Karakter Madu Hutan Riau

P1000405Karakteristik Madu Hutan Asal Riau (Explorasi Tahun 2015-2016) 

 

Oleh/by:

Avry Pribadi, Michael Daru Enggar Wiratmoko, dan Purnomo

Correspondence: avrypribadi@gmail.com

 

 

Abstract

Riau is the province in which has largest honey productivity compare to other provinces instead. As lowland region, it is assumed that those bioregions will affect honey characteristics. By using official parameter listed on SNI 3545:2013, we want to inform about characteristics of wild honey in Riau`s bioregions. The objective was to convey information about honey characteristics at Riau`s bioregions based on SNI 3545:2013 parameters. The research was done in September 2015 to November 2015. There were 6 bioregions in Riau where honey sample were taken, i.e Bengkalis and Selat Panjang (beach/downstream bioregion), Kampar (secondary mineral forest bioregion), Pelalawan (peat swamp secondary forest bioregion), Rokan Hilir (along side of river bioregion), Siak (Industrial Plantation Forest bioregion), and Teluk Kuantan (palm oil and rubber plantation bioregion). The honey samples were taken by using at least 3 replications. The results showed that Riau`s wild/forest honey characteristics were not significantly different between bioregions. However, the diastase enzyme parameter in Pelalawan`shoney in which representedpeat swamp secondary forest bioregionwas the only parameter that gave highest value. In addition, Riau`s wild/forest honey had passed all of the requirements delivered by Indonesia National Standard (SNI) 3545:2013. The exceptions were given to ash and water content in which have higher level than standard stated in SNI 354:2013.

Keyword: Riau`s wild/forest honey, Apis dorsata, characteristic, Indonesia National Standard (SNI) 3545:2013.

 

  1. PENDAHULUAN

Berdasarkan data dari Ditjen RLPS (2007), produksi madu di Indonesia didominasi oleh madu hutan (70%) dan sisanya (30%) dihasilkan oleh peternakan lebah madu (Apis mellifera dan Apis cerana). Menurut Pribadi and Purnomo (2013) danPurnomo et. al.(2007), Riau merupakan provinsi penghasil madu hutan tertinggi di Indonesia dengan produksi madu mencapai 476,1 ton pada tahun 2008.Sedangkan potensi madu hutan di Sumbawa mencapai 125 ton pertahun, akan tetapi produksi nyatanya hanya mencapai 40 ton (Dinas Kehutanan Sumbawa, 2008). Selain itu, produktivitas madu hutan di Riau lebih stabil sepanjang tahun dan tidak mengenal musim paceklik (Purnomo et. al., 2008).Hal ini berbeda dengan produksi madu hutan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang pada tahun 2011 s.d 2012 tidak menghasilkan madu hutan sama sekali (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2014).Salah satu dugaan penyebabnya adalah keberadaan pohon besar dan tinggi yang disebut sebagai pohon sialang yang merupakan tempat bersarangnya.Hal ini berbeda dengan tehnik yang digunakan oleh masyarakat di provinsi Bangka Belitung dan Kalimantan Barat (TNDS) yang menggunakan sanggau dan tikung untuk tempat bersarang sebagai akibat daripopulasi pohon tinggi yang semakin jarang (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007).Selain itu Sudarmalik et. al., (2006) menyatakan bahwa terdapat 3 faktor penentu yang menjadikan produk madu hutan Riau memiliki keunggulan komparatif adalah kondisi lingkungan fisik yang sesuai, adanya pohon sialang, dan ketersediaan makanan yang melimpah.

Bioregion merupakan suatu lingkungan khas dimana batasnya lebih ditentukan oleh bentang alam yang mendukung keunikan aktivitas komunitas biotik di dalamnya (Thayer,2003). Menurut Bappenas dan Kementrian Lingkungan Hidup (2003), terdapat 5 bioregion di Sumatera berdasar kawasan hutan, yaitu Protected Forest, Conservation Forest, Limited Production Forest, Permanent Production Forest, dan Conversion Forest. Jika menggunakan dasar pembagian kawasan bioregion tersebut maka di bioregion di Riau akan terbagi menjadi beberapa bioregion, yaitu bioregion hutan tanaman Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus sp., bioregion hutan alam rawa gambut, bioregion hutan alam mineral, bioregion perkebunan karet dan kelapa sawit, dan bioregion pesisir pantai (hilir sungai). Riau yang merupakan dataran rendah, memiliki beberapa bioregion yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik madu hutan.Perbedaan jenis vegetasi pada masing-masing bioregion ini diduga berpengaruh terhadap karakteristik madu hutan yang dihasilkan di masing-masing bioregion tersebut.Menurut Aina et. al. (2015) produksi madu pada suatu daerah dapat memberikan gambaran struktur vegetasi dimana nektar yang menjadi makanan lebah diperoleh.Selain itu, Suranto (2007) menyatakan bahwaproduksi dan tipe madu bergantung pada bunga vegetatifalami yang berbunga pada musim yangberbeda.Indonesia memiliki beberapa jenismadu berdasarkan jenis flora yang menjadi sumber nektarnya.

Salah satu nilai yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan karakteristik madu adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 3545:2013 tentang madu (SNI, 2013).Menurut SNI 01-3545-1994, madu adalah cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu berasal dari berbagai sumber nektar. Nektar adalah semacam cairan yang dihasilkan oleh kelenjar nektar tumbuhan dalam bentuk karbohidrat (30-50%)(Harder, 1986; Tam and Gass, 1986; Bogss, 1988).Perbedaan vegetasi yang ada pada bioregion di Riau diduga memberikan pengaruh terhadap karakteristik madu yang dihasilkanseperti sukrosa, fruktosa, glukosa, kadar air, enzim diastase, dan padatan tak larut. Bhalchandra et al. (2014) menyatakan bahwa jadwal pembungaan dipengaruhi oleh tipe tanah, iklim, dan kondisi vegetasi yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas sekresi nektar yang dihasilkan.

Pada penelitian ini digunakan parameter SNI 3545:2013 sebagai dasar untuk mengetahui karakteristik madu hutan asal Riau. Hal ini disebabkan parameter fisika dan kimia yang terdapat padaSNI 3545:2013 merupakan instrument yang resmi untuk menstandarisasi seluruh produk madu di Indonesia (Purnamasari et al., 2015).Di provinsi Riau sendiri sampai saat ini belum ditemui jaminan keaslian dan mutu madu hutan. Oleh sebab itu kecurigaan terhadap madu hutan palsu meskipun produk madu hutan yang diperoleh adalah asliakan selalu muncul (Suranto, 2004; Sujatmaka, 1988).Sehinggatujuan penelitian ini adalah untuk memberi informasi tentang karakteristik madu hutan asal Riau berdasarkan beberapa parameter fisika dan kimia yang ada pada SNI 3545:2013.

II. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di provinsi Riau pada bulan September 2015 s.d November 2015. Pemilihan lokasi pengamatan dilakukan dengan berdasar pada kondisi bioregion yang terdapat di Riau, yaitu (1) kabupaten Bengkalis dan kabupaten Meranti (mewakili kondisi bioregion kawasan hutan pesisir pantai), (2) kabupaten Kampar dan kabupaten Rokan Hulu (mewakili kondisi bioregion kawasan hutan mineral), (3) kabupaten Pelalawan (mewakili kondisi bioregion kawasan hutan gambut), (4) kabupaten Rokan Hilir (mewakili kondisi bioregion hilir sungai), (5) kabupaten Siak (mewakili bioregion kawasan hutan tanaman industri jenis Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus sp.), dan (6) kabupaten Teluk Kuantan (mewakili bioregion kawasan perkebunan karet dan kelapa sawit).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa sidik ragam terhadap tujuh parameter kuantitatif yang terdapat pada SNI 3545:2013 menunjukkan bahwa keseluruhan sampel madu yang diperoleh dari 6  bioregion yang mewakili Riau tidak memberikan nilai yang berbeda kecuali parameter aktivitas enzim diastase.Hal ini menunjukkan bahwa secara umum madu hutan yang berasal dari provinsi Riau memiliki kesamaan karakteristik jika dilihat berdasarkan pada SNI 3545:2013.

III.1 Hidroksimetilfurfural (HMF)

Hidroximetilfurfural (HMF) yang terdapat dalam madu merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari perombakan monosakarida madu (glukosa dan fruktosa), dalam suasana asam dan dengan bantuan kalor (panas) (Achmadi, 1991).Kadar HMF merupakan salah satu indikator kerusakan madu oleh pemanasan yang berlebihan maupun karena pemalsuan dengan gula invert.Hasil analisa menunjukkan tidak adanya perbedaan nilai HMF yang nyata di antara bioregion yang ada di Riau (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi bioregion yang terdapat di Riau tidak mempengaruhi nilai HMF sehingga tidak ada perbedaan kadar HMF pada seluruh sampel madu berbagai bioregion di Riau.

Tabel (Table) 1.    Rata-rata nilai pada parameter HMF pada 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau(Average of HMF value of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Districts) Nilai rata-rata (Mean) (mg/kg)
RokanHulu 36.33 ± 0.58a
Bengkalis 36.33 ± 0.58a
Pelalawan 36.50 ± 0.50a
Siak 36.90 ± 0.89a
Kampar 37 ± 0.71a
Meranti 37.16 ± 0.76a
RokanHilir 37.16 ± 0.28a
TalukKuantan 37.25 ± 0.69a

Hasil one sample t test menunjukkan bahwa seluruh nilai HMF pada sampel madu yang dianalisa berbeda nyata dengan standar yang ditentukan oleh SNI 3545:2013, yaitu maksimal 50 mg/kg.  Hal ini menunjukkan bahwa madu hutan yang berasal dari 8 kabupaten yang mewakili kondisi bioregion di Riau telah sesuai dengan standar SNI 3545:2013.Nilai HMF juga menjadi salah satu parameter dalam penentuan kualitas madu di dunia.CODEX (2011) telah membagi kelompok madu menjadi 6 kelompok berdasarkan kandungan HMF. Jika berdasarkan hal tersebut madu hutan asal Riau tidak memiliki nilai (0) sama sekali karena memiliki kadar HMF ≥ 20 mg/kg.

III.2 Enzim diastase

Menurut Bogdanov et al. (2000), enzim diastase merupakan enzim yang ditambahkan oleh lebah pada saat proses pematangan madu.Diastase (amilase) mencerna pati maltosa dan relatif stabil terhadap panas dan lama penyimpanan.Enzim ini juga banyak mengkatalisis konversi gula lainnya dan terutama bertanggung jawab untuk pola gula pada madu.Diastase memilki peran penting untuk menilai kualitas madu dan digunakan sebagai indikator kemurnian madu karena enzim tersebut berasal dari tubuh lebah. Di beberapa negara aktivitas enzim diastase digunakan sebagai indikator untuk kemurnian dan kesegaran madu (Azeredo et al., 2003). Hasil analisa menunjukkan bahwa terdapat hasil yang berbeda antara 6 lokasi bioregion di Riau, yaitu terendah terdapat pada sampel madu yang diperoleh dari kab.Meranti (3.13 DN) dan tertinggi adalah kab.Pelalawan (3.42 DN). Sedangkan 6 kabupaten yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 2).

Tabel (Table) 2.    Rata-rata nilai aktivitas enzim diastase pada 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Diastase enzyme activity average of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name ofDistricts) Nilai rata-rata (Mean) (DN)
Rokan hulu 3.23 ± 0.15ab
Bengkalis 3.33 ± 0.10ab
Pelalawan 3.42 ± 0.08b
Siak 3.28 ± 0.08ab
Kampar 3.27 ± 0.05ab
Meranti 3.13 ± 0.15a
Rokan Hilir 3.30 ± 0.10ab
Taluk Kuantan 3.30± 0.08ab

          Pada uji one sample t menunjukkan bahwa seluruh sampel madu yang diperoleh memiliki nilai yang berbeda nyata dengan nilai standar minimal yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013.Meskipun seluruh sampel madu menunjukkan nilai di atas standar yang ditentukan oleh SNI 3545:2013, nilai aktivitas enzim dari seluruh sampel madu mendekati nilai minimum (3 DN). Berdasarkan standar yang digunakan oleh Swiss Bee Research Centre (2000), kadar enzim diastase pada madu hutan Riau juga telah memenuhi persyaratan karena berada pada level di atas 3 untuk madu segar.

III.3 Keasaman

Parameter keasaman menunjukkan bahwa madu memiliki sejumlah kandungan asam organik. Menurut Suranto (2004), jenis asam utama yang terdapat dalam madu adalah asam glutamat sedangkan jenis asam organik yang lain adalah asam asetat, asam butirat, format, suksinat, glikolat, malat, proglutamat, sitrat, dan piruvat. Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara nilai rata-rata keasamaan madu diantara bioregion yang ada di Riau (Tabel 3).

Tabel (Table) 3.    Rata-rata nilai aktivitas enzim diastase pada 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Acidity value of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten

(Name of Districts)

Nilai rata-rata (Mean) (ml NaOH/kg)
Kampar 36.50 ± 0.55a
Siak 36.50 ± 0.50a
Taluk Kuantan 36.76 ± 0.71a
Pelalawan 37.10 ± 0.65a
Meranti 37.10 ± 0.45a
Rokan Hilir 37.30 ± 0.26a
Rokan Hulu 37.34 ± 0.57a
Bengkalis 37.34 ± 1.15a

Pada uji one sample t menunjukkan bahwa seluruh sampel madu yang diperoleh memiliki nilai keasaman yang berbeda nyata dengan nilai standar minimal yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013, yaitu maksimal 50 ml NaOH/kg. Jika dikonversi dengan menggunakan tabel alkimetri, derajat keasaman seluruh sampel madu yang diperoleh berada di kisaran pH 5, sementara untuk standart nilai yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013 berada pada kisaran pH 6 s.d 10.

III.4 Kadar sukrosa

Kadar sukrosa menjadi salah satu dalam menentukan palsu atau murninya suatu produk madu.Hal ini disebabkan gula sukrosa merupakan gula majemuk yang belum dipecah oleh enzim amilase atau invertase yang hanya dimiliki oleh lebah. Selama proses pematangan nektar menjadi madu, sukrosa yang berasal dari nektar akan dipecah oleh aktivitas enzim invertase menjadi bentuk gula sederhana yaitu glukosa dan fruktosa. Menurut Sumoprastowo (1993), segera setelah hancurnya sukrosa maka akan terbentuk gula sederhana, yaitu fruktosa dan glukosa dan gula jenis ini tidak terdapat pada nektar (Sumoprastowo,1993). Berdasarkan hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara nilai rata-rata sukrosa pada 6 bioregion yang ada Riau (Tabel 4).

Tabel (Table) 4.    Rata-rata nilai sukrosa madu hutan pada 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Average percentage of sucrose of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Meranti 1.08 ± 0.07a
Rokan Hilir 1.12 ± 0.02a
Kampar 1.12 ± 0.41a
Siak 1.13 ± 0.04a
Pelalawan 1.14 ± 0.04a
Taluk Kuantan 1.14 ± 0.05a
Rokan Hulu 1.15 ± 0.05a
Bengkalis 1.15 ± 0.05a

Hasil uji one sample t menunjukkan bahwa seluruh sampel madu yang berasal dari 6 bioregion yang ada di Riau berbeda nyata dengan nilai sukrosa yang telah distandarkan pada SNI 3545:2013.Hasil analisa menunjukkan bahwa seluruh sampel madu hutan memiliki nilai yang lebih kecil dari disyaratkan, yaitu 5%. Swiss Bee Research Centre (2000) menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok madu berdasarkan kadar sukrosanya, yaitu (1) madu umum yang memiliki kadar sukrosa maksimal 5%, (2) madu yang berasal dari bunga Robinia, Lavandula, Hedysarum, Trifolium, Citrus, Mediacago, Eucalyptus camaludensis, dan Eucryphia memiliki kadar sukrosa maksimal 10%, dan (3) madu yang berasal dari bunga Calomanthus, Eucalyptus scabia, Banksia, Xanthorrhoea, dan embun madu (honey dew) memiliki kadar sukrosa maksimal 15%. Berdasarkan hal tersebut, madu hutan asal Riau yang cenderung multiflora (madu umum) telah masuk pada standar yang dikeluarkan oleh Swiss Bee Research Centre.

III.6 Gula reduksi

            Gula reduksi merupakan salah satu parameter dalam SNI 3545:2013 yang paling sering digunakan dalam menentukan keaslian madu (Maun, 1999).Jenis-jenis gula pereduksi yang terdapat pada madu tidak hanya glukosa dan fruktosa, tetapi juga terdapat maltosa dan dekstrin (Ratnayani, et. al., 2008). Menurut Sihombing (2005) madu kaya akan karbohidrat sederhana karena lebah pekerja meminum nektar dan memuntahkannya kembali sambil menambahkan enzim yang disebut enzim invertase. Sukrosa dari nektar akan diubah seluruhnya menjadi fruktosa dan glukosa sehingga mencapai 85% sampai 95 % dari total karbohidrat pada madu. Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara bioregion yang ada di Riau (Tabel 6).Hal ini menginformasikan bahwa kandungan gula pereduksi pada madu hutan di Riau tidak dipengaruhi oleh kondisi bioregion.

Tabel (Table) 6.    Rata-rata nilai gula reduksi pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Average percentage of reduction sugars of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Pelalawan 60.72 ± 0.25a
Kampar 60.73 ± 0.30a
Siak 60.78 ± 0.30a
Talukkuantan 60.82 ± 0.42a
Meranti 60.83 ± 0.57a
Rokan Hilir 60.83 ± 0.28a
Bengkalis 61 ± 0.50a
Pelalawan 60.72 ± 0.25a

III. 5 Gula reduksi 

Jika dibandingkan dengan nilai pada SNI 3545:2013, kadar gula pereduksi menunjukkan perbedaan yang nyata dan berada di bawah nilai SNI 3545:2013, yaitu 65%. Nilai gula pereduksi erat hubungannya dengan kadar sukrosa. Enzim diastase yang disekresikan oleh lebah akan mengubah kadar sukrosa (gula komplek) menjadi gula sederhana (reduksi) seperti glukosa dan fruktosa. Sehingga kombinasi nilai sukrosa dan gula pereduksi sering dijadikan dasar dalam menentukan keaslian madu.

Kondisi bioregion yang didominasi oleh dataran rendah dan waktu pengambilan sampel yang dilakukan pada musim kemarau diduga mempengaruhi nilai gula reduksi madu hutan. Bahkan menurut Sihombing (2005), suhu dapat mempengaruhi produksi nektar tanaman sumber pakan, semakin tinggi suhu lingkungan maka nektar yang dihasilkan tanaman sumber pakan lebih sedikit, namun kandungan sukrosa pada nektar semakin meningkat dan sebaliknya. Hal ini yang menyebabkan kandungan glukosa madu

III.6 Padatan tak larut

         Padatan tak larut pada madu adalah senyawa organik dan anorganik yang tidak larut oleh cairan madu seperti pasir, potongan daun, bagian tubuh serangga, dan lain-lain (Utami, 2015).Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara keenam sampel madu yang diambil dari 6 bioregion di Riau (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa nilai padatan tidak larut yang berasal dari sampel madu di seluruh Riau adalah sama, meskipun berasal dari bioregion yang berbeda.

Tabel (Table) 7. Rata-rata nilai padatan tak larut pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Average percentage of unsoluble substancesof wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Taluk kuantan 0.02 ± 0.002a
Kampar 0.02 ± 0.001a
Siak 0.02 ± 0.004a
Bengkalis 0.02 ± 0.005a
Meranti 0.02 ± 0.005a
Pelalawan 0.02 ± 0.003a
Rokan Hulu 0.02 ± 0.005a
Rokan Hilir 0.02 ± 0.003a

          Hasil one sample t test dengan menjadikan nilai SNI 3545:2013 sebagai benchmark, menunjukkan bahwa nilai padatan tak larut pada seluruh sampel madu berbeda nyata dan jauh berada di bawah nilai maksimal standar yang disyaratkan, yaitu 0,5 %. Menurut Purnomo et al. (2008), proses panen madu yang higienis dapat meningkatkan kualitas madu hutan yang salah satu caranya adalah dengan hanya memotong sisiran sarang dan menggunakan tehnik ekstraksi yang tepat (sistem tiris dan peras). Tehnik pemanenan dengan hanya memotong sisiran madu akan mengurangi tercampurnya madu dengan bahan organik atau kotoran lain seperti anakan lebah yang dapat meningkatkan persentase padatan tak larut pada madu dan proses fermentasi madu.

III.7 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kualitas madu. Nilai kadar air maksimum yang diijinkan oleh SNI 3545:2013 adalah sebesar 22%. Hasil analisa menunjukkan bahwa seluruh sampel madu hutan yang diperoleh dari 6 bioregion di Riau adalah tidak memenuhi syarat karena lebih dari yang dipersyaratkan (Tabel 9). Bahkan, berdasarkan batasan yang dikeluarkan oleh CODEX (2011) yang juga menyantumkan parameter kadar air sebagai salah satu persyaratan madu dunia, madu hutan asal Riau tidak memenuhi persyaratan karena memiliki kadar air lebih dari 19,6%. Informasi lain yang diperoleh adalah kadar air madu hutan menunjukkan tidak berbeda nyata antara 7 bioregion yang ada di Riau. Hal ini menginformasikan bahwa secara umum kadar air madu hutan di seluruh bioregion di Riau baik yang berasal dari daerah hulu (kawasan hutan) dan daerah kepulauan adalah sama (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air madu hutan di seluruh bioregion adalah sama dan perbedaan karakteristik bioregion tidak mempengaruhi kadar air madu hutan di Riau.

Tabel (Table) 8. Rata-rata nilai kadar air pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten)  di Riau (Average percentage of water of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten (Name of Districts) Nilai rata-rata (Mean) (% b/b)
Taluk Kuantan 23.83 ± 0.81a
Kampar 24 ± 1.04a
Siak 24 ± 0.83a
Bengkalis 24 ± 1a
Meranti 24.33 ± 0.57a
Pelalawan 24.5 ± 1a
RokanHulu 24.67 ± 1a
RokanHilir 24.8 ± 0.76a

 

Beberapa faktor yang menyebabkan nilai kadar air madu hutan di Riau tinggi adalah kelembaban (Sarwono, 2007 dan Rohmawati, 2007)) dan tingkat kematangan madu (Nuryati, 2006). Madu yang memiliki sifat higroskopis akan mudah menyerap kandungan air yang berada di udara bebas. Jika kelembaban udara tinggi, maka kadar air madu akan semakin tinggi pula. Bahkan menurut Sarwono (2007), jika kelembaban 51%, maka kadar air madu mencapai 16.1 %, akan tetapi jika kelembapan udara mencapai 81% maka kadar air madu dapat mencapai 33,4% (Sarwono, 2007). Nuryati (2006) menyatakan bahwa Indonesia memiliki angka kelembaban udara relatif yang tinggi, yaitu 80 %. Madu dengan kadar air 18,3 % atau lebih kecil dari itu, akan menyerap uap air dari udara pada kelembaban relatif di atas 60 %, kadar air yang tinggi dapat mempercepat proses fermentasi di dalam madu.Tingkat kematangan madu juga mempengaruhi kadar air madu hutan. Menurut Purnomo dan Pribadi (2013), madu yang matang adalah madu yang telah ditutup oleh lilin. Panen madu dari sisiran madu yang telah tertutup lilin sedikitnya 80% akan mengurangi tingkat kerentanan madu dari fermentasi. Hal ini disebabkan karena rendahnya kadar air pada madu tersebut. Menurut Prasetyo et al. (2011), jika kadar air lebih dari 20% maka madu akan sangat rentan terhadap fermentasi.Tingginya kadar air madu hutan melebihi yang dipersyaratkan oleh SNI 3545:2013, sering kali menjadi permasalahan bagi madu hutan. Berbeda dengan madu ternak A. mellifera dan A. cerana yang berada pada kondisi terkontrol, madu hutan sangat dipengaruhi oleh kelembaban di udara karena posisi sarang yang berada pada dahan pohon dan bersentuhan langsung dengan udara bebas.

III.8 Uji Organoleptik

Menurut Wagiyono (2003), pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan. Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan (stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan benda penyebab rangsangan.

Sampel madu hutan yang berasal dari 6 bioregion di Riau menunjukkan bau dan rasa khas madu (Tabel 9).Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rasa dan bau pada jenis madu yang ada di Riau. Jika dilakukan perbandingan dengan SNI 3545:2013, rasa dan bau madu hutan asal Riau adalah sama. Pengukuran standar rasa dan bau madu hutan ini tidak memiliki standar kuantitas yang jelas karena hanya berdasarkan pada penilaian sang ahli.

Tabel (Table) 9.    Parameter rasa dan bau (organoleptik) pada madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Organoleptic test/ flavor testof wild honey of Riau`s bioregions).

Kabupaten

(Name of Districts)

Penilaian (Remark)
Taluk Kuantan Khas madu
Kampar Khas madu
Siak Khas madu
Bengkalis Khas madu
Meranti Khas madu
Pelalawan Khas madu
Rokan Hulu Khas madu
Rokan Hilir Khas madu

Selain parameter berupa rasa dan bau, terdapat parameter berupa warna madu yang dapat dijadikan faktor untuk menentukan jenis madu.Meskipun parameter warna tidak masuk pada SNI 3545:2013, penggunaan standar warna telah banyak dilakukan di negara-negara Eropa (British Honey Company, 2015) dan Amerika Serikat (Sanford, 2003).Berdasarkan standar yang diberikan olehFlottum and Marchese (2013) terdapat 7 tingkatan warna madu mulai dari water white yang paling terang sampai dengan dark amber yang paling gelap.Jika dibandingkan dengan standar tersebut maka kelompok madu hutan yang berasal dari 6 bioregion di Riau berada pada 4 kategori terakhir (Tabel 10).

Tabel (Table) 10. Parameter warna madu hutan di 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (The color of wild honey at Riau`s bioregions).

Kabupaten

(Name of Districts)

Penilaian (Remark)
Taluk Kuantan Light Amber (50-85 mm)
Kampar Light Amber (50-85 mm) s.d Dark Amber (114-140 mm)
Siak Amber (85-114 mm)
Bengkalis Light Amber (50-85 mm)
Meranti Dark Amber (114-140 mm)
Pelalawan Light Amber (50-85 mm)
Rokan Hulu Extra Light Amber (34-50 mm) s.d Dark Amber (114-140 mm)
Rokan Hilir Amber (85-114 mm)

Tingkat warna madu bergantung pada sumber nektar dan komposisi mineral dari tanah dimana tumbuhan penghasil nektar tersebut tumbuh.Sebagian masyarakat beranggapan bahwa warna madu yang terang menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan madu yang berwarna gelap.Akan tetapi, menurut Somerville (2005), madu yang memiliki warna lebih gelap memiliki kandungan mineral yang lebih banyak dibandingkan madu yang berwarna terang (Tabel 11). Selain kandungan mineral, madu yang memiliki warna lebih gelap juga menunjukkan kandungan senyawa phenolik yang lebih tinggi dibandingkan madu warna terang (Lachman et al., 2010). Akan tetapi untuk bioregion berupa hutan alam mineral yang diwakili oleh kab. Kampar dan kab. Rokan Hulu terdapat sampel madu yang menunjukkan kisaran warna dari extra light amber dan light amber sampai dark amber. Hal ini menunjukkan bahwa warna sampel madu yang berasal dari bioregion hutan alam mineral belum dapat dijadikan penanda yang khas karena memiliki kisaran warna yang masih terlalu luas. Selain itu, madu hutan asal Riau memiliki kecenderungan warna gelap dan tidak terlihat perbedaan antara warna madu yang berasal dari setiap bioregion, baik yang berasal dari bioregion hutan alam mineral maupun bioregion hutan tanaman ataupun perkebunan kelapa sawit dan karet. Bahkan pada bioregion yang memiliki karakteristik hampir sama (daerah pesisir) di kabupaten Bengkalis dan kabupaten Meranti menunjukkan perbedaan warna. Hal ini menguatkan bahwa kondisi bioregion yang ada di Riau tidak mempengaruhi warna madu hutan.

Tabel (Table) 11. Perbandingan komposisi mineral pada madu berwarna gelap dan terang (Comparison of mineralconstituents of dark and light honey) (Petrov, 1970).

Mineral Madu Berwarna Gelap (Dark Amber) (mg/kg) Madu Berwarna Terang (Light Amber) (mg/kg)
Ca 227 107
Cu 1 1
K 1241 441
Mg 132 40
Mn 10 1
Na 23 251
P 123 129
Zn 2 3

Selain dengan menggunakan parameter SNI 3545:2013 dalam penentuan karakristik madu hutan, terdapat beberapa pendekatan lain yang dapat digunakan, yaitu analisa fitokimia, analisa mineral, analisa melissapalynology dan asam organik. Kelemahan dalam menggunakan metode SNI 3545:2013 dalam penentuan karakteristik madu adalah hanya terbatas pada pengujian yang sifatnya lebih dekat pada penentuan tingkat keaslian madu.Pendekatan dengan menggunakan analisa fitokimia digunakan untuk menentukan ciri senyawa aktif yang memiliki kemampuan tertentu atau efek yang bermanfaat (Robinson, 1991) dan terdiri atas alkaloid, flavonoid, steroid, saponin, terpenoid, dan tanin (Harborne, 1984). Misalnya adalah madu Manuka yang berasal dari Selandia Baru yang memiliki 5 komponen bahan aktif utama yang menjadi ciri khas madu Manuka, yaitu phenylacetic acid, phenyllactic acid, 4-methoxyphenyllactic acid, leptosin, dan methyl syringate (Tuberoso et. al., 2009; Stephen, et. al., 2010).

III.9 Analisa palynology

Analisa palynology merupakan analisa pollen yang terdapat pada madu. Menurut Ohe et al. (2004), pada sel madu juga sebenarnya terkandung pollen dan embun madu yang dapat mengandung algae dan spora jamur. Kedua kombinasi ini terutama pollen merupakan kunci yang dapat digunakan sebagai tanda pengenal dan asal usul madu berasal. Bahkan, analisa melissapalynology merupakan pengujian tentang asal usul madu yang lebih akurat dibandingkan uji fitokimia yang membutuhkan data pembanding yang berasal dari berbagai tumbuhan yang terdapat pada vegetasi tersebut. Selain itu menurut Russmann (1998), analisa pollen pada madu juga dapat memberikan informasi mengenai tingkat fermentasi madu, tehnik ekstraksi dan penyaringan madu yang digunakan, dan senyawa yang mengkontaminasi madu seperti abu (Louveaux, et al., 1978).

Berdasarkan analisa palynology, diperoleh informasi bahwa terdapat 9 tipe pollen pada sampel madu yang berasal dari 6 bioregion yang ada di Riau (Tabel 12 dan 13). Hasil ini dapat digunakan sebagai salah satu tanda pengenal bagi suatu madu (asal usul madu). Misalnya adalah, madu yang berasal dari kab. Bengkalis dan Meranti yang memiliki bioregion hutan pesisir memiliki karakteristik pollen yang didominasi tipe prolate spheroidal (91,46 %) dengan didominasu ukuran minute (10-25 µm) (97,56%). Hal ini berbeda dengan madu hutan yang berasal dari kawasan bioregion hutan mineral (kab. Kampar dan kab. Rokan Hulu) yang memiliki karakterisitik tipe pollen yang didominasi tipe prolate spheroidal (36,04% dan 38,20%) dan tipe oblate spheroidal (32,51% dan 55,06%) dengan ukuran minute dan mediae (25-50 µm).

Tabel (table) 12.   Persentase tipe pollen pada 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Percentage of pollen types at Riau`s bioregions). 

Lokasi (locations) Persentase tipe pollen (% of pollen types)
Sub Olate Oblate Prolate spheroidal Sub Spheroidal Oblate Spheroidal Prolate Perprolate Sub prolate
Bengkalis 4.94 2.47 91.36 1.23
Kampar 2.83 36.04 4.59 32.51 2.83
Pelalawan 0.28 91.60 8.12
Rokan Hilir 64.61 3.75 28.28 0.94 0.19 2.25
Siak 13.33 65.00 13.33 8.33
Meranti 7.37 1.05 1.05 75.79 11.58 2.11 1.05
Taluk Kuantan 59.88 20.99 15.43 3.70
Rokan Hulu 38.20 55.06 1.12 5.62

Selain itu untuk bioregion yang memiliki kecenderungan homogen (hutan tanaman dan perkebunan) menunjukkan bahwa adanya perbedaan untuk tipe dan ukuran pollennya. Untuk karakteristik pollen yang berasal dari bioregion yang didominasi oleh tegakan hutan tanaman (A. mangium, A. crassicarpa, dan Eucalyptus sp.) yang diwakili oleh kab. Siak menunjukkan bahwa tipe pollen prolate spheroidal (64,61%) (Tabel 12) dengan kelompok mediae (66%) (Tabel 13) mendominasi kelompok dan ukuran pollen. Hal ini berbeda dengan bioregion perkebunan kelapa sawit dan karet yang menunjukkan bahwa pollen didominasi oleh tipe sub olate (59,88%) dengan ukuran minute (73,48%).

Tabel (table) 13.   Persentase ukuran pollen pada 6 bioregion (8 kabupaten) di Riau (Percentage of pollen size at Riau`s bioregions).

Lokasi (locations) Persentase ukuran pollen (% of pollen size)
Perminute Minute Mediae Magnae
Bengkalis 97.56 2.44
Kampar 31.51 53.70 14.79
Pelalawan 91.04 8.12 0.84
Rohil 66.61 32.37 1.02
Siak 16 66 18
Selat panjang 14.74 84.21 1.05
Taluk Kuantan 73.48 25.76 0.76
Rohul 47.73 48.86 3.41


IV. KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

  1. Karakteristik madu hutan yang berasal dari beberapa bioregion di Riau adalah tidak berbeda kecuali parameter enzim diastase pada madu hutan di kabupaten Pelalawan yang mewakili bioregion hutan rawa gambut yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan bioregion lainnya.
  2. Jika dibandingkan dengan nilai SNI 3545:2013, madu hutan yang berasal dari beberapa bioregion di Riau menunjukkan ketidaksesuaian dengan standar yang berlaku pada parameter kadar abu, gula reduksi, dan kadar air. Sedangkan parameter lainnya menunjukkan kesesuaian dengan standar yang berlaku.
  3. Karakteristik madu hutan asal Riau berdasarkan tipe dan ukuran pollen menunjukkan perbedaan antara bioregionnya.

 

IV.2 Saran

         Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa parameter kadar air madu hutan yang berasal dari bioregion di Riau selalu tidak dapat memenuhi syarat yang diberikan oleh SNI 3545:2013. Oleh sebab itu, sering kali produk madu hutan gagal dalam melewati pengujian kadar air. Sehingga diperlukan adanya kajian mengenai kemungkinan review SNI 3545:2013 untuk memperbaiki atau memperbaruinya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 1991. Analisis Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Staf Laboratorium Pusat Perlebahan Nasional Parung Panjang.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor

Aina, D. O., Enefola, J. O., and Agwu, C. O. C. 2015.Palynological Study of Honey Samples from Four Localities in Kogi East, Nigeria.Journal of Biology and Life Science. Vol. 6 (1), p: 29-36.

Azeredo, L D; Azeredo, M A A; De Souza, S R; Dutra, V M L. 2003. Protein contents and physicochemical properties in honey samples of Apis mellifera of different floral origins. Food Chemistry 80 (2): 249-254

Bappenas dan Kementrian Lingkungan Hidup.2003. Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Bappenas, Jakarta

Bhalchandra, W., Baviskar, R.K., and Nikam T.B. 2014 Diversity of Nectariferous and Polleniferous Bee Flora at Anjaneri and Dugarwadi Hills of Western Ghats of Nasik district (M. S.) India. Journal of Entomology and Zoology Studies.Vol  2 (4), p: 244-249

Bogss, C.L. 1988. Rates of Nectar Feeding in Butterflies: Effects of Sex, Size, Age, and Nectar Concentration. Functional Biology. Vol 2, p: 289-295

British Honey Company. 2013.  Pfund Colour Scalehttp://www.oxfordhoney.uk/pfund-colour-scale/

 

CODEX.2011. Fairtrade Standard for Honey for Small Producer Organizations. Fairtrade International, Germany. http://www.fairtrade.net/standards.html

 

Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy-Angiosperms:

An Introduction to the Study Pollen Grains and Spores. Munksgard, Copenhagen

Hadisoesilo, S. dan Kuntadi. 2014.  Faktor Penyebab Kegagalan Panen Madu Hutan di Taman Nasional Danau Sentarum Pada Musim Panen Tahun 2009-2012: Jaringan Madu Hutan Indonesia. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam vol 11 (2), hal: 171-182

Harder, L.D. 1986.Effects of Nectar Concentration and Flower Depth on Flower Handling Efficiency of Bumble Bees.Oecologia. Vol. 69, p: :309-315

 

Lachman, J., HeJtmánkoVá, L., Sýkora, J., Karban, J., Orsák, M., and RygeroVá, B. 2010. Contents of Major Phenolic and Flavonoid Antioxidants in Selected Czech Honey. Czech J. Food Sci vol 28 (5), p: 412–426

 

Louveaux J., Maurizio A., and Vorwohl G. (1978) Methods of Melissopalynology. Bee World 59, p: 139– 157.

Maun, S. 1999. Pemalsuan Madu dengan Sakarosa. Jurnal Kedokteran Trisakti 18 (1), hal: 9-19

 

Nuryati, S. 2006. Laporan Penelitian: Status dan Potensi Pasar Madu Organis Nasional dan Internasional. Editor : J. Indro Surono. Aliansi Organis Indonesia, Bogor

 

Ohe, W.V.D., Oddo, L.P., Piana, M.L., Morlot, M. and Martin, P. 2004. Harmonized Methods of Melissopalynology.Apidologie. Vol 35, p: S18–S25

 

Petrov, V. 1970.Mineral Constituents of Some Australian Honeys as Determined by Atomic Absorption Spectrophotometry.Jpurnal of Apicultural Research. Vol. 9, p: 95-101

 

Purnamasari, N., Aprilia, H., dan Sukanta. 2015. Pembandingan Parameter Fisikokimia Madu Pahit (Aktivitas Enzim Diastase, Gula Pereduksi (Glukosa), Keasaman, dan Cemaran Abu dan Arsen) dengan Madu Manis Murni. Prosiding Penelitian SPeSIA. Hal:46-50

Ratnayani, K.N.M.A.,Adhi, D.S dan Gitadewi,I.G.A.M.A. S.2008. Penentuan Kadar Glukosa dan Fruktosa pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Jurnal Kimia  2 (2), hal: 77-86

 

Robinson, T. 1991. The Organic Constituen of Higher Plants 6th ed. Departement of Biochemistry University of Massachusetts, Massachusetts

 

Sarwono, B. 2007. Lebah Madu. AgroMedia Pustaka, Jakarta

 

Sumoprastowo, R. M., 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol, Bhratara, Jakarta

 

Sanford, M.  2003. Honey Judging and Standards1.

http://entnemdept.ufl.edu/honeybee/extension/AA24800%20Honey%20Judging%20and%20Standards.pdf

Sujatmaka.1988, Menghasilkan Madu Berkualitas Tinggi. Majalah Trubus, 4 (I) : 24-25

 

Suranto, A. , 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Agromedia Pustaka, Tangerang

 

Russmann, H. 1998. Hefen und Glycerin in Blütenhonigen– Nachweis einer Gärung oder einerabgestoppten Gärung,  Lebensmittelchemie. Vol 52, p: 116–117.

Smith, M., & Galán, C. (1978). Pollen morphology.

http://www.eaaci.org/attachments/Pollen%20morphology%20-%20Matt%20Smith%20Carmen%20Galan.pdf. Diakses 29 Juli 2016

Sudarmalik, Rochmayanto, Y., dan Purnomo. 2006. Peranan Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Riau dan Sumatera Barat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, hal: 199-219

 

Swiss Bee Research Centre. 2011. Honey Quality, Methods of Analysis and International Regulatory Standards: Review of the Work of the International Honey Commision. Federal Dairy Research Institute, Bern

Thayer, R.L., Jr. 2003. Life Place, Bioregional Thought and Practice. Berkeley: Universitas Of California Press, California

Tuberoso, C.I., Bifulco, E., Jerkovic, I., Caboni, P., Cabras, P., Floris, I. 2009. Methyl syringate: A Chemical Marker of Asphodel (Asphodelus microcarpus Salzm. et Viv.) Monofloral Honey. Journal. Agriculture Food Chem. Vol 57, p: 3895−3900

Utami, 2015. Tinjauan Pustaka. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44295/5/Chapter%20II.pdf

Wagiyono. 2003. Menguji Kesukaan secara  Organoleptik. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. http://psbtik.smkn1cms.net/pertanian/agroindustri/agroindustri_non_pangan/menguji_kesukaan_secara_organoleptik.pdf

 

Author: avrypribadi

staff peneliti pada litbang kementrian lingkungan hidup dan kehutanan

3 thoughts on “Karakter Madu Hutan Riau”

  1. Terimakasih buat penelitiannya pak. Saya mau tanya, apakah ada alat yg mempermudah untuk menentukan keaslian madu hutan riau ini? Atau boleh tau biaya dan dimana bisa uji lab madu hutan riau pak? Terimakasih

    Like

    1. Untuk sekarang sepertinya belum ada, karena begitu banyak parameter SNI yang harus dimasukkan. Tetapi di kantor kami sedang melakukan penelitian sidik cepat kandungan dalam madu yang salah satunya dapat digunakan dalam penentuan keaslian madu. Kalau uji berupa kadar air dan foto pollen bisa dilakukan di kantor kami, tetapi kalau uji parameter SNI yang lain kami lakukan di Balai Industri Agro Bogor, sebenarnya di BPOM Pekanbaru juga bisa, tetapi kami lebih memilih di Bogor dengan berbagai pertimbangan. Mengenai harga, di website Balai Industri Agro ada daftar harga per parameternya.
      Terima kasih.

      Like

Leave a comment