Oleh/by:
Avry Pribadi
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
avrypribadi@gmail.com
ABSTRACT
Cadamba (Anthocephalus cadamba) plantation as alternative raw material for pulp and paper has such serious problem in pest and diseases that can reduce their productivity. Many previously studies stated that the existance of the pest and diseases are influenced by some abiotic factor such as temperature, humidity, and rain fall intensity. The objectives of this research were (1) to evaluate the pest and diseases incidence level at cadamba in two different season (rainy;november and drought;march) and (2) to find out the influence of abiotic factors to severity level caused by pests and diseases that attacked cadamba leaf in in two different season (rainy and drought season). The observation at Community Forest (CF) Pasir Pangaraian indicated the declining of the incidence percentage of leaf spot attacks at the end of March to November (36.33% to 35.34%). Same trend showed on the leaf spot trend, in observation of defoliator pest (A. hilaralis) showed a declining trend (27.59% in March to 6.26% in November) and ladybugs (Cosmoleptrus sumatranus) from 9.14% in March to 1.89% in November. Regresion equation showed the combination effects of temperature, humidity, rainfall and rainy days on the severity / intensity of attacks level by 49.3% in drought season and 46% at rainy season. At CP Beringin showed that the leaf spot tended to increase at the end of the observation (50% in drought increased to 73.53% in the rainy season). While the observation of defoliator pests (A. hilaralis) showed increasing in the incidence level of an attack A. hilaralis also showed an increasing (5% in the drought season to be 7.35% in the rainy season). Regresion equation showed the combination effects of temperature, humidity, rainfall and rainy days on the severity / intensity of attacks level by 26.9% in rainy season and 49.1% in drought season.
Keyword: pest and diseases, cadamba, incidence level, severity level, abiotic factor
PENDAHULUAN
Jenis Acacia dan Eucalyptus yang selama ini dikembangkan oleh banyak perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp dan kertas dalam pola yang monokultur memungkinkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah serangan hama yang dapat menurunkan kualitas tegakan. Serangan hama ini bahkan menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap rotasinya. Nair (2001) menyatakan bahwa serangan hama Coptotermes curvignathus pada HTI Acacia mangium di Malaysia dapat menurunkan tegakan sebesar 10% – 50%. Selain itu Sudarmalik (2007) menyatakan bahwa biaya operasional untuk pembangunan HTI Acacia crassicarpa pada lahan gambut mengalami peningkatan untuk setiap rotasinya, dikarenakan kebutuhan nutrisi tanah yang meningkat dan harus diganti dengan input pupuk.
Badan Litbang Kehutanan telah menetapkan beberapa jenis tanaman alternatif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dimiliki oleh tanaman jenis advance yang salah satunya adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Tanaman ini memenuhi beberapa persyaratan untuk dijadikan sebagai bahan pulp dan kertas, antara lain adalah tergolong spesies yang cepat tumbuh (fast growing), panjang serat 1,561 µm, diameter serat 23,95 µm, dan tebal dinding serat 2,78 µm serta termasuk kelas II (Aprianis et. al., 2007).
Hutan tanaman merupakan ekosistem monokultur akan memiliki tingkat kerentanan dari gangguan organism pengganggu tanaman lebih tinggi jiuka dibandingkan ekosistem yang heterogen. Serangan hama dapat mengalami blooming sebagai akibat sedikitnya jumlah organisme predator dan melimpahnya makanan. Pribadi (2011) menyatakan bahwa tingkat kerusakan tertingggi terjadi pada organ daun dibandingkan batang dan akar sebagai akibat serangan hama defoliator tertinggi terjadi pada areal penanaman jabon di HTI sektor Baserah (92,88 %) dan terendah terdapat pada HTI sektor Pelalawan (40,5 %), sedangkan pada Hutan Rakyat (HR) Pantai cermin tingkat kerusakannya mencapai 55,67 %. Hal ini diduga oleh kondisi lingkungan (jenis tanah yang berdampak pada jenis tutupan vegetasi sehingga berdampak pada kehadiran jenis-jenis hama yang opurtunis) dan pengelolaannya yang berbeda.
Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh hama ini cukup bervariasi berdasarkan jenis spesies maupun faktor abiotiknya. Salah satu contoh adalah serangan hama Spodoptera sp. pada areal persemaian Acacia crassicarpa yang mengalami fluktuasi populasi akibat dari beberapa perubahan faktor abiotik (Tjahjono, komunilasi pribadi, 2009). Menurut Petzoldt and Seaman (2010), sebagai hewan yang berdarah dingin, serangga memiliki temperatur tubuh hampir sama dengan temperatur lingkungan. Sehingga, temperatur memiliki peranan penting yang akan mempengaruhi tingkah laku, distribusi, pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan reproduksi yang berdampak langsung pada aktivitas metabolismenya dan diduga mempengaruhi perbedaan tingkat serangan dari beberapa jenis hama dan penyakit yang menyerang jabon di HR Riau.
Kajian terhadap tingkat serangan oleh berbagai hama dan penyakit yang menyerang tegakan jabon pada 2 musim dan umur tegakan yang berbeda di Riau merupakan suatu permasalahan yang penting untuk mengetahui tindakan pencegahan atau antisipasi serangan hama dan penyakit terutama pada musim hujan dan kemarau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) perbedaan tingkat serangan berbagai jenis hama dan penyakit pada jabon di HR Riau pada umur 1 tahun dan 2 tahun pada musim hujan dan kemarau dan (2) pengaruh beberapa faktor abiotik (temperatur, kelembaban, dan curah hujan) terhadap tingkat serangan hama dan penyakit di musim hujan dan kemarau.
METODOLOGI PENELITIAN
II.1 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini berlokasi di HR Pasir Pangaraian yang berumur 2 tahun dan HR Pekanbaru (Beringin) yang berumur 1 tahun. Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan mulai bulan Maret s.d Desember 2012.
II.2 Rancangan penelitian
Masing-masing lokasi penelitian (HR Pasir Pangaraian dan HR Beringin) dilakukan pengamatan sebanyak 2 kali (satu kali ulangan untuk setiap musim), yaitu pada musim kemarau (Maret 2012) dan musim hujan (November 2012). Penentuan plot pengamatan dilakukan dengan metode systematic sampling. Setiap plot yang terpilih kemudian dilakukan pengamatan terhadap keseluruhan jumlah tegakan yang berada pada plot tersebut (sensus). Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kesehatan per tegakan yang meliputi organ daun, tunas, batang, dan akar. Penilaian tingkat kerusakan oleh hama dan penyakit berdasarkan tingkat keparahan (severity level) dengan mengacu pada penilaian kesehatan hutan menurut Irwanto (2010). Pengamatan dilakukan terhadap kejadian dan tingkat serangan oleh berbagai jenis hama, penyakit dan jenis kerusakan lain yang menyerang jabon.
II.3 Pengolahan dan analisa data
II.3.1 Pengolahan data
Penghitungan kejadian serangan hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Tulung (2000);
K = n x 100%
N |
Keterangan:
K = Kejadian serangan oleh hama tertentu
n = Jumlah tanaman yang terserang oleh hama tertentu
N = Total jumlah tanaman
Tingkat kerusakan/keparahan akibat serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ditentukan dengan rumus Kilmaskossu dan Nerokouw (1993):
I = ni . Vi x 100%
N.V |
Keterangan:
I : Tingkat kerusakan per tanaman ni : Jumlah tanaman dengan skor ke-i Vi : Nilai skor serangan N : Jumlah tanaman yang diamati V : Skor tertinggi
|
Untuk tingkat skor yang digunakan adalah:
0 : sehat 1 : Sangat Ringan (serangan 1% – 20%) 2 : Ringan (serangan 21% – 40%) 3 : Sedang (serangan 41% – 60%) 4 : Berat (serangan 61% – 80%) 5 : Sangat Berat (serangan 81% – 100%).
|
II.3.2 Analisa data
Data yang diperoleh ditabulasi dengan menggunakan beberapa kategori (parameter), berdasarkan jenis kerusakan/penyebab kerusakan, organ tanaman yang terserang, dan tingkat kerusakan/ intesitas serangan. Kemudian data tersebut dilakukan analisa secara deskriptif kuantitatif dengan melakukan komparasi pada 2 musim (musim kemarau dan hujan). Data berupa tingkat serangan (severity level)/ intensitas serangan dan kejadian serangan dilakukan pengujian secara statistic (t- test) untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat/keparahan dan kejadian serangan oleh OPT (hama perusak daun yang disebabkan oleh ulat A. hilaralis dan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh kelompok dari Pestalotia sp., Cercospora sp., Curvularia sp., dan Colletotrichum sp.) pada musim hujan dan kemarau.
Data sekunder berupa temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan yang diperoleh dari BMKG Pekanbaru dianalisa secara regresi multivariate linear dan korelasi Pearson (pearson correlation) untuk mengetahui pengaruh dari beberapa factor abiotik tersebut di musim hujan dan kemarau terhadap tingkat keparahan daun yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit daun (severity level).
HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1 Tingkat serangan hama dan penyakit pada jabon di HR Pasir Pengaraian (jabon umur 2 tahun) dan HR Beringin (jabon umur 1 tahun).
Pengamatan tegakan jabon umur 2 tahun pada HR Pasir Pangaraian menunjukkan tingkat kerusakan tertinggi disebabkan oleh penyakit bercak daun (leaf spot) pada bulan Maret (musim kemarau) (36.33%). Sedangkan pada musim hujan penyakit bercak daun hanya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (35.34%), akan tetapi masih merupakan tipe kerusakan yang paling dominan (Tabel 1). Fenomena ini berbeda dengan pernyataan Menurut Anonim (1971) dalam Sutarman et al., (2004), penularan propagul infektif patogen terjadi lewat pemencaran oleh percikan air hujan maupun penyiraman secara manual atau dengan alat penyiram otomatis. Konidiospora Pestalotia theae (penyebab bercak daun pada bibit tanaman Pinus merkusii) dari tumbuhan sakit atau sisa tanaman sakit dapat disebarkan melalui kontak, percikan air dan aliran udara lokal, dan diduga dengan demikian juga bersifat sebagai patogen tular tanah. Sehingga diduga ada factor lain yang menyebabkan mengapa tidak ada perbedaan intensitas serangan penyakit bercak daun di musim hujan dan kemarau.
Sedangkan penyakit yang diduga disebabkan oleh defisiensi hara (kekurangan unsur N) terlihat dengan penampakan gejala perubahan warna daun menjadi kuning pucat menunjukkan peningkatan persentase sebesar 4.29% pada musim hujan. Peningkatan ini terjadi diduga ada hubungannya dengan tekstur tanah di lokasi ini yang didominasi oleh pasir. Berdasarkan penelitian Rahmayanti, et al., (2013) menunjukkan bahwa tekstur tanah di lokasi HR Pasir Pangaraian didominasi pasir sebesar 92% dan sisanya adalah debu serta tanah liat. Hal ini jika dihubungkan dengan limpasan air hujan maka pemberian pupuk NPK yang dilakukan pada musim hujan akan dengan mudah tercuci ke dalam tanah, tetapi tanah tidak memiliki kemampuan untuk mengikat unsur yang ada pada pupuk tersebut sehingga tanaman tetap mengalami kekurangan unsur N yang diperlihatkan dari daun yang berwarna kuning pucat. Sedangkan pada musim kemarau, hara yang tersedia pada pupuk NPK tidak mudah lolos karena limpasan maupun infiltrasi air hujan terjadi lebih lambat jika dibandingkan pada musim hujan sehingga diduga mampu memberikan kesempatan bagi akar untuk menyerapnya. Hal ini didukung oleh studi Marno (2013) yang menyatakan bahwa daya larut merupakan kemampuan suatu jenis ppuk untuk terlarut dalam air. Daya larut juga menentukan cepat atau lambatnya unsur hara yang ada di dalam pupuk untuk diserap tanaman atau hilang karena tecuci. Pupuk dengan daya larut tingi lebih cepat diserap oleh tanaman, tetapi mudah tercuci oleh hujan. Pupuk yang mengandung nitrogen biasanya mempunyai daya larut yang tinggi. Selain itu, Chaerun dan Anwar (2008) menyatakan bahwa aplikasi pupuk N pada lahan pertanian dengan irigasi akan mengalami kehilangan N yang akan larut dalam air irigasi atau air permukaan. Pemberian pupuk nitrogen 200 kg/ha sampai 300 kg/ha memacu peningkatan kadar nitrogen terutama pada aliran air irigasi. Pada aplikasi pupuk nitrogen tersebut mengalami
kehilangan sekitar 80% yang dilarutkan sebagai aliran air permukaan jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk nitrogen (0 kg/ha). Aplikasi irigasi dan curah hujan merupakan faktor yang mempercepat terjadinya kehilangan NO3-N pada zona perakaran dalam tanah melalui proses leaching yang bergerak melalui zona tidak jenuh air. Kualitas hidup tanaman juga sangat bergantung dari ketercukupan hara dari lingkungannya. Selain ditentukan oleh kemampuan tanaman dalam menyerap, perolehan hara juga tergantung dari tingkat ketersediaan hara di tanah. Tingkat kebutuhan hara antar tanamannyapun berbeda-beda (Fitter dan Hay, 1992).
Tabel (Table) 1. Rekapitulasi tingkat serangan berbagai kerusakan (jenis, lokasi, dan keparahan) pada musim kemarau dan hujan pada tegakan jabon di HR Pasir Pangaraian (Damaged level recapitulation based on type, location, and severity in drought and rainy season at cadamba community forest of Pasir Pangaraian).
Parameter (Parameter) | Jenis OPT (Pest and diseases type) | |||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | ||
Jenis kerusakan (Damage type) | Bercak daun (Leaf spot) | (Arthrochista hilarallis) Ulat pemakan daun (Defoliator) | Belalang (Grasshoper) | (Cosmoleptrus sumatranus) Kepik (ladybugs) | Perubahan warna daun (Discoloration of the leaves) | |
Persentase Maret | 36.33ns | 27.59 | 9.47 | 9.14 | 5.35 | |
Persentase Nov | 35.34ns | 6.26 | 31.05 | 1.89 | 9.64 | |
Lokasi kerusakan (Damage location) | Daun (Leaves) | Batang (stem,bark) | Akar (Root) | |||
Persentase Maret | 66.73ns | 23.84ns | 9.43ns | |||
Persentase Nov | 64.77 ns | 24.38 ns | 10.85 ns | |||
Pada pengamatan jenis kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama, menunjukkan kecenderungan penurunan dominasi pada persentase jenis serangan hama defoliator (A. hilaralis) sebesar 21.33% pada musim hujan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada serangan kepik penghisap (Cosmoleptrus sumatranus) yaitu mengalami penurunan sebesar 7.25% pada musim hujan. Hal ini berbanding terbalik dengan hama belalang (ordo orthoptera) yang menunjukkan kecenderungan peningkatan pada musim hujan sebesar 21.58%. Hal ini didukung oleh pernyataan Subyanto (2000), adanya curah hujan akan menambah kelembaban dan mempengaruhi vegetasi tanaman yang dibudidayakan. Hal ini mendorong keadaan yang cocok untuk perkembangan serangga hama, karena ketersediaan makanan yang cukup. Akan tetapi tidak semua jenis serangga mengalami perkembangan pada musim hujan, dan sebaliknya serangga-serangga tertentu pada musim hujan mengalami kematian. Serangga-serangga yang berkembang biak pada musim kemarau, misalnya jenis kutu tanaman (ordo homoptera dan hemiptera) karena pengaruh hujan yang berupa butiran-butiran air merupakan tenaga mekanis dapat mematikan serangga ini. Sebagai contoh hama belalang (Valanga nigricornis) bertelur pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau, kemudian menetas dan berkembang menjadi dewasa pada musim hujan. Sebelum musim hujan berakhir, belalang betina dewasa bertelur lagi di dalam tanah dan telur tersebut akan tetap dorman (diapause) selama musim kemarau.
Pada pengamatan tingkat kesehatan tegakan jabon umur 2 tahun menunjukkan peningkatan kesehatan jika dibandingkan pada musim kemarau (Gambar 1). Kecenderungan ini terlihat dari rendahnya tingkat kerusakan daun pada tegakan jabon pada yang berada pada kategori kerusakan sedang dan berat di musim hujan dibanding pada musim kemarau. Dugaan awal adalah pengaruh dari air hujan yang menyebabkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit meningkat yang terlihat dari peningkatan turgoritas. Menurut Yaacob and Tindall (1995), ketahanan turgor pada tanaman tidak hanya disebabkan oleh faktor endogen tetapi juga karena adanya gangguan luar (mekanis) misalnya curah hujan, angin, dan benturan fisik. Selain itu menurut Syah et al. (2007), berkurangnya kandungan air tanah pada musim kemarau akan menyebabkan terganggunya fisiologis tanaman yang kemudian akan berdampak pada rentannya dinding sel tanaman (kehilangan turgoritas) sehingga faktor-faktor eksternal seperti jaringan hifa dari fungi pathogen menjadi semakin mudah masuk ke dalam jaringan sel dengan merusak dinding sel.
Gambar 1. Grafik perkembangan tingkat kerusakan (seveiry level) serangan hama dan penyakit daun jabon pada HR Pasir Pangaraian (Severity level dynamic of pest and diseases attack at cadamba leaf at community forest of Pasir Pangaraian).
Pada pengamatan HR Beringin (jabon umur 1 tahun) menunjukkan bahwa pada jenis kerusakan serangan penyakit bercak daun (leaf spot) menunjukkan kecenderungan meningkat pada musim hujan sebesar 23.53%. (Tabel 2). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada serangan serangga hama defoliator (A. hilaralis), kepik (C. sumatranus) dan belalang (ordo orthoptera) secara umum menunjukkan peningkatan kejadian serangan. Kecenderungan ini berbeda dengan yang terjadi pada HR Pasir Pangaraian yang hanya menunjukkan peningkatan serangan pada jenis hama belalang sedangkan untuk jenis hama ulat A. hilaralis dan C. sumatranus menunjukkan penurunan tingkat serangan. Hal ini diduga
Tabel (Table) 2. Rekapitulasi tingkat serangan berbagai kerusakan (jenis, lokasi, dan keparahan) pada musim kemarau dan hujan pada pertanaman jabon di HR Beringin) (Many damaged level recapitulation based on type, location, and severity level in drought and rainy season at cadamba community forest of Beringin).
Parameter (Parameter) | Jenis OPT (Pest and diseases type) | |||||
1 | 2 | 3 | 4 | |||
Jenis kerusakan (Damage type) | Bercak daun (Leaf spot) | (Arthrochista hilarallis) Ulat pemakan daun (Defoliator) | Belalang (Grasshoper) | (Cosmoleptrus sumatranus) Kepik (ladybugs) | ||
Persentase Maret | 50 | 5 | 11.67 | 3.33ns | ||
Persentase Nov | 73.53 | 7.35 | 17.16 | 4.9ns | ||
Lokasi kerusakan (Damage location) | Daun (Leaves) | Akar (Root) | Batang (stem,bark) | |||
Persentase Maret | 60 | 32ns | 4ns | |||
Persentase Nov | 54.55 | 36.36ns | 3.64ns | |||
Keterangan (mark):
Kategori penilaian untuk tingkat keparahan (category to value the severity level):
1 : sangat ringan (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 0%-20%) (very low intensity/severity)
2 : ringan (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 21%-40%) (low intensity/severity)
3 : sedang (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 41%-60%) (rare intensity/severity)
4 : berat (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 61%-80%) (high intensity/severity)
5 : sangat berat (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 81%-100%) (very high intensity/severity).
HR Pasir Pangaraian memiliki 5 jenis kerusakan yang menyerang daun lebih banyak dari jenis kerusakan pada HR Beringin (7 jenis kerusakan). Jenis kerusakan yang tidak terdapat pada HR Beringin adalah perubahan warna daun (discoloration of the leaves). Dugaan terhadap perbedaan ini lebih dimungkinkan karena adanya perbedaan terhadap nutrisi dan kondisi fisik tanah. HR Beringin merupakan lokasi yang berdekatan dengan sungai sehingga menjadi tempat akumulasi unsur-unsur hara dan sifat fisik tanah yang didominasi lempung. Hal tersebut terlihat pada daun yang berwarna kekuningan yang menunjukkan kekurangan unsur N. Unsur N diperlukan tanaman sebagai pertumbuhan vegetative (sebagai penyusun basa nitrogen dalam DNA) dan sebagai unsur penyusun klorofil daun. Sedangkan akar yang terlihat di permukaan tanah menunjukkan bahwa kurangnya nutrisi tanah pada solum tersebut, sehiingga akar cenderung untuk mencari lapisan tanah yang lebih subur yang berada pada lapisan permukaan atas tanah.
Gambar 2. Grafik perkembangan tingkat kerusakan (seveiry level) serangan hama dan penyakit daun jabon pada HR Beringin (Severity level dynamic of pest and diseases attack at cadamba leaf at community forest of Beringin).
Pengamatan juga menunjukkan bahwa pada jabon umur 1 tahun (HR beringin) memiliki ketahanan terhadap serangan penyakit leaf spot lebih baik jika dibandingkan pada jabon umur 2 tahun (HR Pasir Pangaraian). Hal ini terlihat dari tingkat kerusakan (severity level) yang berada pada kisaran 50%-75,53% berbeda dengan yang terjadi pada jabon umur 2 tahun yang berada pada kisaran 36,33%-35,34%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kesehatan tegakan jabon sampai pada umur 2 tahun meskipun masih berada pada kategori sangat ringan.
III.2 Peranan beberapa factor abiotik pada musim hujan dan kemarau terhadap intensitas serangan/keparahan (severity level).
HR Pasir Pangaraian pada musim hujan menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 46% (Tabel 3). Dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah kelembaban dan curah hujan (sebesar 23%). Menurut Anonim (1998), factor lingkungan yang memperngaruhi perkembangan penyakit leaf spot adalah curah hujan dan kelembaban.
Pada musim yang cenderung kemarau menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 49,3% (Tabel 3). Berbeda dengan musim hujan, pada musim ini dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan adalah temperatur (13,5%) dan kelembaban (15,8%). Berbeda dengan musim yang cenderung kemarau, pada musim ini dua factor lingkungan yang dominan berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan adalah kelembaban (23,0%) dan curah hujan (23,0%).
Tabel (Table) 3. Persamaan regresi linear dan koefisien determinan (R) tingkat keparahan dengan temperature, kelembaban, dan curah hujan pada HR Pasir Pangaraian (Equation of linear regression and coefficient of determination (R) between severity level to humidity, temperature, and rainfall intensity at Community Plantation at Pasir Pangaraian).
Bulan Pengamatan (observation season) | Persamaan regresi (Regression equation) | R2 (%) |
November/ musim hujan (rainy season) | Y = 439,408 – 15.378X1
Y = -375,646 + 4,521X2 Y = 35,392 – 0,240X3 Y = 33,712 – 0,020X4 Y = -428,345 + 1,137X1 + 4,784X2 – 0.007X3 – 0,181X4 |
12,2
23,0 23,0 10,6 46,0 |
Maret/ musim kemarau (drought season) | Y = 364,738 – 12,236X1
Y = – 146,479 + 2,069X2 Y = 35,272 – 1,024X3 Y = 35,468 – 0,350X4 Y = 55,986 – 6,092X1 + 1,652X2 – 0,008X3 – 0,450X4 |
13,5
15,8 1,9 0,8 49,3 |
Keterangan (remark) :
X1 : temperatur (temperature)
X2 : kelembaban (humidity)
X3 : curah hujan (rainfall intensity)
X4 : jumlah hari hujan (rain day total in one month)
Y : Tingkat keparahan/intensitas serangan oleh serangan hama dan penyakit (severity level caused by pest and diseases).
Selain itu, faktor abiotik juga berpengaruh terhadap turgoritas dan fisiologi tanaman yang akhirnya akan mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama. Temperatur lingkungan berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid dan flavonoid yang mempengaruhi ketahanan tumbuhan terhadap hama dan penyakit (Wiyono, 2007).
Tingkat korelasi faktor lingkungan terhadap tingkat kerusakan/intensitas serangan menunjukkan beberapa variasi. Pada musim hujan, peningkatan temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan berbanding terbalik dengan tingkat keparahan/intensitas serangan dan sebaliknya. Sedangkan peningkatan kelembaban akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan pada musim hujan dan sebaliknya (Table 5). Sebaliknya, pada musim kemarau menunjukkan bahwa peningkatan temperature dan curah hujan berbanding lurus dengan meningkatnya intensitas/tingkat keparahan. Sedangkan untuk kelembaban dan hari hujan menunjukkan perbandingan yang terbalik. Hal ini berarti semakin sedikit hari hujan dan kelembaban yang semakin rendah maka tingkat keparahan organ daun semakin meningkat.
Tabel (Table) 5. Nilai koefisien korelasi temperature, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan dengan tingkat keparahan/intensitas serangan pada HR Pasir Pengaraian (Coeffisient correlation between temperature, humidity, rainfall intensity, and rain day to severity level at Community Plantation at Pasir Pangaraian).
Bulan Pengamatan (observation season) | Parameter abiotik (abiotic parameter) | |||
Temperatur (temperature) | Kelembaban (humidity) | Curah Hujan (rainfall intensity) | Hari hujan (total of rain day) | |
November/ musim hujan (rainy season) | -0,349 | 0,480 | -0,131 | -0,106 |
Maret/ musim kemarau (drought season) | 0,367 | -0,398 | 0,164 | -0,08 |
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan dan penyebaran OPT yang kemudian akan berdampak pada tingkat keparahan yang disebabkan oleh OPT diantaranya adalah temperatur, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya, curah hujan, jarak tanam, dan lain-lain (Purnomo, 2007). Kelembaban yang berlebihan, berlangsung lama atau terjadi berulangkali, baik dalam bentuk hujan, dan embun merupakan faktor yang sangat membantu perkembangan epidemic hama dan penyakit yang kemudian akan berdampak pada tingkat keparahan yang ditimbulkannya. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa tingkat keparahan/intensitas serangan OPT pada daun jabon lebih disebabkan oleh factor kelembaban (berkorelasi significant) jika dibandingkan dengan curah hujan dan jumlah hari hujan yang menunjukkan kecenderungan berbanding terbalik dengan tingkat keparahan/intensitas serangan (Tabel 5.)
HR Beringin pada musim hujan menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 26,9% (Tabel 6). Berbeda dengan HR Pasir Pangaraian, dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah temperatur (20,3%) dan kelembaban (13,8%). Sedangkan curah hujan justru menunjukkan pengaruh yang rendah (0,8%). Hal ini berkebalikan dengan pernyataan Gottwald (1985) yang menyatakan kelembaban nisbi dalam bentuk kabut atau embun serta air hujan sehingga membentuk suatu periode kebasahan daun yang diperlukan bagi keberhasilan infeksi.
Tabel (Table) 6. Persamaan linear regresi dan koefisien determinan (R) tingkat keparahan (severity level) dengan temperature, kelembaban, dan curah hujan pada HR Beringin (Equation of linear regression and coefficient of determination (R) between severity level to humidity, temperature, and rainfall intensity at Community Plantation at Beringin).
Bulan Pengamatan (observation date) | Persamaan regresi (Regression equation) | R2 (%) |
November/ musim hujan (rainy season) | Y = 124,913 – 3,668X1
Y = -92,277 + 1,342X2 Y = 29,436 – 0,032X3 Y= 29,528 – 0,091X4 Y = -144,893 + 0,538X1 + 1,782X2 – 0,007X3 – 0,110X4 |
20,3
13,8 13,0 0,50 26,9 |
Maret/ musim kemarau (drought season) | Y = -7,589 + 1,130X1
Y = 36,627 – 0,165X2 Y = 21,905 – 9,524X3 Y= 22,557 – 0,211X4 Y = -15,614 + 0,997X1 + 0,135X2 – 0,009X3 – 0,085 |
15,4
8,5 6,9 0,41 49,1 |
Keterangan (remark) :
X1 : temperatur (temperature)
X2 : kelembaban (humidity)
X3 : curah hujan (rainfall intensity)
X4 : hari hujan (rain day total in one month)
Y : Tingkat keparahan/intensitas serangan oleh serangan hama dan penyakit (severity level caused by pest and diseases).
Pada musim kemarau menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 49,1% (Tabel 5). Pada musim ini dua factor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah temperatur (15,4%) dan kelembaban (8,5%).
Tingkat korelasi factor lingkungan terhadap tingkat kerusakan/intensitas serangan di HR Beringin menunjukkan beberapa variasi. Pada musim cenderung hujan, peningkatan temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan/intensitas serangan dan sebaliknya (Tabel 7). Sedangkan pada peningkatan kelembaban maka akan diikuti dengan peningkatan tingkat keparahan/intensitas serangan dan sebaliknya. Pada musim cenderung kermarau, menunjukkan bahwa factor kelembaban, curah hujan, dan hari hujan berbanding terbalik dengan intensitas/keparahan. Sedangkan pada peningkatan temperatur berbanding lurus dengan intensitas/keparahan.
Tabel (Table) 7. Nilai koefisien korelasi temperatur, kelembaban, dan curah hujan dengan tingkat keparahan/intensitas serangan pada HR Beringin (Coeffisient correlation between temperature, humidity, and rainfall intensity to severity level at Community Plantation at Beringin).
Bulan Pengamatan (observation date) | Parameter abiotik (abiotic parameter) | |||
Temperatur (temperature) | Kelembaban (humidity) | Curah Hujan (rainfall intensity) | Hari Hujan (total of rain day) | |
November/ musim hujan (rainy season) | -0,203 | 0,238 | -0,022 | -0,050 |
Maret/ musim kemarau (drought season) | 0,154 | -0,085 | -0,187 | -0,202 |
Faktor lain yang menjadikan peningkatan kejadian serangan leaf spot pada musim hujan adalah kemunculan daun muda yang dapat dijadikan inang baru bagi jamur penyebab leaf spot. Selain itu infeksi oleh konidia patogen selama periode basah berkaitan dengan suhu dan lamanya periode tersebut. Sementara kelembaban yang disebabkan oleh adanya hujan berpengaruh terhadap viabilitas konidia. Hal ini terungkap dalam penelitian Wastie (1972) yang menemukan bahwa Cercospora gloeosporioides yang menyebabkan penyakit gugur daun pada tanaman karet tidak dapat berkembang apabila kelembaban relatif <97%. Marssonina rosae dan C. gloeosporioides (Ordo Melanconiales), merupakan patogen yang sifatnya sama, baik dalam morfologi badan buah, metode pemencaran, maupun ketahanan konidiumnya terhadap kelembaban relatif udara. Sedangkan Minogue dan Fry (1983) menyatakan bahwa periode laten infeksi tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai komponen lingkungan seperti kelembaban nisbi udara, suhu udara, curah hujan, dan lama penyinaran cahaya matahari.
- KESIMPULAN
- HR Pasir Pangaraian (jabon umur 2 tahun) menunjukkan jenis kerusakan tertinggi disebabkan oleh penyakit bercak daun (leaf spot) pada musim cenderung kemarau dan hujan. Sedangkan pada kelompok hama didominasi oleh defoliator ( hilaralis) yang menunjukkan kecenderungan menurun pada musim hujan.
- HR Beringin (jabon umur 1 tahun) menunjukkan bahwa pada jenis kerusakan serangan penyakit bercak daun (leaf spot) menunjukkan kecenderungan meningkat pada musim hujan. Sedangkan pada kelompok hama didominasi oleh defoliator (A. hilaralis) menunjukkan peningkatan kejadian serangan pada musim hujan.
- HR Pasir Pangaraian pada musim yang cenderung kemarau menunjukkan kombinasi pengaruh temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan daun jabon sebesar 49,3%. Sedangkan pada musim musim cenderung hujan menunjukkan pengaruh sebesar 46%.
- HR Beringin pada musim cenderung hujan menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 26,9%. Sedangkan pada musim yang cenderung kemarau menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 49,1% terhadap tingkat keparahan.
DAFTAR REFERENSI
Anonim. 1971. Pestalotia theae. C.M.I. Description of pathogenic fungi and bacteria No. 318
Anonim .1998. Report on Plant Disease no.648. University of Illinois Extension. Departement of Crop Science. Diakses 11 Februari 2013
Anonim, 2013. Pupuk dan pemupukan ramah lingkungan: Bahan Kajian MK Manajemen Kesuburan Tanah. marno.lecture.ub.ac.id/…/PUPUK-DAN-PEMUPUKAN. smno.jursmtnh.fpub.
Aprianis Y., Wahyudi, A., Hidayat, A., Nurrohman, E., Sasmita, T., dan Kosasih. 2007. Analisa Kualitas Serat dan Sifat Pengolahan Pulp Jenis Alternatif Baru Penghasil Serat. Laporan Hasil Penelitian BPHPS Kuok (tidak dipublikasikan), Kuok
Chaerun, S.K., dan Anwar, C. 2008. Dampak Lingkungan Penggunaan Pupuk Urea Pada Pembebanan N dan Hilangnya Kandungan N di Sawah.Jurnal Pendidikan IPA Volume VI Nomor 7.pp.1-8.
Fitter, A.H. dan Hay, R.K.M. 1992. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Gottwald, T.R. 1985. Influence of temperature, leaf wetness period, leaf age, and spore concentration on infection of pecan leaves by conidia of Cladosporium caryigenum. Phytopathology 75:190-194.
Irwanto. 2010.Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan Eukaliptus (Eucalytus pellita) pada Kawasan Hutan Wanagama I. http://naturehealthy.webs.com/kesehatan_hutan.pdf. diakses 20 Desember 2010
Minogue KP, and Fry WE. 1983a. Models for the spread of disease: model description. Phytopathology 73: 1168-1172
Nair, K.S.S. 2001. Pest Outbreaks in Tropical Forest Plantation: Is there a greater risk for exotic tree species. CIFOR, Bogor
Kilmaskossu S.T.E.M and J. P. Nerokouw. 1993. Inventory of Forest Damage at Faperta Uncen Experiment Gardens in Manokwari Irian Jaya Indonesia. Proceedings of the Symphosium on Biotechnological and environmental Approaches to Forest and Disease Management. SEAMEO, Bogor
Petzoldt, C. and A. Seaman. 2010. Climate Change Effect on Insect and Pathogens. http://www.climateandfarming.org. Pathogens. diakses 3 Februari 2010
Pribadi, A. 2011 Serangan Hama dan Tingkat Kerusakan Daun Akibat Hama Defoliator pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam vol. VII No. 4 tahun 2010 hal. 451-458
Purnomo, B. 2007. Interaksi faktor-faktor penyebab penyakit tanaman. http:// www.purnomo.byethost16.com/epi3.pdf. diakses 30 Desember 2010
Subyanto. 2000. Bahan Ajar Ilmu Hama Hutan Fakultas Kehutanan. UGM Press, Yogyakarta
Sudarmalik. 2008. Analisa Finansial Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat (tidak dipublikasikan), Kuok
Syah M.J.A., Ellina M., Titin, Dewi, Firdaus U. 2007. Teknologi Pengendalian Getah Kuning pada Buah Manggis. Search http//www.pustakadeptan. go.id/inovasi/kl070102.pdf. diakses 10 Febrruari 2013
Tulung, M. 2000. Study of Cacoa Moth (Conopomorpha cramerell) Control in North Sulawesi. Eugenia 6 (4): 294 – 299
WASTIE, R. L. 1972. Secondary leaf fall of Hevea brasiliensis : meteorological and other factors affecting infection by Colletotrichum gloeosporioides. Ann. appl. Biol. 72, 283 – 293.
Wiyono, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah pada Keanekaragaman Hayati di tengah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia. KEHATI, Jakarta
Yacob and Tindall. 1995. Mangosteen Cultivation. FAO Plant Production and Protection Paper 129. 1st ed. Belgium: Food and Agriculture Organization of the United Nations