crassicarpa menyediakan nectar dengan potensinya yang sepanjang tahun dan tidak mengenal musim. Pengembangan usaha budidaya lebah madu pada skala yang lebih besar pada areal hutan tanaman A. crassicarpa sangat dimungkinkan untuk dilakukan, mengingat potensi nectar ekstrafloral yang disekresikan oleh tanaman A. crassicarpa yang sangat melimpah. Namun demikian kebutuhan gizi bagi koloni lebah khususnya kebutuhan akan pollen  juga perlu diperhatikan yang diantara alternatifnya adalah dengan cara mengintroduksikan tanaman sorgum di areal hutan tanaman A. crassicarpa dengan system agroforestry dan telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas koloni lebah madu yaitu meningkatkan CP tubuh lebah menjadi rata-rata 1,013%/ 30 hari, meningkatkan rata-rata jumlah sisiran sarang sebesar 15,75%/30 hari, dan meningkatkan rata-rata produksi madu sebesar 77,37%/ 30 hari.    

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cale, G.H and Ruthenbuhler, W.C. 1975. Genetics and Breeding of the Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illonois

 

Carr, J.A. 2011. Asian Honeybee; Possible environment impacts.  Department of Sustainability, Environment, Water, Populations and Communities, Public Affairs., Canberra

 

Dietz, A. 1975. Nutrition of the Adult Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illonois

 

Dinas Kehutanan Riau, 2006. Data Statistik Kehutanan Propinsi Riau. http://www.dephut.go.id/files/statistik_dishutriau06_0.pdf‎

 

Kapil, R.P. 1960. Observations of Temperature and Humidity to Apis indica. Journal of Apic Ital (27); pg 79-83

 

Mindawati, N. 2010. Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pulp. Badan Litbang Kehutanan, Bogor

Mourizio, A. 1975. Bienenbotanik. Dadant and Sons Hamilton, Illonois

 

Pasaribu, R.A dan A.P.Tampubolon. 2007. Status Teknologi Pemanfaatan Serat Kayu untuk Bahan Baku Pulp. Workshop Sosialisasi Program dan Kegiatan BPHPS Guna Mendukung Kebutuhan Riset Hutan Tanaman Kayu Pulp dan Jejaring Kerja. (Tidak dipublikasikan).

 

Purnomo. 2010. Potensi Nektar Pada Hutan Tanaman Jenis Acacia crassicarpa untuk Mendukung Perlebahan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok   (tidak dipublikasikan)

 

Verma (1970). Verma, L.R. 1970. A Comparative Study of Temperature Regulation in Apis mellifera L and Apis cerana F. Am Bee Journal (110); pg 390-391

 

Woyke, J. 1976. Brood Rearing Eficiency and Absconding in Indian Honeybees. Journal Apic Res (15); pg 133-143

 

Wongsiri, S and Tangkanasing. 1987. Apis cerana F. Beekeeping in Thailand: unit Chulalongkom University, Bangkok

 

Author: avrypribadi

staff peneliti pada litbang kementrian lingkungan hidup dan kehutanan

Leave a comment