Karakter Madu Hutan Riau

P1000405Karakteristik Madu Hutan Asal Riau (Explorasi Tahun 2015-2016) 

 

Oleh/by:

Avry Pribadi, Michael Daru Enggar Wiratmoko, dan Purnomo

Correspondence: avrypribadi@gmail.com

 

 

Abstract

Riau is the province in which has largest honey productivity compare to other provinces instead. As lowland region, it is assumed that those bioregions will affect honey characteristics. By using official parameter listed on SNI 3545:2013, we want to inform about characteristics of wild honey in Riau`s bioregions. The objective was to convey information about honey characteristics at Riau`s bioregions based on SNI 3545:2013 parameters. The research was done in September 2015 to November 2015. There were 6 bioregions in Riau where honey sample were taken, i.e Bengkalis and Selat Panjang (beach/downstream bioregion), Kampar (secondary mineral forest bioregion), Pelalawan (peat swamp secondary forest bioregion), Rokan Hilir (along side of river bioregion), Siak (Industrial Plantation Forest bioregion), and Teluk Kuantan (palm oil and rubber plantation bioregion). The honey samples were taken by using at least 3 replications. The results showed that Riau`s wild/forest honey characteristics were not significantly different between bioregions. However, the diastase enzyme parameter in Pelalawan`shoney in which representedpeat swamp secondary forest bioregionwas the only parameter that gave highest value. In addition, Riau`s wild/forest honey had passed all of the requirements delivered by Indonesia National Standard (SNI) 3545:2013. The exceptions were given to ash and water content in which have higher level than standard stated in SNI 354:2013.

Keyword: Riau`s wild/forest honey, Apis dorsata, characteristic, Indonesia National Standard (SNI) 3545:2013.

 

  1. PENDAHULUAN

Berdasarkan data dari Ditjen RLPS (2007), produksi madu di Indonesia didominasi oleh madu hutan (70%) dan sisanya (30%) dihasilkan oleh peternakan lebah madu (Apis mellifera dan Apis cerana). Menurut Pribadi and Purnomo (2013) danPurnomo et. al.(2007), Riau merupakan provinsi penghasil madu hutan tertinggi di Indonesia dengan produksi madu mencapai 476,1 ton pada tahun 2008.Sedangkan potensi madu hutan di Sumbawa mencapai 125 ton pertahun, akan tetapi produksi nyatanya hanya mencapai 40 ton (Dinas Kehutanan Sumbawa, 2008). Selain itu, produktivitas madu hutan di Riau lebih stabil sepanjang tahun dan tidak mengenal musim paceklik (Purnomo et. al., 2008).Hal ini berbeda dengan produksi madu hutan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang pada tahun 2011 s.d 2012 tidak menghasilkan madu hutan sama sekali (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2014).Salah satu dugaan penyebabnya adalah keberadaan pohon besar dan tinggi yang disebut sebagai pohon sialang yang merupakan tempat bersarangnya.Hal ini berbeda dengan tehnik yang digunakan oleh masyarakat di provinsi Bangka Belitung dan Kalimantan Barat (TNDS) yang menggunakan sanggau dan tikung untuk tempat bersarang sebagai akibat daripopulasi pohon tinggi yang semakin jarang (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007).Selain itu Sudarmalik et. al., (2006) menyatakan bahwa terdapat 3 faktor penentu yang menjadikan produk madu hutan Riau memiliki keunggulan komparatif adalah kondisi lingkungan fisik yang sesuai, adanya pohon sialang, dan ketersediaan makanan yang melimpah.

Bioregion merupakan suatu lingkungan khas dimana batasnya lebih ditentukan oleh bentang alam yang mendukung keunikan aktivitas komunitas biotik di dalamnya (Thayer,2003). Menurut Bappenas dan Kementrian Lingkungan Hidup (2003), terdapat 5 bioregion di Sumatera berdasar kawasan hutan, yaitu Protected Forest, Conservation Forest, Limited Production Forest, Permanent Production Forest, dan Conversion Forest. Jika menggunakan dasar pembagian kawasan bioregion tersebut maka di bioregion di Riau akan terbagi menjadi beberapa bioregion, yaitu bioregion hutan tanaman Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus sp., bioregion hutan alam rawa gambut, bioregion hutan alam mineral, bioregion perkebunan karet dan kelapa sawit, dan bioregion pesisir pantai (hilir sungai). Riau yang merupakan dataran rendah, memiliki beberapa bioregion yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik madu hutan.Perbedaan jenis vegetasi pada masing-masing bioregion ini diduga berpengaruh terhadap karakteristik madu hutan yang dihasilkan di masing-masing bioregion tersebut.Menurut Aina et. al. (2015) produksi madu pada suatu daerah dapat memberikan gambaran struktur vegetasi dimana nektar yang menjadi makanan lebah diperoleh.Selain itu, Suranto (2007) menyatakan bahwaproduksi dan tipe madu bergantung pada bunga vegetatifalami yang berbunga pada musim yangberbeda.Indonesia memiliki beberapa jenismadu berdasarkan jenis flora yang menjadi sumber nektarnya.

Salah satu nilai yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan karakteristik madu adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 3545:2013 tentang madu (SNI, 2013).Menurut SNI 01-3545-1994, madu adalah cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu berasal dari berbagai sumber nektar. Nektar adalah semacam cairan yang dihasilkan oleh kelenjar nektar tumbuhan dalam bentuk karbohidrat (30-50%)(Harder, 1986; Tam and Gass, 1986; Bogss, 1988).Perbedaan vegetasi yang ada pada bioregion di Riau diduga memberikan pengaruh terhadap karakteristik madu yang dihasilkanseperti sukrosa, fruktosa, glukosa, kadar air, enzim diastase, dan padatan tak larut. Bhalchandra et al. (2014) menyatakan bahwa jadwal pembungaan dipengaruhi oleh tipe tanah, iklim, dan kondisi vegetasi yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas sekresi nektar yang dihasilkan.

Pada penelitian ini digunakan parameter SNI 3545:2013 sebagai dasar untuk mengetahui karakteristik madu hutan asal Riau. Hal ini disebabkan parameter fisika dan kimia yang terdapat padaSNI 3545:2013 merupakan instrument yang resmi untuk menstandarisasi seluruh produk madu di Indonesia (Purnamasari et al., 2015).Di provinsi Riau sendiri sampai saat ini belum ditemui jaminan keaslian dan mutu madu hutan. Oleh sebab itu kecurigaan terhadap madu hutan palsu meskipun produk madu hutan yang diperoleh adalah asliakan selalu muncul (Suranto, 2004; Sujatmaka, 1988).Sehinggatujuan penelitian ini adalah untuk memberi informasi tentang karakteristik madu hutan asal Riau berdasarkan beberapa parameter fisika dan kimia yang ada pada SNI 3545:2013.

II. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di provinsi Riau pada bulan September 2015 s.d November 2015. Pemilihan lokasi pengamatan dilakukan dengan berdasar pada kondisi bioregion yang terdapat di Riau, yaitu (1) kabupaten Bengkalis dan kabupaten Meranti (mewakili kondisi bioregion kawasan hutan pesisir pantai), (2) kabupaten Kampar dan kabupaten Rokan Hulu (mewakili kondisi bioregion kawasan hutan mineral), (3) kabupaten Pelalawan (mewakili kondisi bioregion kawasan hutan gambut), (4) kabupaten Rokan Hilir (mewakili kondisi bioregion hilir sungai), (5) kabupaten Siak (mewakili bioregion kawasan hutan tanaman industri jenis Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus sp.), dan (6) kabupaten Teluk Kuantan (mewakili bioregion kawasan perkebunan karet dan kelapa sawit).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa sidik ragam terhadap tujuh parameter kuantitatif yang terdapat pada SNI 3545:2013 menunjukkan bahwa keseluruhan sampel madu yang diperoleh dari 6  bioregion yang mewakili Riau tidak memberikan nilai yang berbeda kecuali parameter aktivitas enzim diastase.Hal ini menunjukkan bahwa secara umum madu hutan yang berasal dari provinsi Riau memiliki kesamaan karakteristik jika dilihat berdasarkan pada SNI 3545:2013.

III.1 Hidroksimetilfurfural (HMF)

Hidroximetilfurfural (HMF) yang terdapat dalam madu merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari perombakan monosakarida madu (glukosa dan fruktosa), dalam suasana asam dan dengan bantuan kalor (panas) (Achmadi, 1991).Kadar HMF merupakan salah satu indikator kerusakan madu oleh pemanasan yang berlebihan maupun karena pemalsuan dengan gula invert.Hasil analisa menunjukkan tidak adanya perbedaan nilai HMF yang nyata di antara bioregion yang ada di Riau (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi bioregion yang terdapat di Riau tidak mempengaruhi nilai HMF sehingga tidak ada perbedaan kadar HMF pada seluruh sampel madu berbagai bioregion di Riau.

Tabel (Table) 1.    Rata-rata nilai pada parameter HMF pada 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau(Average of HMF value of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Districts) Nilai rata-rata (Mean) (mg/kg)
RokanHulu 36.33 ± 0.58a
Bengkalis 36.33 ± 0.58a
Pelalawan 36.50 ± 0.50a
Siak 36.90 ± 0.89a
Kampar 37 ± 0.71a
Meranti 37.16 ± 0.76a
RokanHilir 37.16 ± 0.28a
TalukKuantan 37.25 ± 0.69a

Hasil one sample t test menunjukkan bahwa seluruh nilai HMF pada sampel madu yang dianalisa berbeda nyata dengan standar yang ditentukan oleh SNI 3545:2013, yaitu maksimal 50 mg/kg.  Hal ini menunjukkan bahwa madu hutan yang berasal dari 8 kabupaten yang mewakili kondisi bioregion di Riau telah sesuai dengan standar SNI 3545:2013.Nilai HMF juga menjadi salah satu parameter dalam penentuan kualitas madu di dunia.CODEX (2011) telah membagi kelompok madu menjadi 6 kelompok berdasarkan kandungan HMF. Jika berdasarkan hal tersebut madu hutan asal Riau tidak memiliki nilai (0) sama sekali karena memiliki kadar HMF ≥ 20 mg/kg.

III.2 Enzim diastase

Menurut Bogdanov et al. (2000), enzim diastase merupakan enzim yang ditambahkan oleh lebah pada saat proses pematangan madu.Diastase (amilase) mencerna pati maltosa dan relatif stabil terhadap panas dan lama penyimpanan.Enzim ini juga banyak mengkatalisis konversi gula lainnya dan terutama bertanggung jawab untuk pola gula pada madu.Diastase memilki peran penting untuk menilai kualitas madu dan digunakan sebagai indikator kemurnian madu karena enzim tersebut berasal dari tubuh lebah. Di beberapa negara aktivitas enzim diastase digunakan sebagai indikator untuk kemurnian dan kesegaran madu (Azeredo et al., 2003). Hasil analisa menunjukkan bahwa terdapat hasil yang berbeda antara 6 lokasi bioregion di Riau, yaitu terendah terdapat pada sampel madu yang diperoleh dari kab.Meranti (3.13 DN) dan tertinggi adalah kab.Pelalawan (3.42 DN). Sedangkan 6 kabupaten yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 2).

Tabel (Table) 2.    Rata-rata nilai aktivitas enzim diastase pada 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Diastase enzyme activity average of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name ofDistricts) Nilai rata-rata (Mean) (DN)
Rokan hulu 3.23 ± 0.15ab
Bengkalis 3.33 ± 0.10ab
Pelalawan 3.42 ± 0.08b
Siak 3.28 ± 0.08ab
Kampar 3.27 ± 0.05ab
Meranti 3.13 ± 0.15a
Rokan Hilir 3.30 ± 0.10ab
Taluk Kuantan 3.30± 0.08ab

          Pada uji one sample t menunjukkan bahwa seluruh sampel madu yang diperoleh memiliki nilai yang berbeda nyata dengan nilai standar minimal yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013.Meskipun seluruh sampel madu menunjukkan nilai di atas standar yang ditentukan oleh SNI 3545:2013, nilai aktivitas enzim dari seluruh sampel madu mendekati nilai minimum (3 DN). Berdasarkan standar yang digunakan oleh Swiss Bee Research Centre (2000), kadar enzim diastase pada madu hutan Riau juga telah memenuhi persyaratan karena berada pada level di atas 3 untuk madu segar.

III.3 Keasaman

Parameter keasaman menunjukkan bahwa madu memiliki sejumlah kandungan asam organik. Menurut Suranto (2004), jenis asam utama yang terdapat dalam madu adalah asam glutamat sedangkan jenis asam organik yang lain adalah asam asetat, asam butirat, format, suksinat, glikolat, malat, proglutamat, sitrat, dan piruvat. Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara nilai rata-rata keasamaan madu diantara bioregion yang ada di Riau (Tabel 3).

Tabel (Table) 3.    Rata-rata nilai aktivitas enzim diastase pada 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Acidity value of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten

(Name of Districts)

Nilai rata-rata (Mean) (ml NaOH/kg)
Kampar 36.50 ± 0.55a
Siak 36.50 ± 0.50a
Taluk Kuantan 36.76 ± 0.71a
Pelalawan 37.10 ± 0.65a
Meranti 37.10 ± 0.45a
Rokan Hilir 37.30 ± 0.26a
Rokan Hulu 37.34 ± 0.57a
Bengkalis 37.34 ± 1.15a

Pada uji one sample t menunjukkan bahwa seluruh sampel madu yang diperoleh memiliki nilai keasaman yang berbeda nyata dengan nilai standar minimal yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013, yaitu maksimal 50 ml NaOH/kg. Jika dikonversi dengan menggunakan tabel alkimetri, derajat keasaman seluruh sampel madu yang diperoleh berada di kisaran pH 5, sementara untuk standart nilai yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013 berada pada kisaran pH 6 s.d 10.

III.4 Kadar sukrosa

Kadar sukrosa menjadi salah satu dalam menentukan palsu atau murninya suatu produk madu.Hal ini disebabkan gula sukrosa merupakan gula majemuk yang belum dipecah oleh enzim amilase atau invertase yang hanya dimiliki oleh lebah. Selama proses pematangan nektar menjadi madu, sukrosa yang berasal dari nektar akan dipecah oleh aktivitas enzim invertase menjadi bentuk gula sederhana yaitu glukosa dan fruktosa. Menurut Sumoprastowo (1993), segera setelah hancurnya sukrosa maka akan terbentuk gula sederhana, yaitu fruktosa dan glukosa dan gula jenis ini tidak terdapat pada nektar (Sumoprastowo,1993). Berdasarkan hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara nilai rata-rata sukrosa pada 6 bioregion yang ada Riau (Tabel 4).

Tabel (Table) 4.    Rata-rata nilai sukrosa madu hutan pada 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Average percentage of sucrose of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Meranti 1.08 ± 0.07a
Rokan Hilir 1.12 ± 0.02a
Kampar 1.12 ± 0.41a
Siak 1.13 ± 0.04a
Pelalawan 1.14 ± 0.04a
Taluk Kuantan 1.14 ± 0.05a
Rokan Hulu 1.15 ± 0.05a
Bengkalis 1.15 ± 0.05a

Hasil uji one sample t menunjukkan bahwa seluruh sampel madu yang berasal dari 6 bioregion yang ada di Riau berbeda nyata dengan nilai sukrosa yang telah distandarkan pada SNI 3545:2013.Hasil analisa menunjukkan bahwa seluruh sampel madu hutan memiliki nilai yang lebih kecil dari disyaratkan, yaitu 5%. Swiss Bee Research Centre (2000) menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok madu berdasarkan kadar sukrosanya, yaitu (1) madu umum yang memiliki kadar sukrosa maksimal 5%, (2) madu yang berasal dari bunga Robinia, Lavandula, Hedysarum, Trifolium, Citrus, Mediacago, Eucalyptus camaludensis, dan Eucryphia memiliki kadar sukrosa maksimal 10%, dan (3) madu yang berasal dari bunga Calomanthus, Eucalyptus scabia, Banksia, Xanthorrhoea, dan embun madu (honey dew) memiliki kadar sukrosa maksimal 15%. Berdasarkan hal tersebut, madu hutan asal Riau yang cenderung multiflora (madu umum) telah masuk pada standar yang dikeluarkan oleh Swiss Bee Research Centre.

III.6 Gula reduksi

            Gula reduksi merupakan salah satu parameter dalam SNI 3545:2013 yang paling sering digunakan dalam menentukan keaslian madu (Maun, 1999).Jenis-jenis gula pereduksi yang terdapat pada madu tidak hanya glukosa dan fruktosa, tetapi juga terdapat maltosa dan dekstrin (Ratnayani, et. al., 2008). Menurut Sihombing (2005) madu kaya akan karbohidrat sederhana karena lebah pekerja meminum nektar dan memuntahkannya kembali sambil menambahkan enzim yang disebut enzim invertase. Sukrosa dari nektar akan diubah seluruhnya menjadi fruktosa dan glukosa sehingga mencapai 85% sampai 95 % dari total karbohidrat pada madu. Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara bioregion yang ada di Riau (Tabel 6).Hal ini menginformasikan bahwa kandungan gula pereduksi pada madu hutan di Riau tidak dipengaruhi oleh kondisi bioregion.

Tabel (Table) 6.    Rata-rata nilai gula reduksi pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Average percentage of reduction sugars of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Pelalawan 60.72 ± 0.25a
Kampar 60.73 ± 0.30a
Siak 60.78 ± 0.30a
Talukkuantan 60.82 ± 0.42a
Meranti 60.83 ± 0.57a
Rokan Hilir 60.83 ± 0.28a
Bengkalis 61 ± 0.50a
Pelalawan 60.72 ± 0.25a

III. 5 Gula reduksi 

Jika dibandingkan dengan nilai pada SNI 3545:2013, kadar gula pereduksi menunjukkan perbedaan yang nyata dan berada di bawah nilai SNI 3545:2013, yaitu 65%. Nilai gula pereduksi erat hubungannya dengan kadar sukrosa. Enzim diastase yang disekresikan oleh lebah akan mengubah kadar sukrosa (gula komplek) menjadi gula sederhana (reduksi) seperti glukosa dan fruktosa. Sehingga kombinasi nilai sukrosa dan gula pereduksi sering dijadikan dasar dalam menentukan keaslian madu.

Kondisi bioregion yang didominasi oleh dataran rendah dan waktu pengambilan sampel yang dilakukan pada musim kemarau diduga mempengaruhi nilai gula reduksi madu hutan. Bahkan menurut Sihombing (2005), suhu dapat mempengaruhi produksi nektar tanaman sumber pakan, semakin tinggi suhu lingkungan maka nektar yang dihasilkan tanaman sumber pakan lebih sedikit, namun kandungan sukrosa pada nektar semakin meningkat dan sebaliknya. Hal ini yang menyebabkan kandungan glukosa madu

III.6 Padatan tak larut

         Padatan tak larut pada madu adalah senyawa organik dan anorganik yang tidak larut oleh cairan madu seperti pasir, potongan daun, bagian tubuh serangga, dan lain-lain (Utami, 2015).Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara keenam sampel madu yang diambil dari 6 bioregion di Riau (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa nilai padatan tidak larut yang berasal dari sampel madu di seluruh Riau adalah sama, meskipun berasal dari bioregion yang berbeda.

Tabel (Table) 7. Rata-rata nilai padatan tak larut pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Average percentage of unsoluble substancesof wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Taluk kuantan 0.02 ± 0.002a
Kampar 0.02 ± 0.001a
Siak 0.02 ± 0.004a
Bengkalis 0.02 ± 0.005a
Meranti 0.02 ± 0.005a
Pelalawan 0.02 ± 0.003a
Rokan Hulu 0.02 ± 0.005a
Rokan Hilir 0.02 ± 0.003a

          Hasil one sample t test dengan menjadikan nilai SNI 3545:2013 sebagai benchmark, menunjukkan bahwa nilai padatan tak larut pada seluruh sampel madu berbeda nyata dan jauh berada di bawah nilai maksimal standar yang disyaratkan, yaitu 0,5 %. Menurut Purnomo et al. (2008), proses panen madu yang higienis dapat meningkatkan kualitas madu hutan yang salah satu caranya adalah dengan hanya memotong sisiran sarang dan menggunakan tehnik ekstraksi yang tepat (sistem tiris dan peras). Tehnik pemanenan dengan hanya memotong sisiran madu akan mengurangi tercampurnya madu dengan bahan organik atau kotoran lain seperti anakan lebah yang dapat meningkatkan persentase padatan tak larut pada madu dan proses fermentasi madu.

III.7 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kualitas madu. Nilai kadar air maksimum yang diijinkan oleh SNI 3545:2013 adalah sebesar 22%. Hasil analisa menunjukkan bahwa seluruh sampel madu hutan yang diperoleh dari 6 bioregion di Riau adalah tidak memenuhi syarat karena lebih dari yang dipersyaratkan (Tabel 9). Bahkan, berdasarkan batasan yang dikeluarkan oleh CODEX (2011) yang juga menyantumkan parameter kadar air sebagai salah satu persyaratan madu dunia, madu hutan asal Riau tidak memenuhi persyaratan karena memiliki kadar air lebih dari 19,6%. Informasi lain yang diperoleh adalah kadar air madu hutan menunjukkan tidak berbeda nyata antara 7 bioregion yang ada di Riau. Hal ini menginformasikan bahwa secara umum kadar air madu hutan di seluruh bioregion di Riau baik yang berasal dari daerah hulu (kawasan hutan) dan daerah kepulauan adalah sama (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air madu hutan di seluruh bioregion adalah sama dan perbedaan karakteristik bioregion tidak mempengaruhi kadar air madu hutan di Riau.

Tabel (Table) 8. Rata-rata nilai kadar air pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Average percentage of water of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Taluk Kuantan 23.83 ± 0.81a
Kampar 24 ± 1.04a
Siak 24 ± 0.83a
Bengkalis 24 ± 1a
Meranti 24.33 ± 0.57a
Pelalawan 24.5 ± 1a
RokanHulu 24.67 ± 1a
RokanHilir 24.8 ± 0.76a

 

Beberapa faktor yang menyebabkan nilai kadar air madu hutan di Riau tinggi adalah kelembaban (Sarwono, 2007 dan Rohmawati, 2007)) dan tingkat kematangan madu (Nuryati, 2006). Madu yang memiliki sifat higroskopis akan mudah menyerap kandungan air yang berada di udara bebas. Jika kelembaban udara tinggi, maka kadar air madu akan semakin tinggi pula. Bahkan menurut Sarwono (2007), jika kelembaban 51%, maka kadar air madu mencapai 16.1 %, akan tetapi jika kelembapan udara mencapai 81% maka kadar air madu dapat mencapai 33,4% (Sarwono, 2007). Nuryati (2006) menyatakan bahwa Indonesia memiliki angka kelembaban udara relatif yang tinggi, yaitu 80 %. Madu dengan kadar air 18,3 % atau lebih kecil dari itu, akan menyerap uap air dari udara pada kelembaban relatif di atas 60 %, kadar air yang tinggi dapat mempercepat proses fermentasi di dalam madu.Tingkat kematangan madu juga mempengaruhi kadar air madu hutan. Menurut Purnomo dan Pribadi (2013), madu yang matang adalah madu yang telah ditutup oleh lilin. Panen madu dari sisiran madu yang telah tertutup lilin sedikitnya 80% akan mengurangi tingkat kerentanan madu dari fermentasi. Hal ini disebabkan karena rendahnya kadar air pada madu tersebut. Menurut Prasetyo et al. (2011), jika kadar air lebih dari 20% maka madu akan sangat rentan terhadap fermentasi.Tingginya kadar air madu hutan melebihi yang dipersyaratkan oleh SNI 3545:2013, sering kali menjadi permasalahan bagi madu hutan. Berbeda dengan madu ternak A. mellifera dan A. cerana yang berada pada kondisi terkontrol, madu hutan sangat dipengaruhi oleh kelembaban di udara karena posisi sarang yang berada pada dahan pohon dan bersentuhan langsung dengan udara bebas.

III.8 Uji Organoleptik

Menurut Wagiyono (2003), pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan. Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan (stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan benda penyebab rangsangan.

Sampel madu hutan yang berasal dari 6 bioregion di Riau menunjukkan bau dan rasa khas madu (Tabel 9).Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rasa dan bau pada jenis madu yang ada di Riau. Jika dilakukan perbandingan dengan SNI 3545:2013, rasa dan bau madu hutan asal Riau adalah sama. Pengukuran standar rasa dan bau madu hutan ini tidak memiliki standar kuantitas yang jelas karena hanya berdasarkan pada penilaian sang ahli.

Tabel (Table) 9.    Parameter rasa dan bau (organoleptik) pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Organoleptic test/ flavor testof wild honey of Riau`s bioregions).

Kabupaten

(Name of Districts)

Penilaian (Remark)
Taluk Kuantan Khas madu
Kampar Khas madu
Siak Khas madu
Bengkalis Khas madu
Meranti Khas madu
Pelalawan Khas madu
Rokan Hulu Khas madu
Rokan Hilir Khas madu

Selain parameter berupa rasa dan bau, terdapat parameter berupa warna madu yang dapat dijadikan faktor untuk menentukan jenis madu.Meskipun parameter warna tidak masuk pada SNI 3545:2013, penggunaan standar warna telah banyak dilakukan di negara-negara Eropa (British Honey Company, 2015) dan Amerika Serikat (Sanford, 2003).Berdasarkan standar yang diberikan olehFlottum and Marchese (2013) terdapat 7 tingkatan warna madu mulai dari water white yang paling terang sampai dengan dark amber yang paling gelap.Jika dibandingkan dengan standar tersebut maka kelompok madu hutan yang berasal dari 6 bioregion di Riau berada pada 4 kategori terakhir (Tabel 10).

Tabel (Table) 10. Parameter warna madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (The color of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten

(Name of Districts)

Penilaian (Remark)
Taluk Kuantan Light Amber (50-85 mm)
Kampar Light Amber (50-85 mm) s.d Dark Amber (114-140 mm)
Siak Amber (85-114 mm)
Bengkalis Light Amber (50-85 mm)
Meranti Dark Amber (114-140 mm)
Pelalawan Light Amber (50-85 mm)
Rokan Hulu Extra Light Amber (34-50 mm) s.d Dark Amber (114-140 mm)
Rokan Hilir Amber (85-114 mm)

Tingkat warna madu bergantung pada sumber nektar dan komposisi mineral dari tanah dimana tumbuhan penghasil nektar tersebut tumbuh.Sebagian masyarakat beranggapan bahwa warna madu yang terang menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan madu yang berwarna gelap.Akan tetapi, menurut Somerville (2005), madu yang memiliki warna lebih gelap memiliki kandungan mineral yang lebih banyak dibandingkan madu yang berwarna terang (Tabel 11). Selain kandungan mineral, madu yang memiliki warna lebih gelap juga menunjukkan kandungan senyawa phenolik yang lebih tinggi dibandingkan madu warna terang (Lachman et al., 2010). Akan tetapi untuk bioregion berupa hutan alam mineral yang diwakili oleh kab. Kampar dan kab. Rokan Hulu terdapat sampel madu yang menunjukkan kisaran warna dari extra light amber dan light amber sampai dark amber. Hal ini menunjukkan bahwa warna sampel madu yang berasal dari bioregion hutan alam mineral belum dapat dijadikan penanda yang khas karena memiliki kisaran warna yang masih terlalu luas. Selain itu, madu hutan asal Riau memiliki kecenderungan warna gelap dan tidak terlihat perbedaan antara warna madu yang berasal dari setiap bioregion, baik yang berasal dari bioregion hutan alam mineral maupun bioregion hutan tanaman ataupun perkebunan kelapa sawit dan karet. Bahkan pada bioregion yang memiliki karakteristik hampir sama (daerah pesisir) di kabupaten Bengkalis dan kabupaten Meranti menunjukkan perbedaan warna. Hal ini menguatkan bahwa kondisi bioregion yang ada di Riau tidak mempengaruhi warna madu hutan.

Tabel (Table) 11. Perbandingan komposisi mineral pada madu berwarna gelap dan terang (Comparison of mineralconstituents of dark and light honey) (Petrov, 1970).

Mineral Madu Berwarna Gelap (Dark Amber) (mg/kg) Madu Berwarna Terang (Light Amber) (mg/kg)
Ca 227 107
Cu 1 1
K 1241 441
Mg 132 40
Mn 10 1
Na 23 251
P 123 129
Zn 2 3

Selain dengan menggunakan parameter SNI 3545:2013 dalam penentuan karakristik madu hutan, terdapat beberapa pendekatan lain yang dapat digunakan, yaitu analisa fitokimia, analisa mineral, analisa melissapalynology dan asam organik. Kelemahan dalam menggunakan metode SNI 3545:2013 dalam penentuan karakteristik madu adalah hanya terbatas pada pengujian yang sifatnya lebih dekat pada penentuan tingkat keaslian madu.Pendekatan dengan menggunakan analisa fitokimia digunakan untuk menentukan ciri senyawa aktif yang memiliki kemampuan tertentu atau efek yang bermanfaat (Robinson, 1991) dan terdiri atas alkaloid, flavonoid, steroid, saponin, terpenoid, dan tanin (Harborne, 1984). Misalnya adalah madu Manuka yang berasal dari Selandia Baru yang memiliki 5 komponen bahan aktif utama yang menjadi ciri khas madu Manuka, yaitu phenylacetic acid, phenyllactic acid, 4-methoxyphenyllactic acid, leptosin, dan methyl syringate (Tuberoso et. al., 2009; Stephen, et. al., 2010).

III.9 Analisa palynology

Analisa palynology merupakan analisa pollen yang terdapat pada madu. Menurut Ohe et al. (2004), pada sel madu juga sebenarnya terkandung pollen dan embun madu yang dapat mengandung algae dan spora jamur. Kedua kombinasi ini terutama pollen merupakan kunci yang dapat digunakan sebagai tanda pengenal dan asal usul madu berasal. Bahkan, analisa melissapalynology merupakan pengujian tentang asal usul madu yang lebih akurat dibandingkan uji fitokimia yang membutuhkan data pembanding yang berasal dari berbagai tumbuhan yang terdapat pada vegetasi tersebut. Selain itu menurut Russmann (1998), analisa pollen pada madu juga dapat memberikan informasi mengenai tingkat fermentasi madu, tehnik ekstraksi dan penyaringan madu yang digunakan, dan senyawa yang mengkontaminasi madu seperti abu (Louveaux, et al., 1978).

Berdasarkan analisa palynology, diperoleh informasi bahwa terdapat 9 tipe pollen pada sampel madu yang berasal dari 6 bioregion yang ada di Riau (Tabel 12 dan 13). Hasil ini dapat digunakan sebagai salah satu tanda pengenal bagi suatu madu (asal usul madu). Misalnya adalah, madu yang berasal dari kab. Bengkalis dan Meranti yang memiliki bioregion hutan pesisir memiliki karakteristik pollen yang didominasi tipe prolate spheroidal (91,46 %) dengan didominasu ukuran minute (10-25 µm) (97,56%). Hal ini berbeda dengan madu hutan yang berasal dari kawasan bioregion hutan mineral (kab. Kampar dan kab. Rokan Hulu) yang memiliki karakterisitik tipe pollen yang didominasi tipe prolate spheroidal (36,04% dan 38,20%) dan tipe oblate spheroidal (32,51% dan 55,06%) dengan ukuran minute dan mediae (25-50 µm).

Tabel (table) 12.   Persentase tipe pollen pada 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Percentage of pollen types at Riau`s bioregions). 

Lokasi (locations) Persentase tipe pollen (% of pollen types)
Sub Olate Oblate Prolate spheroidal Sub Spheroidal Oblate Spheroidal Prolate Perprolate Sub prolate
Bengkalis 4.94 2.47 91.36 1.23
Kampar 2.83 36.04 4.59 32.51 2.83
Pelalawan 0.28 91.60 8.12
Rokan Hilir 64.61 3.75 28.28 0.94 0.19 2.25
Siak 13.33 65.00 13.33 8.33
Meranti 7.37 1.05 1.05 75.79 11.58 2.11 1.05
Taluk Kuantan 59.88 20.99 15.43 3.70
Rokan Hulu 38.20 55.06 1.12 5.62

Selain itu untuk bioregion yang memiliki kecenderungan homogen (hutan tanaman dan perkebunan) menunjukkan bahwa adanya perbedaan untuk tipe dan ukuran pollennya. Untuk karakteristik pollen yang berasal dari bioregion yang didominasi oleh tegakan hutan tanaman (A. mangium, A. crassicarpa, dan Eucalyptus sp.) yang diwakili oleh kab. Siak menunjukkan bahwa tipe pollen prolate spheroidal (64,61%) (Tabel 12) dengan kelompok mediae (66%) (Tabel 13) mendominasi kelompok dan ukuran pollen. Hal ini berbeda dengan bioregion perkebunan kelapa sawit dan karet yang menunjukkan bahwa pollen didominasi oleh tipe sub olate (59,88%) dengan ukuran minute (73,48%).

Tabel (table) 13.   Persentase ukuran pollen pada 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Percentage of pollen size at Riau`s bioregions).

Lokasi (locations) Persentase ukuran pollen (% of pollen size)
Perminute Minute Mediae Magnae
Bengkalis 97.56 2.44
Kampar 31.51 53.70 14.79
Pelalawan 91.04 8.12 0.84
Rohil 66.61 32.37 1.02
Siak 16 66 18
Selat panjang 14.74 84.21 1.05
Taluk Kuantan 73.48 25.76 0.76
Rohul 47.73 48.86 3.41


IV. KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

  1. Karakteristik madu hutan yang berasal dari beberapa bioregion di Riau adalah tidak berbeda kecuali parameter enzim diastase pada madu hutan di kabupaten Pelalawan yang mewakili bioregion hutan rawa gambut yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan bioregion lainnya.
  2. Jika dibandingkan dengan nilai SNI 3545:2013, madu hutan yang berasal dari beberapa bioregion di Riau menunjukkan ketidaksesuaian dengan standar yang berlaku pada parameter kadar abu, gula reduksi, dan kadar air. Sedangkan parameter lainnya menunjukkan kesesuaian dengan standar yang berlaku.
  3. Karakteristik madu hutan asal Riau berdasarkan tipe dan ukuran pollen menunjukkan perbedaan antara bioregionnya.

 

IV.2 Saran

         Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa parameter kadar air madu hutan yang berasal dari bioregion di Riau selalu tidak dapat memenuhi syarat yang diberikan oleh SNI 3545:2013. Oleh sebab itu, sering kali produk madu hutan gagal dalam melewati pengujian kadar air. Sehingga diperlukan adanya kajian mengenai kemungkinan review SNI 3545:2013 untuk memperbaiki atau memperbaruinya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 1991. Analisis Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Staf Laboratorium Pusat Perlebahan Nasional Parung Panjang.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor

Aina, D. O., Enefola, J. O., and Agwu, C. O. C. 2015.Palynological Study of Honey Samples from Four Localities in Kogi East, Nigeria.Journal of Biology and Life Science. Vol. 6 (1), p: 29-36.

Azeredo, L D; Azeredo, M A A; De Souza, S R; Dutra, V M L. 2003. Protein contents and physicochemical properties in honey samples of Apis mellifera of different floral origins. Food Chemistry 80 (2): 249-254

Bappenas dan Kementrian Lingkungan Hidup.2003. Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Bappenas, Jakarta

Bhalchandra, W., Baviskar, R.K., and Nikam T.B. 2014 Diversity of Nectariferous and Polleniferous Bee Flora at Anjaneri and Dugarwadi Hills of Western Ghats of Nasik district (M. S.) India. Journal of Entomology and Zoology Studies.Vol  2 (4), p: 244-249

Bogss, C.L. 1988. Rates of Nectar Feeding in Butterflies: Effects of Sex, Size, Age, and Nectar Concentration. Functional Biology. Vol 2, p: 289-295

British Honey Company. 2013.  Pfund Colour Scalehttp://www.oxfordhoney.uk/pfund-colour-scale/

 

CODEX.2011. Fairtrade Standard for Honey for Small Producer Organizations. Fairtrade International, Germany. http://www.fairtrade.net/standards.html

 

Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy-Angiosperms:

An Introduction to the Study Pollen Grains and Spores. Munksgard, Copenhagen

Hadisoesilo, S. dan Kuntadi. 2014.  Faktor Penyebab Kegagalan Panen Madu Hutan di Taman Nasional Danau Sentarum Pada Musim Panen Tahun 2009-2012: Jaringan Madu Hutan Indonesia. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam vol 11 (2), hal: 171-182

Harder, L.D. 1986.Effects of Nectar Concentration and Flower Depth on Flower Handling Efficiency of Bumble Bees.Oecologia. Vol. 69, p: :309-315

 

Lachman, J., HeJtmánkoVá, L., Sýkora, J., Karban, J., Orsák, M., and RygeroVá, B. 2010. Contents of Major Phenolic and Flavonoid Antioxidants in Selected Czech Honey. Czech J. Food Sci vol 28 (5), p: 412–426

 

Louveaux J., Maurizio A., and Vorwohl G. (1978) Methods of Melissopalynology. Bee World 59, p: 139– 157.

Maun, S. 1999. Pemalsuan Madu dengan Sakarosa. Jurnal Kedokteran Trisakti 18 (1), hal: 9-19

 

Nuryati, S. 2006. Laporan Penelitian: Status dan Potensi Pasar Madu Organis Nasional dan Internasional. Editor : J. Indro Surono. Aliansi Organis Indonesia, Bogor

 

Ohe, W.V.D., Oddo, L.P., Piana, M.L., Morlot, M. and Martin, P. 2004. Harmonized Methods of Melissopalynology.Apidologie. Vol 35, p: S18–S25

 

Petrov, V. 1970.Mineral Constituents of Some Australian Honeys as Determined by Atomic Absorption Spectrophotometry.Jpurnal of Apicultural Research. Vol. 9, p: 95-101

 

Purnamasari, N., Aprilia, H., dan Sukanta. 2015. Pembandingan Parameter Fisikokimia Madu Pahit (Aktivitas Enzim Diastase, Gula Pereduksi (Glukosa), Keasaman, dan Cemaran Abu dan Arsen) dengan Madu Manis Murni. Prosiding Penelitian SPeSIA. Hal:46-50

Ratnayani, K.N.M.A.,Adhi, D.S dan Gitadewi,I.G.A.M.A. S.2008. Penentuan Kadar Glukosa dan Fruktosa pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Jurnal Kimia  2 (2), hal: 77-86

 

Robinson, T. 1991. The Organic Constituen of Higher Plants 6th ed. Departement of Biochemistry University of Massachusetts, Massachusetts

 

Sarwono, B. 2007. Lebah Madu. AgroMedia Pustaka, Jakarta

 

Sumoprastowo, R. M., 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol, Bhratara, Jakarta

 

Sanford, M.  2003. Honey Judging and Standards1.

http://entnemdept.ufl.edu/honeybee/extension/AA24800%20Honey%20Judging%20and%20Standards.pdf

Sujatmaka.1988, Menghasilkan Madu Berkualitas Tinggi. Majalah Trubus, 4 (I) : 24-25

 

Suranto, A. , 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Agromedia Pustaka, Tangerang

 

Russmann, H. 1998. Hefen und Glycerin in Blütenhonigen– Nachweis einer Gärung oder einerabgestoppten Gärung,  Lebensmittelchemie. Vol 52, p: 116–117.

Smith, M., & Galán, C. (1978). Pollen morphology.

http://www.eaaci.org/attachments/Pollen%20morphology%20-%20Matt%20Smith%20Carmen%20Galan.pdf. Diakses 29 Juli 2016

Sudarmalik, Rochmayanto, Y., dan Purnomo. 2006. Peranan Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Riau dan Sumatera Barat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, hal: 199-219

 

Swiss Bee Research Centre. 2011. Honey Quality, Methods of Analysis and International Regulatory Standards: Review of the Work of the International Honey Commision. Federal Dairy Research Institute, Bern

Thayer, R.L., Jr. 2003. Life Place, Bioregional Thought and Practice. Berkeley: Universitas Of California Press, California

Tuberoso, C.I., Bifulco, E., Jerkovic, I., Caboni, P., Cabras, P., Floris, I. 2009. Methyl syringate: A Chemical Marker of Asphodel (Asphodelus microcarpus Salzm. et Viv.) Monofloral Honey. Journal. Agriculture Food Chem. Vol 57, p: 3895−3900

Utami, 2015. Tinjauan Pustaka. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44295/5/Chapter%20II.pdf

Wagiyono. 2003. Menguji Kesukaan secara  Organoleptik. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. http://psbtik.smkn1cms.net/pertanian/agroindustri/agroindustri_non_pangan/menguji_kesukaan_secara_organoleptik.pdf

 

Hama dan Penyakit Apis cerana

Hama dan Penyakit pada Lebah Apis cerana Fabr.pada Pemeliharaan

di Areal Hutan Tanaman Acacia mangium Wild. Dan Acacia crassicarpa Wild.

 

Oleh/by:

Avry Pribadi

Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

 

 

Abstrak

Pembangunan hutan tanaman industri dengan menggunakan jenis Acacia mangium dan Acacia crassicarpa tidak hanya memberikan keuntungan bagi industri pulp dan kertas dalam hal pemenuhan bahan bakunya, akan tetapi juga mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar areal konsesi. Salah satunya adalah melimpahnya sumber pakan lebah madu berupa nektar yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya lebah A. cerana.Sebagai suatu organisme,lebah A. cerana rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Tujuan penulisan ini adalah menginformasikan hama dan penyakit pada koloni lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa beserta tehnik pengendaliannya. Beberapa hama dominan yang menyerang koloni lebah A. cerana  di areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa adalah wax moth (ngengat lilin), beruang madu, dan tabuhan. Kekurangan nutrisi berupa protein adalah penyakit yang umum dijumpai pada koloni lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa adalah sebagai akibat kurang tersedianya pollen (tepung sari). Menjaga tingkat kesehatan lebah A. cerana adalah usaha yang dapat digunakan untuk mencegah serangan hama dan penyakit.

Kata Kunci: Hama dan Penyakit, Apis cerana, Acacia mangium, Acacia crassicarpa

PENDAHULUAN

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak tahun 1984 ditujukan untuk pemenuhan bahan baku bagi industry pulp dan kertas di Indonesia. Kementerian Kehutanan (2014) menyatakan bahwa luasan HTI di seluruh Indonesia mencapai angka 10 juta hektar.Sedangkan di propinsi Riau, luas areal yang dijadikan HTI mencapai 820.000 ha (Jikalahari, 2004).Adapun jenis tegakan yang banyak dipilih oleh perusahaan pemegang areal konsesi HTI adalah Acacia mangiumdi lahan mineraldan Acacia crassicarpauntuk di lahan gambut. Alasan pemilihan jenis A. mangiumdan A. crassicarpasalah satunya adalah berdasarkan kualitas kayunya yang berada pada kelas I s.d II (pada kategori berat jenis dan kadar air), kelas II (pada kategori kadar lignin dan selulose, dan kelas I s.d II (pada kategori dimensi serat) (Suhartati et. al., 2013).Selain itu, A. mangium termasuk jenis tanaman HTI yang memiliki kemampuan tumbuh yang cepat dan mudah tumbuh pada kondisi lahan yang rendah tingkat kesuburannya, seperti pada lahan marginal dengan pH rendah, tanah berbatu serta tanah yang tereorsi(Leksono dan Setyaji, 2003).

Menurut Mindawati (2010), keuntungan pembangunan hutan tanaman adalah bersifat ramah lingkungan, berperan dalam mengendalikan erosi tanah, mengatur tata air, memelihara kesuburan tanah, dan sampai batas tertentu membantu penyerapan karbon dari udara.Selain itu,homogenitas tegakan A. mangium dan A. crassicarpa memiliki keuntungan dalam hal penyediaan pakan bagi lebah madu. Menurut Pribadi dan Purnomo (2013), potensi pakan lebah madu berupa nektarpada hutan tanaman A. crassicarpa umur 5 tahundapat mencapai 84,59 liter/ha/hari. Sedangkan menurut Purnomo et al. (2009), pada areal hutan tanaman A. mangium umur 1 dan 3 tahundapat menghasilkan nektar masing masing sebanyak83,25 liter/ha/hari dan 141,52 liter/ha/hari.

Apis cerana adalah salah satu jenis lebah lokal yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat desa di Indonesia).Meskipun memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan lebah Apis mellifera, jenis ini banyak dipilih oleh masyarakat terutama daerah pedesaan karena kemudahan dalam usaha budidayanya (Morse, 1985) dan lebih tahan serangan hama tungau (Varroa destructor) yang menyebabkan kerusakan parah jika menyerang lebah Apis mellifera. Permasalahan yang kemudian muncul dalam pengelolaan lebah A. ceranayang dibudidayakan pada areal hutan tanamanA. mangium dan A. crassicarpa adalah serangan hama dan penyakit. Meskipun lebah  A. cerana memiliki kecenderungan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dibandingkan jenis lebah A. mellifera, serangan hama dan penyakit pada koloni lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa dapat menyebabkan lari dari kotak pemeliharaanya (absconding).

Oleh sebab itu, tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menginformasikan hama dan penyakit pada koloni lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa beserta aspek pengendaliannya.

Hama

Definisi hama adalah organisme hidup yang kehadirannya adalah tidak diinginkan karena dapat menyebabkan kerusakan bahkan kematian pada tanaman, manusia ataupun hewan (dalam hal ini adalah lebah madu) (USAID, 2010). Berbeda dengan penyakit,  ciri-ciri hama menurut Rianawaty (2011) antara lain (1) dapat dilihat oleh mata telanjang, (2) umumnya dari golongan hewan (tikus, burung, serangga, ulat dan sebagainya), dan (3) cenderung merusak bagian tertentu saja. Terdapat beberapa jenis hama yang menyerang koloni lebah A. cerana di hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa, yaitu:

  1. Hama Ngengat lilin /Wax moth

Ngengat lilin (Galleria sp.)(Lepidoptera) merupakan salah satu kelompok serangga yang berasal dari ordo Lepidoptera yang menyerang sarang lebah A. cerana.Gejala koloni lebah A. cerana yang terserang hama ini adalah mengalami kemunduran pertumbuhan sisiran dan cenderung mengelompok pada satu sisi stup. Bahkan menurut Koetz (2013), meskipun jenis lebah A. cerana relatif lebih kuat dibandingkan A. mellifera, lebah A. cerana sangat rentan terhadap serangan hama wax moth. Sedangkan tanda kehadiran hama ini adalah keberadaan serat-serat kapas yang lengket dan bahkan terkadang serat kapas tersebut melengketkan antar sisiran (Gambar 1).Kerusakan yang ditimbulkan dimulai dengan memakan sisiran sarang yang terbuat dari lilin dan jika telah rusak maka hama ini akan mulai berkembang di dalam sarang. 

Siklus hidup Galleria sp. serupa dengan anggota kelompok ordo Lepidoptera yaitu metamorphosis sempurna.Fase dimulai dari fase telur yang diletakkan di dalam sisiran sarang oleh ngengat betina dewasa pada malam hari dan ditempatkan pada lokasi yang tersembunyi agar tidak dapat ditemukan oleh lebah pekerja.Sekali bertelur, ngengat betina dewasa mampu menghasilkan 50-100 buitr telur (Somerville, 2007).Koloni yang memiliki anggota lebah pekerja yang relatif sedikit akan menjadi lebih rentan terhadap serangan hama ini (FAO, 2015). Selanjutnya telur akan menetas menjadi larva. Pada fase larva inilah merupakan fase yang paling berbahaya bagi koloni lebah A. cerana(Gambar 2).Hal ini disebabkan pada kondisi ini, larva Galleria sp. membutuhkan makanan yang sangat banyak untuk mempersiapkan fase pupa sehingga keadaan ini membuat kerusakan yang sangat berat pada sisiran sarang A. cerana(Somerville, 2007).

 

Pengendalian serangan wax moth dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu menggunakan obat kimia dan pencegahan dengan memodifikasi stup. Penggunaan gas Phosphine menunjukkan efektivitasnya dalam mematikan seluruh wax moth pada seluruh fasenya (Somerville, 2007). Akan tetapi, penggunaan gas ini bersifat racun bagi koloni lebah sendiri dan bahkan berbahaya bagi manusia. Selain itu, residu dari gas ini juga diduga dapat mengendap pada sisiran sarang dan dapat mencemari madu terutama apabila sedang musim bunga atau koloni sedang pada fase produksi madu. Oleh sebab itu, gas ini dilarang digunakan sewaktu koloni lebah sedang produksi madu (FAO, 2015).

Tehnik pengendalian lainnya adalah melakukan modifikasi ukuran pintu keluar dan masuk kotak lebah. Tehnik ini mengadopsi metode yang digunakan untuk mencegah serangan hama kumbang yang menyerang koloni lebah Apis mellifera. Menurut Ellis et. al. (2002), pengecilan pintu masuk umum digunakan untuk mencegah masuknya hama small hive beetles pada koloni lebah A. mellifera. Modifikasi ukuran pintu keluar dan masuk ini dilakukan untuk mencegah ngengat betina untuk masuk dan meletakkan telur di dalam sarang. Modifikasi dilakukan dengan mengecilkan tinggi ukuran pintu masuk hingga seukuran lebah pekerja A. cerana (±0,4 cm). Tinggi tubuh ngengat betina Galleria sp. lebih dari 0,5 cm akan membuat ngengat betina ini kesulitan untuk masuk ke dalam koloni lebah A. cerana.

Selain itu, tingkat kesehatan koloni lebah A. cerana juga mempengaruhi ketahanan mereka terhadap organisme asing yang masuk. Ketidakseimbangan antara jumlah lebah pekerja dengan luas sisiran yang harus dierami juga menjadi factor pemicu yang dapat memancing wax moth untuk bertelur. Ketidakseimbangan ini salah satunya disebabkan oleh keberadaan ratu baru yang pergi keluar dari kotak dengan membawa sebagian anggota lebah pekerjanya untuk membentuk koloni baru (pecah koloni) sehingga menyisakan sisiran yang tidak tererami (Somerville, 2010).

2.   Beruang madu

Beruang madu (Helarctos malayanus) merupakan salah satu kelompok dari kelas mamalia yang menjadi hama bagi koloni lebah A. cerana. Hewan ini umumnya beraktivitas pada malam hari sedangkan pada siang hari akan bersembunyi di sarang mereka (Wong et. al., 2004). Menurut Pappas et. al. (2002), beruang madu memiliki ukuran tubuh hanya mencapai 70 cm pada bahunya, dan 100 s.d 140 cm jika dihitung dari kepala hingga kaki (Gambar 3). Sedangkan berat tubuhnya berkisar antara 27-65 kg dengan rata-rata mencapai 46 kg.Kukunya yang panjang, tajam dan melengkung memudahkan beruang madu untuk menggali tanah dan membongkar kayu. Sedangkan rahang yang kuat digunakan untuk  membongkar kulit kayu guna mencari serangga dan madu.Menurut Augeri (2005) beruang madu pada umumnya merupakan kelompok omnivora yang makanan utamanya adalah serangga seperti rayap, semut, larva kumbang dan kecoak hutan sedangkan buah-buahan adalah kelompok makanan kedua.Akan tetapi menurut Fredriksson (2005), kelompok hewan ini sangat suka dengan madu, terutama dari kelompok Trigona.

 

Gejala kerusakan yang disebabkan oleh hewan ini adalah hancurnya koloni beserta dengan kotak pemeliharaannya (stup) (Gambar 4). Pengamatan pada kotak lebah A. cerana yang diserang hewan ini menunjukkan bahwa beruang madu tidak hanya mengambil sisiran madu akan tetapi juga sisiran bee bread dan brood. Mayoritas serangan terjadi pada malam hari terutama pada kotak lebah A. cerana yang ditempatkan pada jalur lintasan beruang madu. Sedangkan tanda kehadiran beruang madu adalah berupa jejak kaki, cakaran kuku pada stup lebah A. cerana, dan kotorannya.

 

Menurut Fredriksson (2000) berubahnya habitat alami beruang madu yang disebabkan alih fungsi lahan dari hutan alam menjadi hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa membuat populasi hewan ini menurun karena berkurangnya sumber pakan dan habitat.Berbeda dengan beruang yang hidup pada daerah dengan 4 musim, beruang madu tidak memiliki musim kawin tertentu. Beruang madu melahirkan di dalambatang kayu atau gua kecil dimana anak beruang dilindungi hingga mampu untuk beraktivitas bersama induknya (Fredriksson and M. de Kam, 1999).Menurut Fredriksson (2000), luas jangkauan beruang madu betina dan anak-anaknya mencapai 500 ha sedangkan beruang madu jantan mencapai 1500 ha.

 

Pengendalian serangan hama ini pada awalnya mengalami kesulitan karena beruang madu termasuk pada satwa liar yang dilindungi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Konvensi Perdagangan International Satwa Liar atau CITIES (Conventional an International Trade In Endangered Spesies), beruang madu dimasukkan pada kategori Appendix I. Sehingga usaha pengendalian yang dilakukan lebih pada usaha pencegahan. Pemasangan plat seng dan peninggian standard stup minimal 2 meter merupakan salah satu solusi untuk mengatasi serangan beruang madu di areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa (Gambar 6).

Penggunaan standar stup dengan minimal tinggi 2 meter yang dimodifikasi dengan seng plat menunjukkan efektivitas jika dibandingkan dengan standar stup tinggi 1 meter (Tabel 1). Hal ini disebabkan pada standar stup setinggi 1 meter masih berada dalam jangkauan beruang madu sehingga banyak stup yang dirusak oleh beruang madu. Pemasangan plat seng lebar (± 60 cm) dengan cara dililitkan pada standar stup bertujuan agar beruang madu tidak dapat memanjat karena kuku/cakar tidak dapat mencekram standard stup dengan kuat. Hal yang serupa juga digunakan untuk mencegah serangan beruang madu pada madu hutan. Menurut Rachim et. al. (2011), seng plat digunakan untuk mencegah beruang madu untuk naik ke pohon sialang tempat dimana lebah hutan bersarang.

Tabel 1. Efektivitas penggunaan standar stup yang dilapisi seng plat terhadap serangan beruang madu.

 

Tinggi Standar stup Acacia mangium Acacia crassicarpa
1 2 3 4 5 6 7 Jumlah stup yang rusak 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah stup yang rusak
100 cm + + + + + 5 + + + + + + 6
200 cm + 1 + 1
300 cm 0 0

Keterangan:

+     : stup dirusak oleh beruang madu

  • : stup tidak dirusak oleh beruang madu

3.   Tabuhan

Tabuhan (Vespa sp.) atau tawon endas merupakan salah satu kelompok dari ordo hymenoptera yang menjadi hamaberbahaya bagi koloni lebah A. cerana yang ditempatkan di hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa. Menurut Abrol (2006), jenis Vespa velutina dan Vespa magnifica merupakan predator utama lebah madu di Jammu dan Kashmir yang setelah selesai musim dingin, ratu tabuhan akan menyerang koloni lebah madu untuk mencari makan bagi dirinya dan larvanya. Setelah seluruh larva tersebut berubah menjadi tabuhan dewasa maka mereka mulai untuk mengembangkan koloninya tersebut.Siklus hidup tabuhan adalah metamorphosis sempurna.Siklus dimulai dari fase telur, larva, pupa, dan dewasa.Tabuhan biasa membuat luka pada buah, batang dan pucuk untuk mendapatkan nektar dan materi untuk membangun sarang. Akan tetapi jika pada kondisi tidak ada makanan, tabuhan akanmenyerang koloni lebah madu untuk mendapatkan gula dan protein (Antonicelli et al., 2003).Hal inilah yang menjadi dugaan penyebab utama terjadinya serangan tabuhan ke koloni lebah A. cerana yang ditempatkan pada hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa.

Gejala yang ditimbulkan oleh serangan hama ini adalah berkurangnya jumlah lebah pekerja akibat dari dimangsa oleh tabuhan sampai pada merusak sisiran sarang. Pada gejala ringan, tabuhan akan menunggu lebah pekerja di depan pintu masuk dan bersiap untuk menangkap lebah pekerja A. cerana yang akan pergi. Sedangkan pada kondisi yang berat, tabuhan sudah dapat merusak struktur sarang dan tidak hanya memakan persedian makanan (madu dan bee bread) akan tetapi juga memangsa sel brood. Adapun tanda kehadiran tabuhan adalah keberadaan belasan sampai puluhan ekor tabuhan yang terbang di sekitar stup terutama terbang dalam posisi menunggu di depan pintu keluar dan masuk. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan Abrol (2006) pada bulan Agustus dimana populsasi tabuhan sedang meningkat menunjukkan bahwa jumlah tabuhan yang menyerang koloni lebah A. cerana mencapai rata-rata 24,6 ekor/hari. Sedangkan jumlah lebah pekerja yang terbunuh rata-rata mencapai 18,3 ekor/hari (Tabel 2).

 

Tabel 2.  Jumlah tabuhan yang menyerang koloni lebah A. cerana pada bulan Agustus 2004.

Tanggal dilakukan pengamatan Jumlah Tabuhan Jumlah Tabuhan yang Membawa Pulang Lebah A. cerana ke Sarangnya Lebah Pekerja yang Terbunuh
3 25 6 20
7 18 4 22
10 27 4 14.71
12 21 4 19.04
15 28 3 17.27
17 29 5 10.07
21 35 4 11.42
24 33 5 15.15
27 19 5 26.31
30 11 3 27.27

Sumber: Abrol (2006)

Apabila serangan tabuhan tidak dilakukan antisipasi atau pengendalian akan berdampak terhadap kelangsungan koloni lebah A. cerana tersebut. Hal ini disebabkan lebah pekerja yang bertugas untuk mencari nektar dan pollen akan lama kelamaan habis dimangsa oleh tabuhan. Menurut Somerville (2010), koloni lebah A. cerana pada umumnya berisi 2000 s.d 5000 ekor lebah pekerja. Nest and Moore (2012) menambahkan bahwa sekitar 40% s.d 90% dari populasi lebah pekerja adalah bertugas untuk mencari makan. Sehingga jika tidak dilakukan langkah antisipasi populasi lebah pekerja yang mencari makan akan habis dalam waktu kurang dari 2 bulan (dengan asumsi populasi lebah pekerja yang mencari makan sekitar 50% dari total lebah pekerja yang mencapai 5000 ekor).

Beberapa metode pengendalian hama ini banyak tersedia seperti pembasmian secara fisik langsung terhadap tabuhan yang terbang di depan stup lebah A. cerana, menggunakan racun, membunuh ratu, membakar sarang, dan penjebakan dengan ikan asin. Akan tetapi metode-metode tersebut kurang efektif dalam mengendalikan serangan tabuhan. Menurut Abrol (2006), tehnik pengendalian yang efektif adalah berasal dari koloni itu sendiri. Jika koloni berada pada kondisi yang sehat maka mereka memiliki kemampuan untuk bertahan dari serangan hama dan penyakit yang datang.  Bahkan Ono et. al. (1987); Ichino and Okada (1994) mengatakan bahwa lebah pekerja A. cerana japonica akan mengerubungi tabuhan (Vespa simillima) hingga membentuk bola (balling) dan membunuh mereka dengan memanfaatkan panas tubuh yang berasal dari tubuh lebah pekerja A. cerana. Bahkan Abrol (2006) menambahkan bahwa tingkat kematian lebah pekerja lebih banyak terjadi apabila jumlah tabuhan yang menyerang sedikit. Hal ini disebabkan karena koloni lebah A. cerana tidak dapat bertahan secara teroganisasi dengan tehnik balling. Metode lain adalah  dengan melakukan pemindahan stup. Pemindahan stup juga dapat dilakukan ke lokasi yang tidak ada sarang tabuhannya. Pemindahan dapat dilakukan pada waktu malam hari atau jika dibutuhkan waktu lebih dari 1 hari, koloni lebah A. cerana dapat diberikan pakan tambahan berupa air gula.

4.   Kelompok hama lain

Pengalaman menunjukkan bahwa selain 3 hama tersebut,terdapat beberapa hama lain yang menyerang A. cerana yang ditempatkan pada hutan tanama A. mangium dan A. crassicarpa, yaitu cicak, kadal, dan semut. Kerusakan yang ditimbulkan oleh cicak dan kadal adalah hanya akan mempredasi lebah pekerja. Akan tetapi jumlah lebah yang dimakan tidak banyak. Sedangkan semut akan menyerang persedian madu yang dikumpulkan oleh lebah pekerja. Akan tetapi, menurut Oldroy (2006), serangan berat semut Oecophylla smaragdina mampu membuat lebah A. cerana hijrah (absconding). Bahkan Koetz (2013) menambahkan bahwa hama minor pada lebah A. cerana adalah semut, katak, kadal, monyet, tikus pohon, burung wallet, dan harimau. Salah satu tehnik pencegahannya adalah dengan tidak menempatkannya secara langsung di tanah dan apabila menggunakan standar stup, maka wajib diberi oli ataupun kapur ajaib untuk mencegah binatang-binatang tersebut naik dan masuk ke dalam stup. Akan tetapi, kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu besar jika dibandingkan kerusakan yang disebabkan tabuhan, beruang madu, dan wax moth.

Penyakit

Pengertian penyakit adalah suatu keadaan yang menyimpang dari keadaan atau kondisi normal dari beberapa bagian organ ataupun system atau kombinasi dari semua hal tersebut yang merupakan manifestasi dari serangkaian gejala dan tanda (Schoenbach, 2000).Sedangkan menurut Rianawaty (2015), penyakit adalah sesuatu yang menyebabkan gangguan pada tanaman sehingga tanaman tidak bereproduksi atau mati secara perlahan-lahan.Karakteristik adalah (1) sukar dilihat oleh mata telanjang, dan (2) disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur atau cendawan) dan kekurangan unsur atau senyawa tertentu.Bahkan menurut Somerville (2005) penyakit dapat juga diakibatkan oleh kurangnya nutrisi terutama pollen seperti yang terjadi pada A. mellifera.

Berdasarkan pengamatan, serangan penyakit yang terjadi pada koloni lebah A. ceranayang ditempatkan pada hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa lebih kepada kekurangan nutrisi berupa protein dibandingkan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut Pribadi and Purnomo (2013), kebutuhan protein lebah A. cerana di hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa hanya bergantung pada tumbuhan bawah seperti Ageratum conyzoides dan Mimosa pudica yang keberadaannya tergantung pada intensitas cahaya yang masuk dan intensitasweeding yang dilakukan. Sehingga ketersediaan pollen akan menjadi sangat terbatas.

Tingkat kesehatan koloni lebah dapat dilihat dari persentase protein kasar (crude protein/CP) dari tubuh lebah pekerja A. cerana yang dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi. Nektar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat sedangkan pollen untuk memenuhi kebutuhan akan protein. Pada lebah A. cerana  yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa menunjukkan penurunan tingkat kesehatan (yang dapat dilihat dari persentase crude protein) sebesar 0,034% per 30 hari dengan nilai CP berada di kisaran 31,30% s.d 33.20% (Pribadi dan Purnomo, 2013). Sehingga hal ini dapat mempengaruhi produktivitas madu yang diperoleh. Pengamatan menunjukkan bahwa produktivitas madu yang dihasilkan oleh lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa akan menurun pada mulai pada bulan kedua sampai 10% (Purnomo et. al., 2009). Bahkan jika kondisi tersebut berlanjut, maka koloni lebah akan kabur (absconding).

Menurut Kleinschmidt (1982), salah satu penanda lebah yang sehat yaitu tubuh lebah mengandung CP antara 40% s.d 67 % dan untuk mendapatkan CP tubuh lebah dengan kisaran di atas 40% koloni lebah harus mengkonsumsi pollen dangan kualitas minimal mengandung protein 18 %. Menurut Mourizio (1975) pollen merupakan sumber protein yang diperlukan bagi pertumbuhan anak-anak lebah dan perkembangan lebah-lebah dewasa.Selain protein pollen juga mengandung lemak, vitamin dan mineral yang merupakan nutrisi penting bagi lebah. Menurut Dietz (1975), anakan lebah (brood) membutuhkan sebanyak 120 s.d 150 mg pollen untuk mencapai fase dewasanya. Protein yang terkandung dalam pollen berfungsi sebagai materi untuk pembentukan kelenjar hypopherengeal yang terletak pada bagian caput dari lebah yang berfungsi sebagai pembentuk royal jelly.

Beberapa usaha yang dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit akibat kekurangan gizi ini, yaitu dengan melakukan agroforestry dan pemberian pakan pollen tambahan. Sistem agroforestri telah lama dikenal oleh masyarakat Indoensia terutama di pulau Jawa. Akan tetapi di Riau tehnik agroforestri belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Pemanfaatan sela atau jarak tanam diantara tegakan A. mangium dan A. crassicarpa sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk dilakukan penanaman tanaman sela. Hal ini telah dilakukan oleh Perhutani dan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemulian Tanaman Hutan  yang mengijinkan masyarakat untuk memanfaatkan ruang yang berada di antara tegakan untuk ditanami tanaman pangan (FORDA, 2016). Kegiatan agroforestry dapat dilakukan dengan penanaman jenis tanaman penghasil pollen seperti jagung (Zea mays) (Almeida-Muradian et. al., 2005; Marchini et. al., 2006) dan sorgum (Sorghum sp.)(Pribadi dan Purnomo, 2013). Menurut Purnomo et. al. (2010), penanaman sorgum di antara tegakan A. mangium dan A. crassicarpa mampu meningkatkan tingkat kesehatan lebah A. cerana sebesar lebih dari 30% persen menjadi 58% dibandingkan lebah A. cerana yang tidak diberikan perlakuan tumpang sari (Gambar 6). Penanaman sorgum dilakukan dengan system bergilir setiap minggunya untuk menjamin ketersediaan pollen. Sorgum ditanam dengan menggunakan jarak tanam 25 cm setiap jalurnya (satu jalur setiap jarak tanam A. mangium atau A. crassicarpa). Pollen tanaman sorgum menunjukkan nilai protein sebesar 18,68% (Pribadi dan Purnomo, 2013). Sedangkan studi yang dilakukan oleh Modro et. al. (2007) dan Souza (2011) menyatakan bahwa kisaran nilai CP jagung yang diambil dari daerah Viçosa, Minas Gerais State, Brazil, adalah sebesar 21,58% s.d 28.27%. Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh informasi bahwa penanaman tanaman sela jenis jagung dan sorgum dapat meningkatkan CP tubuh lebah A. cerana.

Bagi perusahaan HTI, kegiatan agroforestry merupakan sesuatu yang tidak menarik dan cenderung mengganggu tanaman pokok mereka (A. mangium dan A. crassicarpa). Akan tetapi, sebagai perusahaan HTI mereka memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat sekitar areal konsesi yang bersifat berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan agroforestry. Nilai tambah yang diperoleh mungkin tidak secara langsung didapat, akan tetapi secara tidak langsung, misalnya masyarakat sekitar areal konsesi dapat mulai merasakan keberadaan atau kehadiran hutan tanaman yang memberikan dampak positif bagi mereka. Sehingga hal ini dapat mengurangi potensi konflik antara perusahaan HTI dengan masyarakat yang tinggal di sekitar areal konsesi. Selain itu, durasi yang hanya 1 tahun bagi tanaman sela seperti jagung dan sorgum dimungkinkan tidak terlalu mengganggu tanaman pokok (A. mangium dan A. crassicarpa).

Meskipun demikian, penggunaan jagung dan sorgum sebagai jenis tanaman agroforestry untuk penyedia sumber pakan berupa pollen memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya adalah tingkat efektivitas penggunaannya pada tegakan di atas 1 tahun. Hal ini disebabkan karena jenis tanaman penghasil pollen ini sangat membutuhkan cahaya untuk tumbuh dengan baik. Intensitas cahaya dapat menjadi salah satu faktor pembatas pada suatu tahap pertumbuhan tanaman. Peningkatan intensitas cahaya pada suatu tahap pertumbuhan secara tidak langsung dapat meningkatkan proses fotosintesis (Pratiwi, 2010). Menurut Azrai et. al. (2014); Bunyamin dan Aqil (2015) masalah utama pengembangan jagung dan sorgum sebagai tanaman sela adalah rendahnya intensitas cahaya. Hal ini tidak sesuai dengan karakterisitik jagung dan sorgum sebagai tanaman C4 yang sensitif terhadap cahaya rendah. Taiz and Zeiger (1998) dan Cruz (1997). Sehingga jenis tanaman ini hanya efektif digunakan pada areal penanaman A. mangium dan A. crassicarpa berusia di bawah 1 tahun.

Metode lain adalah dengan pemberian pakan tambahan berupa protein. Terdapat dua jenis protein yang dapat diberikan pada koloni lebah A. cerana yaitu protein buatan dan alami (bee bread). Dibandingkan protein buatan, protein alami yang berasal dari bee bread  lebah hutan (Apis dorsata) lebih dipilih karena salah satu alasannya adalah ketersediaannya di alam yang melimpah dan belum termanfaatkan (Purnomo et. al., 2010). Pemberian bee bread A. dorsata sebagai protein tambahan dapat meningkatkan tingkat kesehatan lebah A. cerana sebanyak 30% pada pemberian di bulan kedua setelah penempatan di A. mangium (Purnomo et. al., 2010).

Kesimpulan

  1. Hama yang menyerang koloni lebah cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa adalah wax moth (ngengat lilin), beruang madu, dan tabuhan. Sedangkan penyakit yang umum menyerang koloni lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa adalah kekurangan nutrisi sebagai akibat ketidaksediaannya pollen (tepung sari).
  2. Keberadaan hama dan penyakit pada lebah cerana salah satunya sangat dipengaruhi oleh tingkat kesehatan koloni lebah yang dapat dilihat dari nilai crude protein tubuh lebah pekerja. Koloni yang sehat dapat mempertahankan koloninya dari serangan hama dan penyakit. Sehingga tingkat kesehatan lebah pekerja harus menjadi perhatian dalam budidaya lebah A. cerana pada hutan tanaman A. mangium dan A. crassicarpa.

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim lebah madu Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan dan pegawai CD/CSR PT Arara Abadi atas bantuannya dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan lebah madu di areal konsesi PT Arara Abadi.

 

Daftar Referensi

Abrol, D. P. (2006). Defensive Behaviour of Apis cerana F. Against Predatory Wasps. J Apic Sci 50(2),p: 39

Antonicelli, L., Bilo, M.B., Napoli, G., Farabollini and Bonifazi, F. (2003). European Hornet (Vespa crabro) Sting: A New Risk Factor for Life-Threatening Reaction in Hymenoptera Allergic Patients? Allergy. European Annals of Allergy and clinical Immunology 35(3),p: 199-203

Almeida-Muradian, L. B., Pamplona, L. C., Coimbra, S., and Barth, O. M. (2005).Chemical Composition and Botanical Evaluation of Dried Bee Pollen Pellets. Journal of Food Composition And Analysis 18 (7), p: 105-111.

Augeri, D.M. 2005. On The Biogeographic Ecology of The Malayan Sun Bear. Cambridge Wild Life Research Group Department of Anatomy Faculty of Biological Sciences, University of Cambridge

Aqil, M. dan Bunyamin, Z. (2015).Pengelolaan Air Tanaman Sorgum. Inovasi Teknologi dan Pengembangan, p: 188-192

Cruz, P. (1997). Effect of Shade on The Growth and Mineral Nutrition of C4 Perennial Grass Under Field Conditions. Plant and Soil 188, p: 227-237

Dietz, A. (1975). Nutrition of the Adult Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illonois

Ellis Jr, J.D., Delaplane, K.S., Hepburn, R., Elzen, P.J. (2002). Controlling Small Hive Beetles (Aethina Tumida Murray) in Honey Bee (Apis Mellifera) Colonies Using A Modified Hive Entrance.  American Bee Journal 142 (4), p: 288-290

Food and Agriculture Organization. (2010). Global Forest Resources Assessment 2010: Main report, FAO Forestry Paper 163, Food and Agriculture Organization, Roma

Fredriksson G. M. and de Kam, M. (1999). Strategic Plan for The Conservation of The Sungai Wain Protection Forest, East Kalimantan, Indonesia. The International Ministry of Forestry and Estate Crops-Tropenbos Kalimantan Project, p: 1-46

Fredriksson, G. M. (2005). Human-sun bear conflicts in East Kalimantan, Indonesian Borneo. Ursus 16(1), p: 130-137

Fredriksson, G.M. (2005). Predation on Sun Bears by Reticulated Python in East Kalimantan, Indonesian Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 53(1), p: 165-168

Ichino, H and Okada, I. (1994).Japanese Honey Bees Living in Hornet Nest.HoneybeeScience15(3), p: 123–124

Jikalahari.(2004). RTRWP dan Masa Depan Hutan Alam Riau; Sebuah Masukan dan Bahan Pertimbangan Untuk Revisi Perda No. 10 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).http://www.jikalahari.org. diakses 2 Februari 2016

Kementerian Kehutanan. (2014). Kebijakan Pembangunanan Hutan Tanaman Industri: Presentasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Jakarta

Kleinschmidt, G.J. and Kondos, A.C. (1976).The Influence of Crude Protein Levels on Colony Production. Australian Beekeeping 80, p: 251-257

Koetz, A. (2013). The Asian Honey Bee (Apis cerana) and Its Strains – with Special Focus OnApis cerana Java Genotype. http:// asianhoneybee.net.au/wordpress/wp-content/uploads/2013/03/AHB-behaviour-lit-review-FINAL2013.pdf. Diakses 20 Maret 2016

Leksono, B., dan Setyaji, T., 2003.Teknik Persemaian dan Informasi Benih Acacia mangium. Seri GN-RHL. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.

Mindawati, N. (2010). RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pulp.http://www.forda-mof.org/files/RPI_7_Pengelolaan_HT_Penghasil_Kayu_Pulp.pdf. Diakses 3 September 2012.

Morse, R. A., and T. Hooper. (1985). The Illustrated Encyclopedia of Beekeeping. Blanford Press, England.

Mourizio, A. (1975). Bienenbotanik. Dadant and Sons Hamilton, Illonois

Nest B.N.V. and Moore, D. (2012). Energetically Optimal Forag­ing Strategy is Emergent Property of Time-Keeping Be­havior in Honey Bees. Behavioral Ecology 23, p: 649–658.

Oldroyd, B.P. and Wongsiri, S. (2006). Asian Honey Bees: Biology, Conservation and Human Interactions. Harvard University Press Cambridge, Massachusett

Ono M., I., Okada., and Sasaki, M. (1987). Heat Production by Balling in The Japanese Honeybee, Apis cerana japonica as A Defensive Behavior Against The Hornet (Vespasimillima xanthoptera)(Hymenoptera: Vespidae). Experientia43, p: 1031 – 1032

Pappas, K., and Mc Lennan, L. (2002).Malayan Sun Bear.

http://www.honoluluzoo.org/ zookeepers_Journal/sunbear.doc.Diakses tanggal 12 Juli 2013. Pukul 13.20 WIB

Pratiwi, G. R. (2010). Tanggap Pertumbuhan Tanaman Gandum terhadap Naungan. Widyariset 13(2), p: 37-45

Pribadi, A and Purnomo.(2013). Potency Usage of Plantation Forest of Acacia mangium and Acacia crassicarpaas Source of Honeybee Forage and ItsProblem. Procedings of International Wood Research Forestry 5th, Balikpapan

Purnomo, J. (2005). Tanggapan Varietas Tanaman Jagung terhadap Irradiasi Rendah. Agrosains 7(1), p: 86-93

Purnomo, Suhendar, Janeta, S. 2010. Potensi Nektar Pada Hutan Tanaman Jenis Acacia crassicarpa untuk Mendukung Perlebahan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok (tidak dipublikasikan)

Purnomo, Suhendar, Janeta, S. 2009. Potensi Nektar Pada Hutan Tanaman Jenis Acacia mangium untuk Mendukung Perlebahan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok (tidak dipublikasikan)

Rachim, A., Yondra, A., Sebua, J., Radaimon, Ramli, Rintan dan Wazar. 2011. Manual Pengelolaan Madu Hutan Tesso Nilo secara Lestari melalui Pendekatan Sistem Kontrol Internal. Yayasan Tesso Nilo, WWF Indonesia

Rianawaty, I. (2011). Hama dan Penyakit pada Tanaman.https://idarianawaty.files.wordpress.com/2011/07/hama-dan-penyakit-pdf.pdf. Diakses 21 Maret 2016

Schoenbach, V.J. 2000. Phenomenon Of Disease: Concepts in Defining, Classifying, Detecting, and Tracking Disease and Other Health States. The Concept of Natural History – The Spectrum Of Development And Manifestations Of Pathological Conditions in. Individuals And Populations. http://www.epidemiolog.net. Diakses 10 Maret 2016

Somerville, D. C. (2005). Fat Bees Skinny Bees: A Manual on Honey Bee Nutrition for Beekeepers. NSW Department of Primary Industries, New South Wales

Somerville, D.C. (2010). Asian Bees: Fact Sheets. http://www.dpi.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0003/382161/Asian-bees.pdf

Suhartati , Aprianis, Y., Pribadi, A., dan Rochmayanto, Y. (2013).  Kajian Dampak Penurunan Daur Tanaman Acacia crassicarpa Cunn.terhadap Nilai Produksi dan Sosial. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 10 (2), p: 109-118

Taiz, L and Zeiger, E. (1998).Plant Physiology.Sinauer Associates. Massachusetts

USAID. (2010). What is a Pest? What is a Pesticide? What are the Risks of Pesticides?.and What is USAID’s Response?. http://www.encapafrica.org/kenya2011MEO/ST_Pesticides_Safer_Use&Compliance_Kenya_15Dec2010.pdf. Diakses 10Maret 2016

Wong, S. T., C. S. and Ambu, L.(2004).Home Range,Movement and Activity Patterns, and Bedding Sites of Malayan Sun Bears(Helarctos malayanus) in The Rainforest of Borneo. Biological Conservation 119, p: 169-181

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

The origin of Apis mellifera

Apis mellifera Biogeography and Phylogeny

By Avry Pribadi

Introduction

Historically, honey bees have given many benefits for human life to meet their desire for food by providing as pollinator agent. Based on prehistoric artifacts, the relationship between humans and honeybees might start over 9,000 years ago (1). It suggests that honeybees have been being exploited mostly as long the farmer practice their farming together with religion and art (1)(2). Another study says that the earliest use of honey at least appears at the Upper Paleolithic, some 25,000 years ago. Previously, collecting honey from wild bees was a dangerous activity, such as using smoke to reduce the aggressivity of the guard bees (1)(3). By the time, nowadays, honey bees are largely domesticated and are kept in astonishing artificial hives in order to make beekeeper`s work is easier.

Honey bees belong to the order of insects known as Hymenoptera (means that they have membranous wing). This order has approximately 100,000 species and more than 25,000 has been described as of bees(3). Two conspicuous of honey bees which have been important to their evolution are clustering social behavior and managing of the cavity-nesting species such as ability to maintain the temperature of colony by thermoregulation mechanism(3). Probably, these mechanisms that make this genus are widely success distributed. The species member of genus Apis that has widely dispersed almost over the world is Apis mellifera (4). It happens because of their economic and ecology importance as main pollinators and the most productive honey maker. As a result,  that might be one reason why Apis mellifera has been chosen for the first insect species that its genome data have been recorded (5).

Based on traditional taxonomy, A. mellifera and its subspecies have been categorized as inter geographic races due to their distribution is ranging across tropical (Africa), subtropical (Mid East/Mediteranian), and temperate regions (European)(4). Ruttner (1992) said that based on their morphology, behavior, and biogeography, there is 25 of A. mellifera`s subspecies. Isolated population could be a mechanism in creating the great number of A. mellifera`s subspecies and make differences of genetic accumulation(4). One of key focus in evolutionary biology is to identify adaptive variation which is influenced by different climate (6). Both phenotypic and genetic variation among populations can be influenced by climatic factors and detected climate are important in assuming the genetic basis of specific environment adaptation (6).

There are many theories about the origin history of A. mellifera. A study by Crane (1999) who supported honey bees expanded into western North America from Asia theory, stated that the radiation of honey bees prior to human in dealing with climate changes transition during the Pleistoce(7). When the ice age that creating land bridges, it allowed honey bees to travel between continents to come to Northern hemisphere and when temperatures began to rise and the bridges are disappeared, it will lead to divergent evolution of honey bees in Northern hemisphere(8). Another theory which is widely accepted is that eastern Africa is the first honey bee species appearance. This theory proposed that the honey bee first evolved in some 40 million years ago and widely spread northwards into Europe and Eastwards into Asia. In addition, honey bees firstly appear in the Americas, Australia or New Zealand in the 17th century by European settlers(9).

For many years ago, identifying an organism (animals) based on mitochondria DNA (mtDNA)and morphology analysis  had widely used because it gives more precise result, fast, cheap, and give easiest way to understand about the phylogeny (10). Phylogeny can describe and give explanation about the relationship between many decedents that shared a common ancestry. Together with morphology analysis, these will give complete explanation about the natural history of A. mellifera. In order to address the natural history of A. mellifera, this paper will provide some explanation about biogeography, process of dispersion, and distribution of A. mellifera in the past and today.

Natural history of Apis mellifera.

Honey bees are thought originally evolved from wasps which acquired nectar and decided to be vegetarians (11). Fossil records show that honey bees probably firstly appeared at the same time as appearance of angiosperm plants in the period of Cretaceous (146 to 74 million years ago) (3,11). However, the fossils of true “Apis” were firstly discovered in the Lower Miocene has 22 to 25 million years ago in Western Germany(3). Furthermore, geographic location is the main force that makes new races classification of Apis(12). Rivers, mountain ranges, or even dessert in Africa can inhabit the cross breeding. Moreover, decedents which shared a common ancestor will have their own destiny due to different environment pressure. In this time, the subspecies formation is beginning.
The simple phylogeny description will give the approximate time for each evolutionary stage in honey bee evolution (Fig. 1). This big picture chart gives information and evidence for the times of the emergence not only A. mellifera, but also other Apis species, such as Apis dorsata and Apis cerana. So that, we can know about the position and time for each species diverge to each other. The common ancestor of honey bee appeared about 120 million years ago(13). The ancient species such as Apis florae and A. dorsata, are not known the exact date of first appearance(13). Next, the A. cerana and A. mellifera start to diverge about 6-9 million years ago. Further, in 300,000 years ago, A. mellifera started to diverge into 3 groups (C, A, and M). In 165,000 years ago, the group C evolved into 2 groups (C and O). The last divergent (about 13,000 to 38,000 years ago) each group made their own subspecies and today we have 24 subspecies of A. mellifera (14) .

In A. mellifera, there are many theories about the radiation of this species. First theory is introduced by Cornuet and Garnery in 1991 that mentioned about the expansion of A. mellifera was originally from Middle East and is divided into 3 group routes, named Africa (goup A), Europe (along the north Mediterranean coast) (group C), and group M that moved to Black Sea and northern Europe(15). The second theory was conveyed by Whitfield et. al. in 2006 that indicate that A. mellifera is originally from Africa. First, it expanded into Eurasia in two ways, i.e by passing sub Saharan routes (west Europe) and Mid East routes (east Europe). Next, the expansion is to the New World(16). In addition, Han et. al in 2012 came with the new theory that proposed the origin of A. mellifera to be in the Middle East (similar to first theory) but the group M entered Europe via using route from North Africa and enter Europe through the Iberian peninsula. On the other hand, the group C took the north Mediterranean coast route (17). The other theory that supports this hypothesis comes from Wilson. He assumed that the ability of A. mellifera in order to make a cluster in winter shows that it is a derived adaptation (11). It was pursued that because A. mellifera does not appeaar in tropical Asia, tropical African became the origin of the hypothesized ancestral for A. mellifera. In this paper, we want to choose the theory that mentioned about Africa as the origin place of A. mellifera as the first place for birth and starting to evolve.

Today, A. mellifera`s subspecies are now separated into four groupings, group A, which includes subspecies throughout Africa; group M, which includes subspecies from western and northern Europe; group C, which includes subspecies from eastern Europe; and group O, which includes species from Turkey and the Middle East(4). Nevertheless, many studies do not make a divergent for group C into groups C and O (15)(18). Further study supported this type of classifications (A, C, M, O) based on previous morphological and genetic analyses. The group M (west part of Europe) and group C (east part of Europe) have high divergences(19). Mean while, the group M closely related with group A (Africa) and the group C lineage with O (Middle East)(17). By using the root position of group A, it was assumed that modern populations of A. mellifera can be traced into two distinct migrations routes, named a western routes that forms the group M (west part of Europe) and one a eastern routes that form the group O and C (east part Europe and Asia)(17).

Based on the mtDNA analysis, it can be showed that there are differences between and within A. mellifera`s subspecies (Table 1). By using this data, the history of A. mellifera dispersion can be identified and determined. If we are using Group I (a group that consists of A. mellifera subspecies from Africa) as starting point of evolution, it can be predicted that group I has close relatedness to group II, IV, and III in chronologically order. By this information, it is true that group I migrated in two separate ways (Middle East and Northern Mediterania. The other fact that support this idea is that the divergence level between A. mellifera`s subspecies group In (northern Africa) and group II has low value. So that, this evidence gives more strong fact that the A. mellifera from group Africa migrated to the north of Africa before they took to Middle East (group II).

 

Table 1. Between and within sequence of divergence of A. mellifera`s subspecies(4).

Groups I (Africa) In (northern Africa) Is (southern Africa) II (Middle East/ Eastern Europe) III (Northern Europe) IV (Mediterania)
I (Africa) 0.61±0.03
In (northern Africa) 0.09±0.10
Is (southern Africa) 0.62±0.11 0.42±0.23
II (Middle East/ Eastern Europe) 0.90±0.23 0.80±0.18 0.98±0.25 0.61±0.0
III (Northern Europe) 1.64±0.23 1.49±0.25 1.71±0.19 1.62±0.41 0.61±0.15
IV (Mediterania) 1.26±0.13

 

1.40±0.12 1.19±0.11 1.33±0.31 1.27±0.19 0.36±0.19

 

Remark:

Group I (African)                             : A. m. intermissa, A. m. iberica, A. m. sahariensis, A. m. sicula, A. m. monticola, A.m. adansonii, A. m. scutellata, and A. m. capensis.

Group In (northern Africa)                 : A. m. sicula, A. m. intermissa, A. m. sahariensis, and A. m. iberica.

Group Is (southern Africa)                 : A. m. monticola, A. m. scutellata, A. m. capensis, and A. m. adansonii

Group II (Middle Eastern)                  : A. m. lamarckii and A. m. meda (Meda 1).

Group III (northern Europe)              : A. m. mellifera and Itmell.

Group IV (northern Mediterranean)      : A. m. ligustica, A. m. carnica, A. m. meda (Meda 2) and A. m. macedonica.

 

Mean while, group IV has different route. Based on Table 1., it is showed that the level of divergence between group IV and group Is (southern Africa) is lower than group In (northern Africa). On other word, group IV has close related with group Is instead. So that, presumably, the group IV was derived from group In. Other fact that group IV does not originate from group II is that the level of divergence between these groups is not low enough compare to group from Africa (I, Is, and In). These two facts can determine that the group IV is not completely derived from group II. On the contrary, the group IV is originated from group Africa (specifically group In) instead.

Different case happens to group III. This group shows that their divergence level to the other groups (I, II, and IV) is definitely high (Table 1). However, based on the level of “species to species” divergence analysis, it showed that A. m. mellifera  (group III) is quite close with  A. m iberica (1.22%) and A. m. sahari (1.22%) instead of A. m. lamarckii (2.13%) and A. m. meda (1.68%). Presumably, the group III originated from group I (Africa) that took different route with group II and IV. Probably, they took Sahara and Gibraltar strait to reach northern Europe instead. It is supported by species to species divergence level that showed the level of divergence between A. m. adansonii (group Africa) has lower level of divergence with A. m. iberica (0.53%) from Portugal and A. m. sahara (0.53%) from Marocco rather than A. m. lamarckii (1.07%) from Egypt.

Based on that data, A. mellifera`s subspecies groups can be classified into 3 branches from 1 origin(4). Group A consist of African subspecies group that was originally from group I, Is, and In. Next, the group C is a group for A. mellifera`s subspecies from northern Mediteranian that was previously clustered into group IV). The last clustered is group M that is originally from A. mellifera`s subspecies in northern Europe. The fourth group, previous A. mellifera subspecies from Middle East (group II) is classified into group O.

Apis mellifera`s sub species distribution today

Today there general common about A. mellifera`s subspecies based on their characteristics and places of origin. Ruttner divides the A. mellifera`s subspecies into 3 different groups, named European, Oriental (middle east), and African(20). However, between those groups, European group is most popular than other 2 groups and commercially spread to the New World (America and Australia continents).

There are at least 10 races of A. mellifera in Europe(21). However, there are 3 or 4 A. mellifera`s subspecies in European that widely used for main species for beekeeping. First is A. mellifera mellifera. This race originally from group M and widely spread in north part of Europe to west part of Russia. Second is A. mellifera ligustica. This race is the most popular races used in the world due to their productivity, gentle, and has better adaptation in facing winter(20). It is originally from Italy. The third race is A. mellifera carnica (carniolan honeybee). They are originally from Alpens Mountain to northern Yugoslavia. Fourth race is A. mellifera caucasia that originally comes from Caucasus mountain, Russia(21). Next is A. mellifera ibirensis that is classified by Engel in 1999. This races originally from Spain and Portugal(21). The other European races are A. mellifera cecropia (Greece), A. mellifera cypria (Cyprus islands), and A. mellifera sicula (Ustica of western Sicily)(21).

The African group is widely distributed from tropical region to sub tropical region. There are 13 races in this group(21). The most controversy race is A. mellifera scutellata that is originally from southern Africa. The other race is A. mellifera lamarckii that comes from northern Africa along Nile Valley(11). Another race is A. mellifera intermissa that is from north-west Africa (Libya to Marocco). The next race is A. mellifera adansonii that originally distributed in west coast Africa(11).

The last group is from Middle East and Asia. Many different races have evolved in this region. Asia Minor (Anatolia high land) is predicted as genetic source for A. mellifera`s subspecies(21). A. mellifera`s races in this region are A. mellifera anatoliaca, A.m.syriaca, , A. m. meda, and A. m. caucasica which were classified by Ruttner as a form a basal branch of the species(21). A. mellifera anatolica. The other rece is A. mellifera syriaca that is classified by Skorikov 1829 which is originally at Near East and Palestine. Another subspecies found are A. mellifera macedonia (northern Greece), A. mellifera adamii (Crete), A. mellifera armeniaca (Mid-East, Caucasus, and Armenia), A. mellifera yementica (Yemen and Oman). A. mellifera pomonella (mountains in Central Asia)(21).

Conclusion

Based on the morphology and mtDNA analysis, the evolution of A. mellifera`s races was started in Africa. From Africa, they took to northern Africa in two different ways (Middle East and Mediteranian) in order to enter Europe and East Asia continent. Today, we have 3 distinct A. mellifera`s races based on their previous routes, named European, African, and Middle East.

References

  1. Margaret Sessa-Hawkins. Human relationship with honeybees dates back 9,000 years. PBS NEWSHOUR [Internet]. 2015; Available from: http://www.pbs.org/newshour/topic/science/
  2. Engel MS, Engel MS, Hymenoptera A. Fossil honey bees and evolution in the genus Apis ( Hymenoptera : Apidae ) ( Hymenoptera : Apidae ). 1998;
  3. Us C. Honey bee origins, evolution & diversity – Ashleigh Milner – BIBBA [Internet]. 2016. p. 1–20. Available from: http://bibba.com/honeybee-origins/
  4. Arias MC, Sheppard WS. Molecular Phylogenetics of Honey Bee Subspecies (Apis melliferaL.) Inferred from Mitochondrial DNA Sequence. Mol Phylogenet Evol [Internet]. 1996;5(3):557–66. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/B6WNH-45MGTWJ-1X/2/28acb84be10700ce4807e6f68f264873
  5. Kawakita A, Ascher JS, Sota T, Kato M, Roubik DW. Phylogenetic analysis of the corbiculate bee tribes based on 12 nuclear protein-coding genes ( Hymenoptera : Apoidea : Apidae )*: Supplementary Material. Apidologie. 2008;39(39):163–75.
  6. Chen C, Liu Z, Pan Q, Chen X, Wang H, Guo H, et al. Genomic Analyses Reveal Demographic History and Temperate Adaptation of the Newly Discovered Honey Bee Subspecies Apis mellifera sinisxinyuan n. ssp. Mol Biol Evol. 2016;33(5):1337–48.
  7. Engel. A honey bee from the Miocene of Nevada and the biogeography of Apis (Hymenoptera: Apidae: Apini). Proc Calif Acad Sci. 2009;60:23–38.
  8. Weber E. Apis mellifera : The Domestication and Spread of European Honey Bees for Agriculture in North America. Univ Michigan Undergrad Res J. 2012;1622(9):20–3.
  9. Honey bee [Internet]. 2013. Available from: http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Honey_bee&oldid=586544203
  10. Lockhart PJ, Cameron SA, Cameron SA. Trees for bees. 2001;16(2):84–8.
  11. Winston ML. The biology of the honey bee (p. 281). Massachussets: Harvard University Press; 1987. 281 p.
  12. Ellis J. Lecture 3: Biogeography of Honey Bees. 2014;1–10.
  13. Wallberg A, Han F, Wellhagen G, Dahle B, Kawata M, Haddad N, et al. A worldwide survey of genome sequence variation provides insight into the evolutionary history of the honeybee Apis mellifera [Internet]. Vol. 46, Nat Genet. 10AD. p. 1081–8. Available from: http://10.0.4.14/ng.3077%5Cnhttp://www.nature.com/ng/journal/v46/n10/abs/ng.3077.html#supplementary-information%5Cnhttp://dx.doi.org/10.1038/ng.3077
  14. Michael Wainwright. Black bees at Killowen. In. Available from: http://www.killowen.com/genetics14.html
  15. Cornuet and Garnery. Mitochondrial DNA variability in honeybees and its phylogeographic implications. Apidologie. 1991;22(6):627–42.
  16. Whitfield CW, Behura SK, Berlocher SH, Clark AG, Johnston JS, Sheppard WS, et al. Thrice out of Africa: Ancient and recent expansions of the honey bee, Apis mellifera. Science (80- ) [Internet]. 2006;314(5799):642–5. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17068261%5Cnhttp://www.sciencemag.org/cgi/doi/10.1126/science.1132772
  17. Han F, Wallberg A, Webster MT. From where did the Western honeybee (Apis mellifera) originate? Ecol Evol. 2012;2(8):1949–1957.
  18. Ruttner F. Biogeography and taxonomy of honeybees. Springer-Verlag: Springer-Verlag; 1988.
  19. Garnery, L., Cornuet, J. M., & Solignac M. Evolutionary history of the honey bee Apis mellifera inferred from mitochondrial DNA analysis. Mol Ecol. 1992;1(3):145–54.
  20. EO. W. The insect societies. Harvard: Belknap Press; 1971. Massachuset: Harvard: Belknap Press; 1971.
  21. Kumar Gupta R, Reybroeck W, Van Veen JW, Gupta A. Beekeeping for poverty alleviation and livelihood security: Vol. 1: Technological aspects of beekeeping. Beekeeping for Poverty Alleviation and Livelihood Security: Vol. 1: Technological Aspects of Beekeeping. 2014. 1-665 p.