SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT DAUN PADA PERIODE PERMUDAAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.) DI PROPINSI RIAU; STUDI KASUS MUSIM HUJAN DAN KEMARAU TAHUN 2012

Oleh/by:

Avry Pribadi

Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan

avrypribadi@gmail.com

 ABSTRACT

Cadamba (Anthocephalus cadamba) plantation as alternative raw material for pulp and paper has such serious problem in pest and diseases that can reduce their productivity. Many previously studies stated that the existance of the pest and diseases are influenced by some abiotic factor such as temperature, humidity, and rain fall intensity. The objectives of this research were (1) to evaluate the pest and diseases incidence level at cadamba in two different season (rainy;november and drought;march) and (2) to find out the influence of abiotic factors to severity level caused by pests and diseases that attacked cadamba leaf in in two different season (rainy and drought season). The observation at Community Forest (CF) Pasir Pangaraian indicated the declining of the incidence percentage of leaf spot attacks at the end of March to November (36.33% to 35.34%). Same trend showed on the leaf spot trend, in observation of defoliator pest (A. hilaralis) showed a declining trend (27.59% in March to 6.26% in November) and ladybugs (Cosmoleptrus sumatranus) from 9.14% in March to 1.89% in November. Regresion equation showed the combination effects of temperature, humidity, rainfall and rainy days on the severity / intensity of attacks level by 49.3% in drought season and 46% at rainy season. At CP Beringin showed that the leaf spot tended to increase at the end of the observation (50% in drought increased to 73.53% in the rainy season). While the observation of defoliator pests (A. hilaralis) showed increasing in the incidence level of an attack A. hilaralis also showed an increasing (5% in the drought season  to be 7.35% in the rainy season). Regresion equation showed the combination effects of temperature, humidity, rainfall and rainy days on the severity / intensity of attacks level by 26.9% in rainy season and 49.1% in drought season.

Keyword: pest and diseases, cadamba, incidence level, severity level, abiotic factor

PENDAHULUAN

Jenis Acacia dan Eucalyptus yang selama ini dikembangkan oleh banyak perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp dan kertas dalam pola yang monokultur memungkinkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah serangan hama yang dapat menurunkan  kualitas tegakan. Serangan hama ini bahkan menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap rotasinya. Nair (2001) menyatakan bahwa serangan hama Coptotermes curvignathus pada HTI Acacia mangium di Malaysia dapat menurunkan tegakan sebesar 10% – 50%. Selain itu Sudarmalik (2007) menyatakan bahwa biaya operasional untuk pembangunan HTI Acacia crassicarpa pada lahan gambut mengalami peningkatan untuk setiap rotasinya, dikarenakan kebutuhan nutrisi tanah yang meningkat dan harus diganti dengan input pupuk.

Badan Litbang Kehutanan telah menetapkan beberapa jenis tanaman alternatif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dimiliki oleh tanaman jenis advance yang salah satunya adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Tanaman ini memenuhi beberapa persyaratan untuk dijadikan sebagai bahan pulp dan kertas, antara lain adalah tergolong spesies yang cepat tumbuh (fast growing), panjang serat 1,561 µm, diameter serat 23,95 µm, dan tebal dinding serat 2,78 µm serta termasuk kelas II (Aprianis et. al., 2007).

Hutan tanaman merupakan ekosistem monokultur akan memiliki tingkat kerentanan dari gangguan organism pengganggu tanaman lebih tinggi jiuka dibandingkan ekosistem yang heterogen. Serangan hama dapat mengalami blooming sebagai akibat sedikitnya jumlah organisme predator dan melimpahnya makanan. Pribadi (2011) menyatakan bahwa tingkat kerusakan tertingggi terjadi pada organ daun dibandingkan batang dan akar sebagai akibat serangan hama defoliator tertinggi terjadi pada areal penanaman jabon di HTI sektor Baserah (92,88 %) dan terendah terdapat pada HTI sektor Pelalawan (40,5 %), sedangkan pada Hutan Rakyat (HR) Pantai cermin tingkat kerusakannya mencapai 55,67 %. Hal ini diduga oleh kondisi lingkungan (jenis tanah yang berdampak pada jenis tutupan vegetasi sehingga berdampak pada kehadiran jenis-jenis hama yang opurtunis) dan pengelolaannya yang berbeda.

Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh hama ini cukup bervariasi berdasarkan jenis spesies maupun faktor abiotiknya. Salah satu contoh adalah serangan hama Spodoptera sp. pada areal persemaian Acacia crassicarpa yang mengalami fluktuasi populasi akibat dari beberapa perubahan faktor abiotik (Tjahjono, komunilasi pribadi, 2009). Menurut Petzoldt and Seaman (2010), sebagai hewan yang berdarah dingin, serangga memiliki temperatur tubuh hampir sama dengan temperatur lingkungan. Sehingga, temperatur memiliki peranan penting yang akan mempengaruhi tingkah laku, distribusi, pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan reproduksi yang berdampak langsung pada aktivitas metabolismenya dan diduga mempengaruhi perbedaan tingkat serangan dari beberapa jenis hama dan penyakit yang menyerang jabon di HR Riau.

Kajian terhadap tingkat serangan oleh berbagai hama dan penyakit yang menyerang tegakan jabon pada 2 musim dan umur tegakan yang berbeda di Riau merupakan suatu permasalahan yang penting untuk mengetahui tindakan pencegahan atau antisipasi serangan hama dan penyakit terutama pada musim hujan dan kemarau. Tujuan penelitian ini  adalah untuk mengetahui (1) perbedaan tingkat serangan berbagai jenis hama dan penyakit pada jabon di HR Riau pada umur 1 tahun dan 2 tahun pada musim hujan dan kemarau dan (2) pengaruh beberapa faktor abiotik (temperatur, kelembaban, dan curah hujan) terhadap tingkat serangan hama dan penyakit di musim hujan dan kemarau.

METODOLOGI PENELITIAN

II.1 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini berlokasi di HR Pasir Pangaraian yang berumur 2 tahun dan HR Pekanbaru (Beringin) yang berumur 1 tahun. Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan mulai bulan Maret s.d Desember 2012.

II.2 Rancangan penelitian

Masing-masing lokasi penelitian (HR Pasir Pangaraian dan HR Beringin) dilakukan pengamatan sebanyak 2 kali (satu kali ulangan untuk setiap musim), yaitu pada musim kemarau (Maret 2012) dan musim hujan (November 2012). Penentuan plot pengamatan dilakukan dengan metode systematic sampling. Setiap plot yang terpilih kemudian dilakukan pengamatan terhadap keseluruhan jumlah tegakan yang berada pada plot tersebut (sensus). Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kesehatan per tegakan yang meliputi organ daun, tunas, batang, dan akar. Penilaian tingkat kerusakan oleh hama dan penyakit berdasarkan tingkat keparahan (severity level) dengan mengacu pada penilaian kesehatan hutan menurut Irwanto (2010). Pengamatan dilakukan terhadap kejadian dan tingkat serangan oleh berbagai jenis hama, penyakit dan jenis kerusakan lain yang menyerang jabon.

II.3  Pengolahan dan analisa data

II.3.1 Pengolahan data

Penghitungan kejadian serangan hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Tulung (2000);

K =   n x 100%

         N

 Keterangan:

K         = Kejadian serangan oleh hama tertentu

n          = Jumlah tanaman yang terserang oleh hama tertentu

N         = Total jumlah tanaman

 

Tingkat kerusakan/keparahan akibat serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ditentukan dengan rumus Kilmaskossu dan Nerokouw (1993):

I =  ni . Vi   x 100%

       N.V

 

Keterangan:

I           : Tingkat kerusakan per tanaman

ni         : Jumlah tanaman dengan skor ke-i

Vi        : Nilai skor serangan

N         : Jumlah tanaman yang diamati

V         : Skor tertinggi

 

Untuk tingkat skor yang digunakan adalah:

0                     : sehat

1                     : Sangat Ringan (serangan 1% – 20%)

2                     : Ringan (serangan 21% – 40%)

3                     : Sedang (serangan 41% – 60%)

4                     : Berat (serangan 61% – 80%)

5                     : Sangat Berat (serangan 81% – 100%).

 

 

II.3.2  Analisa data

Data yang diperoleh ditabulasi dengan menggunakan beberapa kategori (parameter), berdasarkan jenis kerusakan/penyebab kerusakan, organ tanaman yang terserang, dan tingkat kerusakan/ intesitas serangan. Kemudian data tersebut dilakukan analisa secara deskriptif kuantitatif dengan melakukan komparasi pada 2 musim (musim kemarau dan hujan). Data berupa tingkat serangan (severity level)/ intensitas serangan dan kejadian serangan dilakukan pengujian secara statistic (t- test) untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat/keparahan dan kejadian serangan oleh OPT (hama perusak daun yang disebabkan oleh ulat  A. hilaralis dan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh kelompok dari Pestalotia sp., Cercospora sp., Curvularia sp., dan Colletotrichum sp.) pada musim hujan dan kemarau.

Data sekunder berupa temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan yang diperoleh dari BMKG Pekanbaru dianalisa secara regresi multivariate linear dan korelasi Pearson (pearson correlation) untuk mengetahui pengaruh dari beberapa factor abiotik tersebut di musim hujan dan kemarau terhadap tingkat keparahan daun yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit daun (severity level).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1     Tingkat serangan hama dan penyakit pada jabon di HR Pasir Pengaraian (jabon umur 2 tahun) dan HR Beringin (jabon umur 1 tahun).

Pengamatan tegakan jabon umur 2 tahun pada HR Pasir Pangaraian menunjukkan tingkat kerusakan tertinggi disebabkan oleh penyakit bercak daun (leaf spot) pada bulan Maret (musim kemarau) (36.33%). Sedangkan pada musim hujan penyakit bercak daun hanya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (35.34%), akan tetapi masih merupakan tipe kerusakan yang paling dominan (Tabel 1). Fenomena ini berbeda dengan pernyataan   Menurut Anonim (1971) dalam Sutarman et al., (2004), penularan propagul infektif patogen terjadi lewat pemencaran oleh percikan air hujan maupun penyiraman secara manual atau dengan alat penyiram otomatis. Konidiospora Pestalotia theae (penyebab bercak daun pada bibit tanaman Pinus merkusii) dari tumbuhan sakit atau sisa tanaman sakit dapat disebarkan melalui kontak, percikan air dan aliran udara lokal, dan diduga dengan demikian juga bersifat sebagai patogen tular tanah. Sehingga diduga ada factor lain yang menyebabkan mengapa tidak ada perbedaan intensitas serangan penyakit bercak daun di musim hujan dan kemarau.

Sedangkan penyakit yang diduga disebabkan oleh defisiensi hara (kekurangan unsur N) terlihat dengan penampakan gejala perubahan warna daun menjadi kuning pucat menunjukkan peningkatan persentase sebesar 4.29% pada musim hujan. Peningkatan ini terjadi diduga ada hubungannya dengan tekstur tanah di lokasi ini yang didominasi oleh pasir.  Berdasarkan penelitian Rahmayanti, et al., (2013) menunjukkan bahwa tekstur tanah di lokasi HR Pasir Pangaraian didominasi pasir sebesar 92% dan sisanya adalah debu serta tanah liat. Hal ini jika dihubungkan dengan limpasan air hujan maka pemberian pupuk NPK yang dilakukan pada musim hujan akan dengan mudah tercuci ke dalam tanah, tetapi tanah tidak memiliki kemampuan untuk mengikat unsur yang ada pada pupuk tersebut sehingga tanaman tetap mengalami kekurangan unsur N yang diperlihatkan dari daun yang berwarna kuning pucat. Sedangkan pada musim kemarau, hara yang tersedia pada pupuk NPK tidak mudah lolos karena limpasan maupun infiltrasi air hujan terjadi lebih lambat jika dibandingkan pada musim hujan sehingga diduga mampu memberikan kesempatan bagi akar untuk menyerapnya. Hal ini didukung oleh studi Marno (2013) yang menyatakan bahwa daya larut merupakan kemampuan suatu jenis ppuk untuk terlarut dalam air. Daya larut juga menentukan cepat atau lambatnya unsur hara yang ada di dalam pupuk untuk diserap tanaman atau hilang karena tecuci.  Pupuk dengan daya larut tingi lebih cepat diserap oleh tanaman, tetapi mudah tercuci oleh hujan.  Pupuk yang mengandung nitrogen biasanya mempunyai daya larut yang tinggi. Selain itu, Chaerun dan Anwar (2008) menyatakan bahwa aplikasi pupuk N pada lahan pertanian dengan irigasi akan mengalami kehilangan N yang akan larut dalam air irigasi atau air permukaan. Pemberian pupuk nitrogen 200 kg/ha sampai 300 kg/ha memacu peningkatan kadar nitrogen terutama pada aliran air irigasi. Pada aplikasi pupuk nitrogen tersebut mengalami

kehilangan sekitar 80% yang dilarutkan sebagai aliran air permukaan jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk nitrogen (0 kg/ha). Aplikasi irigasi dan curah hujan merupakan faktor yang mempercepat terjadinya kehilangan NO3-N pada zona perakaran dalam tanah melalui proses leaching yang bergerak melalui zona tidak jenuh air. Kualitas hidup tanaman juga sangat bergantung dari ketercukupan hara dari lingkungannya. Selain ditentukan oleh kemampuan tanaman dalam menyerap, perolehan hara juga tergantung dari tingkat ketersediaan hara di tanah. Tingkat kebutuhan hara antar tanamannyapun berbeda-beda (Fitter dan Hay, 1992).

Tabel (Table) 1. Rekapitulasi tingkat serangan berbagai kerusakan (jenis, lokasi, dan keparahan) pada musim kemarau dan hujan pada tegakan jabon di HR Pasir Pangaraian (Damaged level recapitulation based on type, location, and severity in drought and rainy season at cadamba community forest of Pasir Pangaraian). 

 

 

Parameter (Parameter) Jenis OPT (Pest and diseases type)
1 2 3 4 5
Jenis kerusakan (Damage type) Bercak daun (Leaf spot) (Arthrochista hilarallis) Ulat pemakan daun (Defoliator) Belalang (Grasshoper) (Cosmoleptrus sumatranus) Kepik (ladybugs) Perubahan warna daun (Discoloration of the leaves)
Persentase Maret 36.33ns 27.59 9.47 9.14 5.35
Persentase Nov 35.34ns 6.26 31.05 1.89 9.64
Lokasi kerusakan (Damage location) Daun (Leaves) Batang (stem,bark) Akar (Root)
Persentase Maret 66.73ns 23.84ns 9.43ns
Persentase Nov 64.77 ns 24.38 ns 10.85 ns

 

 

Pada pengamatan jenis kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama, menunjukkan kecenderungan penurunan dominasi pada persentase jenis serangan hama defoliator (A. hilaralis) sebesar 21.33% pada musim hujan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada serangan kepik penghisap (Cosmoleptrus sumatranus) yaitu mengalami penurunan sebesar 7.25% pada musim hujan. Hal ini berbanding terbalik dengan hama belalang (ordo orthoptera) yang menunjukkan kecenderungan peningkatan pada musim hujan sebesar 21.58%. Hal ini didukung oleh pernyataan Subyanto (2000), adanya curah hujan akan menambah kelembaban dan mempengaruhi vegetasi tanaman yang dibudidayakan. Hal ini mendorong keadaan yang cocok untuk perkembangan serangga hama, karena ketersediaan makanan yang cukup. Akan tetapi tidak semua jenis serangga mengalami perkembangan pada musim hujan, dan sebaliknya serangga-serangga tertentu pada musim hujan mengalami kematian. Serangga-serangga yang berkembang biak pada musim kemarau, misalnya jenis kutu tanaman (ordo homoptera dan hemiptera) karena pengaruh hujan yang berupa butiran-butiran air merupakan tenaga mekanis dapat mematikan serangga ini. Sebagai contoh hama belalang (Valanga nigricornis) bertelur pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau, kemudian menetas dan berkembang menjadi dewasa pada musim hujan. Sebelum musim hujan berakhir, belalang betina dewasa bertelur lagi di dalam tanah dan telur tersebut akan tetap dorman (diapause) selama musim kemarau.

Pada pengamatan tingkat kesehatan tegakan jabon umur 2 tahun menunjukkan  peningkatan kesehatan jika dibandingkan pada musim kemarau (Gambar 1). Kecenderungan ini terlihat dari rendahnya tingkat kerusakan daun pada tegakan jabon pada yang berada pada kategori kerusakan sedang dan berat di musim hujan dibanding pada musim kemarau. Dugaan awal adalah pengaruh dari air hujan yang menyebabkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit meningkat yang terlihat dari peningkatan turgoritas. Menurut Yaacob and Tindall (1995), ketahanan turgor pada tanaman tidak hanya disebabkan oleh faktor endogen tetapi juga karena adanya gangguan luar (mekanis) misalnya curah hujan, angin, dan benturan fisik. Selain itu  menurut Syah et al. (2007), berkurangnya kandungan air tanah pada musim kemarau akan menyebabkan terganggunya fisiologis tanaman yang kemudian akan berdampak pada rentannya dinding sel tanaman (kehilangan turgoritas) sehingga faktor-faktor eksternal seperti jaringan hifa dari fungi pathogen menjadi semakin mudah masuk ke dalam jaringan sel dengan merusak dinding sel.

 

Gambar 1. Grafik perkembangan tingkat kerusakan (seveiry level) serangan hama dan penyakit daun jabon pada HR Pasir Pangaraian (Severity level dynamic of  pest and diseases attack at cadamba leaf at community forest of Pasir Pangaraian). 

 

Pada pengamatan HR Beringin (jabon umur 1 tahun) menunjukkan bahwa pada jenis kerusakan serangan penyakit bercak daun (leaf spot) menunjukkan kecenderungan meningkat pada musim hujan sebesar 23.53%. (Tabel 2). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada serangan serangga hama defoliator (A. hilaralis), kepik (C. sumatranus) dan belalang (ordo orthoptera) secara umum menunjukkan peningkatan kejadian serangan. Kecenderungan ini berbeda dengan yang terjadi pada HR Pasir Pangaraian yang hanya menunjukkan peningkatan serangan pada jenis hama belalang sedangkan untuk jenis hama ulat A. hilaralis dan C. sumatranus menunjukkan penurunan tingkat serangan. Hal ini diduga

 

Tabel (Table) 2. Rekapitulasi tingkat serangan berbagai kerusakan (jenis, lokasi, dan keparahan) pada musim kemarau dan hujan pada pertanaman jabon di HR Beringin) (Many damaged level recapitulation based on type, location, and severity level in drought and rainy season at cadamba community forest of Beringin).

 

 

Parameter (Parameter) Jenis OPT (Pest and diseases type)
1 2 3 4
Jenis kerusakan (Damage type) Bercak daun (Leaf spot) (Arthrochista hilarallis) Ulat pemakan daun (Defoliator) Belalang (Grasshoper) (Cosmoleptrus sumatranus) Kepik (ladybugs)
Persentase Maret 50 5 11.67 3.33ns
Persentase Nov 73.53 7.35 17.16 4.9ns
Lokasi kerusakan (Damage location) Daun (Leaves) Akar (Root) Batang (stem,bark)
Persentase Maret 60 32ns 4ns
Persentase Nov 54.55 36.36ns 3.64ns

 

Keterangan (mark):

Kategori penilaian untuk tingkat keparahan (category to value the severity level):

1  : sangat ringan (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 0%-20%) (very low intensity/severity)

2  : ringan (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 21%-40%) (low intensity/severity)

3  : sedang (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 41%-60%) (rare intensity/severity)

4  : berat (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 61%-80%) (high intensity/severity)

5  : sangat berat (dengan tingkat keparahan/intensitas serangan 81%-100%) (very high intensity/severity).

 

HR Pasir Pangaraian memiliki 5 jenis kerusakan yang menyerang daun lebih banyak dari jenis kerusakan pada HR Beringin (7 jenis kerusakan). Jenis kerusakan yang tidak terdapat pada HR Beringin adalah perubahan warna daun (discoloration of the leaves). Dugaan terhadap perbedaan ini lebih dimungkinkan karena adanya perbedaan terhadap nutrisi dan kondisi fisik tanah. HR Beringin merupakan lokasi yang berdekatan dengan sungai sehingga menjadi tempat akumulasi unsur-unsur hara dan sifat fisik tanah yang didominasi lempung. Hal tersebut terlihat pada daun yang berwarna kekuningan yang menunjukkan kekurangan unsur N. Unsur N diperlukan tanaman sebagai pertumbuhan vegetative (sebagai penyusun basa nitrogen dalam DNA) dan sebagai unsur penyusun klorofil daun. Sedangkan akar yang terlihat di permukaan tanah menunjukkan bahwa kurangnya nutrisi tanah pada solum tersebut, sehiingga akar cenderung untuk mencari lapisan tanah yang lebih subur yang berada pada lapisan permukaan atas tanah.

 

 

Gambar 2. Grafik perkembangan tingkat kerusakan (seveiry level) serangan hama dan penyakit daun jabon pada HR Beringin (Severity level dynamic of  pest and diseases attack at cadamba leaf at community forest of Beringin). 

 

Pengamatan juga menunjukkan bahwa pada jabon umur 1 tahun (HR beringin) memiliki ketahanan terhadap serangan penyakit leaf spot lebih baik jika dibandingkan pada jabon umur 2 tahun (HR Pasir Pangaraian). Hal ini terlihat dari tingkat kerusakan (severity level) yang berada pada kisaran 50%-75,53% berbeda dengan yang terjadi pada jabon umur 2 tahun yang berada pada kisaran 36,33%-35,34%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kesehatan tegakan jabon sampai pada umur 2 tahun meskipun masih berada pada kategori sangat ringan.

 

III.2 Peranan beberapa factor abiotik pada musim hujan dan kemarau terhadap intensitas serangan/keparahan (severity level).

HR Pasir Pangaraian pada musim hujan menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 46% (Tabel 3). Dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah kelembaban dan curah hujan (sebesar 23%). Menurut Anonim (1998), factor lingkungan yang memperngaruhi perkembangan penyakit leaf spot adalah curah hujan dan kelembaban.

Pada musim yang cenderung kemarau menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 49,3% (Tabel 3). Berbeda dengan musim hujan, pada musim ini dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan adalah temperatur (13,5%) dan kelembaban (15,8%). Berbeda dengan musim yang cenderung kemarau, pada musim ini dua factor lingkungan yang dominan berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan adalah kelembaban (23,0%) dan curah hujan (23,0%).

 

Tabel (Table) 3.           Persamaan regresi linear dan koefisien determinan (R) tingkat keparahan dengan temperature, kelembaban, dan curah hujan pada HR Pasir Pangaraian (Equation of linear regression and coefficient of determination (R) between severity level  to humidity, temperature, and rainfall intensity at Community Plantation at Pasir Pangaraian).

Bulan Pengamatan (observation season) Persamaan regresi (Regression equation) R2 (%)
November/ musim hujan (rainy season) Y = 439,408 – 15.378X1

Y = -375,646 + 4,521X2

Y = 35,392 – 0,240X3

Y = 33,712 – 0,020X4

Y = -428,345 + 1,137X1 + 4,784X2 – 0.007X3 – 0,181X4

12,2

23,0

23,0

10,6

46,0

Maret/ musim kemarau (drought season) Y = 364,738 – 12,236X1

Y = – 146,479 + 2,069X2

Y = 35,272 – 1,024X3

Y = 35,468 – 0,350X4

Y = 55,986 – 6,092X1 + 1,652X2 – 0,008X3 – 0,450X4

13,5

15,8

1,9

0,8

49,3

 

Keterangan (remark) :

X1           :  temperatur (temperature)

X2           :  kelembaban (humidity)

X3           : curah hujan (rainfall intensity)

X4           : jumlah hari hujan (rain day total in one month)

Y             : Tingkat keparahan/intensitas serangan oleh serangan hama dan penyakit (severity level caused by pest and diseases).

 

Selain itu, faktor abiotik juga berpengaruh terhadap turgoritas dan fisiologi tanaman yang akhirnya akan mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama. Temperatur lingkungan berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid dan flavonoid yang mempengaruhi ketahanan tumbuhan terhadap hama dan penyakit (Wiyono, 2007).

Tingkat korelasi faktor lingkungan terhadap tingkat kerusakan/intensitas serangan menunjukkan beberapa variasi. Pada musim hujan, peningkatan temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan berbanding terbalik dengan tingkat keparahan/intensitas serangan dan sebaliknya. Sedangkan peningkatan kelembaban akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan pada musim hujan dan sebaliknya (Table 5). Sebaliknya, pada musim  kemarau menunjukkan bahwa peningkatan temperature dan curah hujan berbanding lurus dengan meningkatnya intensitas/tingkat keparahan. Sedangkan untuk kelembaban dan hari hujan menunjukkan perbandingan yang terbalik. Hal ini berarti semakin sedikit hari hujan dan kelembaban yang semakin rendah maka tingkat keparahan organ daun semakin meningkat.

 

Tabel (Table) 5.           Nilai koefisien korelasi temperature, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan dengan tingkat keparahan/intensitas serangan pada HR Pasir Pengaraian (Coeffisient correlation between temperature, humidity, rainfall intensity, and rain day to severity level at Community Plantation at Pasir Pangaraian).

 

Bulan Pengamatan (observation season) Parameter abiotik (abiotic parameter)
Temperatur (temperature) Kelembaban (humidity) Curah Hujan (rainfall intensity) Hari hujan (total of rain day)
November/ musim hujan (rainy season) -0,349 0,480 -0,131 -0,106
Maret/ musim kemarau (drought season) 0,367 -0,398 0,164 -0,08

 

Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan dan penyebaran OPT yang kemudian akan berdampak pada tingkat keparahan yang disebabkan oleh OPT diantaranya adalah temperatur, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya, curah hujan, jarak tanam, dan lain-lain (Purnomo, 2007). Kelembaban yang berlebihan, berlangsung lama atau terjadi berulangkali, baik dalam bentuk hujan, dan embun merupakan faktor yang sangat membantu perkembangan epidemic hama dan penyakit yang kemudian akan berdampak pada tingkat keparahan yang ditimbulkannya. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa tingkat keparahan/intensitas serangan OPT pada daun jabon lebih disebabkan oleh factor kelembaban (berkorelasi significant) jika dibandingkan dengan curah hujan dan jumlah hari hujan yang menunjukkan kecenderungan berbanding terbalik dengan tingkat keparahan/intensitas serangan (Tabel 5.)

HR Beringin pada musim hujan menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 26,9% (Tabel 6). Berbeda dengan HR Pasir Pangaraian, dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah temperatur (20,3%) dan kelembaban (13,8%). Sedangkan curah hujan justru menunjukkan pengaruh yang rendah (0,8%). Hal ini berkebalikan dengan pernyataan Gottwald (1985) yang menyatakan kelembaban nisbi dalam bentuk kabut atau embun serta air hujan sehingga membentuk suatu periode kebasahan daun yang diperlukan bagi keberhasilan infeksi.

 

Tabel (Table) 6.           Persamaan linear regresi dan koefisien determinan (R) tingkat keparahan (severity level) dengan temperature, kelembaban, dan curah hujan pada HR Beringin (Equation of linear regression and coefficient of determination (R) between severity level  to humidity, temperature, and rainfall intensity at Community Plantation at Beringin).

Bulan Pengamatan (observation date) Persamaan regresi (Regression equation) R2 (%)
November/ musim hujan (rainy season) Y = 124,913 – 3,668X1

Y = -92,277 + 1,342X2

Y = 29,436 – 0,032X3

Y=  29,528 – 0,091X4

Y = -144,893 + 0,538X1 + 1,782X2 – 0,007X3 – 0,110X4

20,3

13,8

13,0

0,50

26,9

Maret/ musim kemarau (drought season) Y = -7,589 + 1,130X1

Y = 36,627 – 0,165X2

Y = 21,905 – 9,524X3

Y=  22,557 – 0,211X4

Y = -15,614 + 0,997X1 + 0,135X2 – 0,009X3 – 0,085

15,4

8,5

6,9

0,41

49,1

Keterangan (remark) :

X1           :  temperatur (temperature)

X2           :  kelembaban (humidity)

X3           : curah hujan (rainfall intensity)

X4           : hari hujan (rain day total in one month)

Y             : Tingkat keparahan/intensitas serangan oleh serangan hama dan penyakit (severity level caused by pest and diseases).

 

Pada musim kemarau menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 49,1% (Tabel 5). Pada musim ini dua factor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah temperatur (15,4%) dan kelembaban (8,5%).

Tingkat korelasi factor lingkungan terhadap tingkat kerusakan/intensitas serangan di HR Beringin menunjukkan beberapa variasi. Pada musim cenderung hujan, peningkatan temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan/intensitas serangan dan sebaliknya (Tabel 7). Sedangkan pada peningkatan kelembaban maka akan diikuti dengan peningkatan tingkat keparahan/intensitas serangan dan sebaliknya. Pada musim cenderung kermarau, menunjukkan bahwa factor kelembaban, curah hujan, dan hari hujan berbanding terbalik dengan intensitas/keparahan. Sedangkan pada peningkatan temperatur berbanding lurus dengan intensitas/keparahan.

 

Tabel (Table) 7.           Nilai koefisien korelasi temperatur, kelembaban, dan curah hujan dengan tingkat keparahan/intensitas serangan pada HR Beringin (Coeffisient correlation between temperature, humidity, and rainfall intensity to severity level at Community Plantation at Beringin).

 

Bulan Pengamatan (observation date) Parameter abiotik (abiotic parameter)
Temperatur (temperature) Kelembaban (humidity) Curah Hujan (rainfall intensity) Hari Hujan (total of rain day)
November/ musim hujan (rainy season) -0,203 0,238 -0,022 -0,050
Maret/ musim kemarau (drought season) 0,154 -0,085 -0,187 -0,202

 

Faktor lain yang menjadikan peningkatan kejadian serangan leaf spot pada musim hujan adalah kemunculan daun muda yang dapat dijadikan inang baru bagi jamur penyebab leaf spot. Selain itu infeksi oleh konidia patogen selama periode basah berkaitan dengan suhu dan lamanya periode tersebut. Sementara kelembaban yang disebabkan oleh adanya hujan berpengaruh terhadap viabilitas konidia. Hal ini terungkap dalam penelitian Wastie (1972) yang menemukan bahwa Cercospora gloeosporioides yang menyebabkan penyakit gugur daun pada tanaman karet tidak dapat berkembang apabila kelembaban relatif <97%. Marssonina rosae dan C. gloeosporioides (Ordo Melanconiales), merupakan patogen yang sifatnya sama, baik dalam morfologi badan buah, metode pemencaran, maupun ketahanan konidiumnya terhadap kelembaban relatif udara. Sedangkan Minogue dan Fry (1983) menyatakan bahwa periode laten infeksi tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai komponen lingkungan seperti kelembaban nisbi udara, suhu udara, curah hujan, dan lama penyinaran cahaya matahari.

 

 

  1. KESIMPULAN
  2. HR Pasir Pangaraian (jabon umur 2 tahun) menunjukkan jenis kerusakan tertinggi disebabkan oleh penyakit bercak daun (leaf spot) pada musim cenderung kemarau dan hujan. Sedangkan pada kelompok hama didominasi oleh defoliator ( hilaralis) yang menunjukkan kecenderungan menurun pada musim hujan.
  3. HR Beringin (jabon umur 1 tahun) menunjukkan bahwa pada jenis kerusakan serangan penyakit bercak daun (leaf spot) menunjukkan kecenderungan meningkat pada musim hujan. Sedangkan pada kelompok hama didominasi oleh defoliator (A. hilaralis) menunjukkan peningkatan kejadian serangan pada musim hujan.
  4. HR Pasir Pangaraian pada musim yang cenderung kemarau menunjukkan kombinasi pengaruh temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan daun jabon sebesar 49,3%. Sedangkan pada musim musim cenderung hujan menunjukkan pengaruh sebesar 46%.
  5. HR Beringin pada musim cenderung hujan menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 26,9%. Sedangkan pada musim yang cenderung kemarau menunjukkan bahwa kombinasi factor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) berpengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 49,1% terhadap tingkat keparahan.

 

DAFTAR REFERENSI

Anonim. 1971. Pestalotia theae. C.M.I. Description of pathogenic fungi and bacteria No. 318

 

Anonim .1998. Report on Plant Disease no.648. University of Illinois Extension. Departement of Crop Science. Diakses 11 Februari 2013

 

Anonim, 2013. Pupuk dan pemupukan ramah lingkungan: Bahan Kajian MK Manajemen Kesuburan Tanah. marno.lecture.ub.ac.id/…/PUPUK-DAN-PEMUPUKAN. smno.jursmtnh.fpub.

Aprianis Y., Wahyudi, A., Hidayat, A., Nurrohman, E., Sasmita, T., dan Kosasih. 2007. Analisa Kualitas Serat dan Sifat Pengolahan Pulp Jenis Alternatif Baru Penghasil Serat. Laporan Hasil Penelitian BPHPS Kuok (tidak dipublikasikan), Kuok

Chaerun, S.K., dan Anwar, C. 2008. Dampak Lingkungan Penggunaan Pupuk Urea Pada Pembebanan N dan Hilangnya Kandungan N di Sawah.Jurnal Pendidikan IPA Volume VI Nomor 7.pp.1-8.

 

Fitter, A.H. dan Hay, R.K.M. 1992. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

 

Gottwald, T.R. 1985. Influence of temperature, leaf wetness period, leaf age, and spore concentration on infection of pecan leaves by conidia of Cladosporium caryigenum. Phytopathology 75:190-194.

 

Irwanto. 2010.Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan Eukaliptus (Eucalytus pellita) pada Kawasan Hutan Wanagama I. http://naturehealthy.webs.com/kesehatan_hutan.pdf. diakses 20 Desember 2010

 

Minogue KP, and Fry WE. 1983a. Models for the spread of disease: model description. Phytopathology 73: 1168-1172

 

Nair, K.S.S. 2001. Pest Outbreaks in Tropical Forest Plantation: Is there a greater risk for exotic tree species. CIFOR, Bogor

 

Kilmaskossu S.T.E.M and J. P. Nerokouw. 1993. Inventory of Forest Damage at Faperta Uncen Experiment Gardens in Manokwari Irian Jaya Indonesia. Proceedings of the Symphosium on Biotechnological and environmental Approaches to Forest and Disease Management. SEAMEO, Bogor

 

Petzoldt, C. and A. Seaman. 2010. Climate Change Effect on Insect and Pathogens. http://www.climateandfarming.org. Pathogens. diakses 3 Februari 2010

 

Pribadi, A. 2011 Serangan Hama dan Tingkat Kerusakan Daun Akibat Hama Defoliator pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam vol. VII No. 4 tahun 2010 hal. 451-458

 

Purnomo, B. 2007. Interaksi faktor-faktor penyebab penyakit tanaman. http:// www.purnomo.byethost16.com/epi3.pdf. diakses 30 Desember 2010

 

Subyanto. 2000. Bahan Ajar Ilmu Hama Hutan Fakultas Kehutanan. UGM Press, Yogyakarta

Sudarmalik. 2008. Analisa Finansial Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat (tidak dipublikasikan), Kuok

Syah M.J.A., Ellina M., Titin, Dewi, Firdaus U. 2007. Teknologi Pengendalian Getah Kuning pada Buah Manggis. Search http//www.pustakadeptan. go.id/inovasi/kl070102.pdf. diakses 10 Febrruari 2013

 

Tulung, M. 2000. Study of Cacoa Moth (Conopomorpha cramerell) Control in North Sulawesi. Eugenia 6 (4): 294 – 299

 

WASTIE, R. L. 1972. Secondary leaf fall of Hevea brasiliensis : meteorological and other factors affecting infection by Colletotrichum gloeosporioides. Ann. appl. Biol. 72, 283 – 293.

 

Wiyono, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah pada Keanekaragaman Hayati di tengah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia. KEHATI, Jakarta

 

Yacob and Tindall. 1995. Mangosteen Cultivation. FAO Plant Production and Protection Paper 129. 1st ed. Belgium: Food and Agriculture Organization of the United Nations

PHENOMENON OF DIVERSITY AND PREFERENCY OF SIALANG TREE (NEST OF Apis dorsata Fabr.) AT ROKAN HULU AND ROKAN HILIR REGENCY (RIAU PROVINCE)

 

By:

Avry Pribadi and Purnomo

Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan

Jl. Raya Bangkinang-Kuok km. 9/BKN- Riau 28401

avrypribadi@gmail.com

 

 

Abstract

The Asiatic giant honeybees (Apis dorsata Fabr.) are abounded with the lowland rainforests in Riau province. The colonies of A. dorsata are found nesting in most tall bee trees (sialang trees; local name). In Riau province there are about 50 species of sialang tree. Problem. There are two type of land in Riau (peat land and mineral land) that might be directly/indirectly affected to distribution of sialang tree. The conversion of conservation forest over to palm oil and plantation forest industry that planted by Acacia mangium and Acacia crassicarpa was also one factor that probably giving the unique phenomenon of distribution of sialang tree. Method approach. Determining the vegetation distribution and the number of Sialang trees, colony distribution, and A. dorsata density colonies at Rokan Hulu regency (0° 25’ 20’’ – 01° 25′ 41’’N and 100° 02’ 56’’ – 100° 56’ 59’’ E) and Rokan Hilir regency (01° 14′ – 02° 45′ N and 100° 17′ – 101° 21′ E). The farmer behavior was also documented to compare the sustainable A. dorsata harvesting method (Purnomo, 2008). Results. The correlation showed that all diversity parameter (except richness index) of sialang tree gave negative correlation to A. dorsata colony significantly, but showed the positive correlation to honey production significantly. The Rokan Hulu (Hs: 1.17) had highest diversity of sialang tree than in Rokan Hilir (Hs: 1.05). The honey productivity also showed that in Rokan Hulu (28.8 ton/year) had highest than in Rokan Hilir (8.27 ton/year). Mean while the species of sialang tree that is preferenced by A. dorsata were Kempas (Koompassia malaccensis) and Julang (Afzelia javanica) (average of 100 colony of A. dorsata in each sialang tree).

Key word: Apis dorsata, sialang tree diversity, preferency,

INTRODUCTION

The exploitation of forests, soils, rivers, lakes, and seas which are needed excessively and temporarily is not a wise action to make. Because, it is possible that the flora and fauna and the microorganism hosting those ecosystems can be used as human welfare (Kompas, may 22nd, 2013). One of the Indonesia diversity forms is found in Asiatic giant honeybee (A. dorsata) which represents fauna, and sialang tree which represents flora where the existences are more marginalized because of the rapid deforestasion.

Asiatic giant honeybee (A. dorsata) is the most productive honeybee producing honey which has the percentage of honey production nearly 60% of all honey produced in Indonesia (Ditjen RLPS, 2006). The characteristic of Asiatic giant honeybee hive is a hive with one stroke that hangs in a branch and a twig of a tree. The hive stroke can be measured until 2×1 meter with 20 kg honey production per hive. This species only develops in sub tropical and tropic Asia (around Pakistan to Indonesia) and can not be found outside of Asia. In Indonesia, it can be found in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara (except Irian) (Starr et al., 1987).

Sialang is a term for a big, tall tree which has diametre reached 100 cm or more, and the height can reach 25 to 30 meter and is hosted by A. dorsata. In Riau, it has at least 50 species of the biggest sialang trees which spread in peat and mineral soil. Sialang tree is a kind of plant which is protected by law, both government law and customary/ community law. It is intended to preserve those trees as the place which the group of bees produces honey as one of incomes of the people who lives near the forests (Mujethid, 2007).

Two unique regencies in Riau province experiencing the rapid change of natural forest is Rokan Hulu and Rokan Hilir. Based on the data of Riau provincial forestry office (2006), the rapid change of the nature forest was from the conversion of Plantation Forest Industry/PFI and palm tree plantations. The problem occured the reduction of numbers and diversity of sialang trees in that regency. Another problem was the type of soil that presence on the Rokan Hilir that tends to ombrogen/ peat land. This soil type is becoming the limiting factor for many sialang tree to exist.

The impact of natural forests deforestation being PFI is appeared to be a unique phenomenon. The tendency of A. dorsata colonies is more getting away to the forest boundary of HTI Acacia crassicarpa, A. mangium, and Eucalyptus sp. (Purnomo et al., 2007). The similar tendency appeared in palm tree plantation that showed the existence of the colonies withdrawing from the forest boundary. This issue was related to the availability of food resources of honeybee A. dorsata, which     h extrafloral nectar is produced by the Acacia plant (Sihombing, 1997).

Therefore, the objectives of the study are (1) to determine the diversity level of sialang tree in Rokan Hulu and Rokan Hilir regency and (2) to identified the dominant sialang tree species in Rokan Hulu and Rokan Hilir regency.

DIVERSITY OF SIALANG TREE IN ROKAN HULU AND ROKAN HILIR REGENCY

A tree is called sialang tree if the tree is hosted by A. dorsata. Although the tree is with height about more than 30 meters, but if it is not hosted by A. dorsata, it will not be called sialang tree. The analysis result of sialang tree diversity showed that a district which had the highest diversity parameter (Shanon weiner and abudancy index) was at Rokan Hulu regency (Hs: 1.17 and N: 3.16) than in Rokan Hilir regency (Hs: 1.05 and N: 2.83). Analysis of sialang tree diversity parameter in Rokan Hulu showed that the sialang tree diversity located in the area that was located around boundary of natural forest (undisturbed forest) and concession areas of Plantation Forest Industry (PFI) which were planted with Acacia mangium. Mean while the diversity parameter in Rokan Hilir showed that the sialang tree diversity located in the village that was located around boundary of natural forest and along side of Rokan river (Figure 1)

Figure 1. Land cover of Riau province in 2008

 

It is suspected that the limit factor which formed the fertility level of peat soil in Rokan Hilir affected the number and diversity of sialang tree which are adaptable in that area. Peat type that found in east coast of Sumatera is ombrogen. This peat soil possibly first appeared from the mangrove sediment soil which is then dried. This peat soil contains of high salt and sulfide, so only fewer decomposer organisms inhabit it. Research in Sarawak showed that peat started forming on mangrove mud about 4,500 years ago in the beginning with depth rate about 0.475 m/ 100 years (at 10-12 m depth of peat), later shrank to approximately 0.223 m/ 100 years at the depth of 0-5 m. Probably, the older the forest of peat soil, the fewer the availabilty of nutrients (Wikipedia, 2012). Therefore, it is thought that types of sialang trees growing much in rural forest area and river boundary are hard to grow in coastal area and only specific types that can tolerate to this boundary factor. The sialang tree that appeared in Rokan Hilir are existed as long as the Rokan river that is argued by the sedimentation of such mineral that deposited in the river side.

Based on the results of an inventaritation of the sialang trees, there are only 8 species of trees with a number of 30 trees in Rokan Hilir and dominated by  Kempas (Kompssia parvifalia) and Arau. Whereas in Rokan Hulu had 12 types of sialang trees that the number of 515 and dominated by Acacia mangium and Benda. Interesting phenomenon is the existence of Acacia mangium as an invasive tree species and that used as the species for pulp and paper raw material in plantation forest industry especially in dry land. A. mangium had been introduced to Riau province for the last 20 years and became the most invasive species together with A. crassicarpa. This Acacia species had light seed which easy to spread by wind and adaptable to marginal land and the growth became massive. So, it is suspected that existence of Acacia mangium will give the positive effect to colony of A. dorsata but give negative impact to the local tree species.

The other assume is that the type of land that located in the Rokan Hilir (peat soil), especially areas adjacent to the sea become limiting factor for the spread of the sialang tree. Based on observations, vegetation in areas adjacent to the sea is dominated by coconut (Cocos nucifera). This type of tree has no branches to accommodate the A. dorsata to nest. In addition to the conversion of natural forests into palm oil plantations (Figure 1) also led to population A. dorsata is very low in this regency and this is indicated by low colony A. dorsata (Table 1). According to Liow et al. (2001) revealed that the proportion of stingless bees and honey bees (Hymenoptera: Apidae) was very low in oil palm plantation areas and very high in undisturbed areas, roomates implies that palm oil plantations are not suitable in terms of either fulfilling the preferences of honey bees or the ability to support them. Palm trees do not produce nectar and their dense leaves rendering them Unsuitable for nest building by A. dorsata (Oldroyd & Nanork, 2009).

Table 1. Sialang tree species in Rokan Hilir and Rokan Hulu

No. Sialang tree species Total tree that found
Rokan Hilir Rokan Hulu
1 Arau 7
2 Rengas (Glupta aptera) 2
3 Kempas (Kompssia parvifalia) 8 2
4 Makeluang (Heriteria tarrieta) 2 6
5 Kayu Ara 3 4
6 Kayu Batu (Homalium tomentosum) 3
7 Cempedak Air (Artocarpus maingayi) 3
8 Beringin (Ficus benjamina) 2 9
9 Randu (Ceiba petandra) 89
10 Akasia (Acacia mangium) 253
11 Pinong (Pencace sp.) 4
12 Julang (Afzelia javanica) 4
13 Benda 121
14 Jati (Tectona grandis) 14
15 Durian (Durio zibethinus) 6
16 Sengon (Parasienthes falcataria) 3
Total 30 515

PREFERENCY OF dorsata TO SIALANG TREE IN ROKAN HILIR AND ROKAN HULU

Based on the analysis, the preference level/ the fondness of honeybee A. dorsata to the sialang tree in Rokan Hilir representing the vegetation structure (coast, ombrogen peat soil and river flow area) showed that sialang tree type which is the best is arau (average of 25.72 colony per tree) and Rengas (Glupta aptera) (average of 32.5 colony per tree). Mean while in Rokan Hulu that representing red-yellow podzolic showed the highest of aggregation of A. dorsata were Kempas (Kompssia parvifalia) (average of 100 colony per tree) and Julang (Afzelia javanica) (average of 100 colony per tree) (Table 2).

Some factors influenced the high and low of colony preference of honeybee A. dorsata to sialang tree relatively are many horizontal branchings. The tall of tree reaching 27 m with branching fewer than 15 are not found vegetation/ another tree which is as big as the sialang tree, and branching that is far from plants of epifit and liana (Starr et al., 1987) and located around the sustainable forest (Purnomo et al., 2007). It can be seen that sialang tree located in the center of concession area of PFI was not inhabited by honeybee A. dorsata which was caused of the micro climate change (Purnomo et al., 2007).

 

Table 2. Sialang tree species and average of A. dorsata colony aggregation in Rokan Hilir and Rokan Hulu

No. Sialang Tree Species Rokan Hilir Rokan Hulu 
Σ tree species Σ colony Σ tree species Σ colony
1 Arau 7 180
2 Rengas (Glupta aptera) 2 65
3 Kempas (Kompssia parvifalia) 8 160 2 200
4 Makeluang (Heriteria tarrieta) 2 25 6 180
5 Kayu Ara 3 60 4 265
6 Kayu Batu (Homalium tomentosum) 3 50
7 Cempedak Air (Artocarpus maingayi) 3 45
8 Beringin (Ficus benjamina) 2 45 9 660
9 Randu (Ceiba petandra) 89 3402
10 Akasia (Acacia mangium) 253 1824
11 Pinong (Pencace sp.) 4 130
12 Julang (Afzelia javanica) 4 400
13 Benda 121 2895
14 Jati (Tectona grandis) 14 286
15 Durian (Durio zibethinus) 6 140
16 Sengon (Parasienthes falcataria) 3 30
Total 30 630 515 10412

 

The honey productivity also showed that in Rokan Hulu (28.8 ton/year) had highest than in Rokan Hilir (8.27 ton/year). Honey productivity also showed positive correlation to diversity index of sialang tree (0.583). It means that the increasing of diversity of sialang tree will effect to increase of honey productivity that produced by A. dorsata. This is contrast to Pachepsky (2001) which stated that the increase of diversity will decrease the productivity level of a community, especially tropical area, the great diversity level has low productivity. While in subtropical area and temperate regions, even though it has low diversity level, the productivity level is high.

Observations indicate that the total number of A. dorsata colony in Rokan Hilir colony numbered only 630 in 2008, mean while in Rokan Hulu regency reached 10412 colonies. Development of honey bee colonies affected by various factors, one of which is the availability of food, especially pollen. According to Cale and Ruthenbuhler (1975), the bee population development is influenced by some factors, one of those is the ability of a queen bee to keep laying eggs. The ability of laying eggs is strongly influenced by the food (royal jelly) given from the worker bees to the queen bee, and to produce royal jelly, the bee colony needs pollen in sufficient amount. Royal jelly formed by the worker bees is also influenced by the existence of hypopharengeal gland which is located in the heads of worker bees. This gland needs nutrion such as protein, and in that way, the amount of pollen will impact to the development of bee colony.

 CONCLUSION

  1. The analysis result of sialang tree diversity showed that a district which had the highest diversity parameter (Shanon weiner and abudancy index) was at Rokan Hulu regency (Hs: 1.17 and N: 3.16) than in Rokan Hilir regency (Hs: 1.05 and N: 2.83). Analysis of sialang tree diversity parameter in Rokan Hulu showed that the sialang tree diversity located in the area that was located around boundary of natural forest (undisturbed forest) and concession areas of Plantation Forest Industry (PFI) which were planted with Acacia mangiu
  2. Based onthe results ofan inventaritation of the sialang trees, there are only8species of treeswith anumber of30treesinRokanHiliranddominatedbyKempas(Kompssia parvifalia) and Arau. Whereas in Rokan Hulu had 12 types of sialang trees that the number of 515 and  dominated by Acacia mangium and Interesting phenomenon is the existence of Acacia mangium as an invasive tree species and that used as the species for pulp and paper raw material in plantation forest industry especially in dry land

 

 REFERENCE

 

Dinas Kehutanan Provinsi Riau. 2006. Statistik Dinas Kehutanan Provonsi Riau tahun 2006.  http://www.dephut.go.id/files/statistik_dishutriau06_0.pdf‎

Ditjen RLPS, 2001. Data Produksi Madu Indonesia tahun 1997 s.d 2000. http://www.dephut.go.id/informasi/Statistik/2001

Mujetahid, M.A. 2007. Technique of Forest Honeybee Harvesting Praticed by Local Community around the Forest Area in District of Mallawa, Regency of Maros. Jurnal Perennial, 4(1) : 36-40

Liow, L.H.; Sodhi, N.S. & Elmqvist, T. (2001). Bee Diversity Along a Disturbance Gradient in Tropical Lowland Forests of South-east Asia. Journal of Applied Ecology, Vol.38, No.1 (Febuary 2001), pp. 180–192, Available from http://www.jstor.org/stable/2655743

Oldroyd, B.P. & Nanork, P. (2009). Conservation of Asian Honey Bees. Apidologie, Vol.40, No. 3, (May-June 2009), pp. 296-312

Purnomo, Rochmayanto, Y., Junaedi, A., Aprianis, Y., dan Suhendar 2007. Peta Sebaran Koloni Lebah Hutan (Apis dorsata) dan Data Produksi Madu di Riau. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok. Tidak dipublikasikan

Starr K. C., Schmidt, J.P., Schimdt, J.O. 1987. Nest-site Preference of Giant Honey Bee, Apis dorsata (Hymenoptera: Apidae), in Borneo. Pan-Pasific Entomologist 63(1); pp: 37-42

Sihombing, D.T.H., 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

 

Utomo, Y.W. Melindungi Kekayaan Alam. Harian Kompas, 22 Mei 2013

 

Wikipedia. 2012. Gambut.  http://id.wikipedia.org/wiki/Gambut

POTENSI MADU HUTAN KABUPATEN KAMPAR

Oleh/by:

Avry Pribadi dan Purnomo

Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

PENDAHULUAN

Latar belakang

Aktivitas dan produk dari lebah hutan (Apis dorsata Fabr.) memiliki beberapa nilai positif (manfaat) bagi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup (ekologi) hutan. Manfaat ekonomi diperoleh karena  lebah hutan merupakan salah satu penghasil komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) diantaranya adalah madu sebagai produk utama, bee pollen dan lilin lebah. Produk-produk tersebut  sampai saat ini masih diminati konsumen dengan kecenderungan positif ditunjukkan oleh jumlah permintaan  yang cenderung terus meningkat. Manfaat sosial diperoleh karena usaha perlebahan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk kegiatan dalam rangka program pemberdayaan masyarakat hutan dan sekitar hutan. Manfaat ekologi diperoleh karena usaha perlebahan merupakan salah satu jenis usaha yang kegiatannya tidak merusak areal hutan.

Kampar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi produksi madu hutan yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kekonsistenan produksi madu hutan yang berasal dari pohon sialang yang berada di kawasan hutan. Berdasarkan hasil pengamatan yang selama ini telah dilakukan, potensi produksi yang tinggi  tersebut disebabkan tersedianya secara luas faktor-faktor yang mendukung produktivitas madu hutan, antara lain potensi lebah dorsata yang mencapai ribuan koloni, dukungan lingkungan habitat dan  tanaman pakan lebah yang tersedia cukup luas, sumberdaya manusia pengelola yang jumlahnya terus meningkat dan dukungan teknologi yang terus diupayakan.

Berdasarkan data inventarisasi perlebahan hutan menunjukkan bahwa kabupaten Kampar termasuk pada 3 besar kabupaten di provinsi Riau yang memiliki produksi madu hutan yang tinggi bersama dengan kabupaten Pelalawan dan Kuantan Singingi. Sebelum tahun 2000an sebagian para pemungut madu lebah hutan melakukan panen dengan cara merusak (memotong semua sisiran), menggunakan bara api, dan dilakukan pada malam hari. Hal ini dalam jangka waktu lama akan berdampak pada penurunan populasi lebah hutan dan berbanding lurus dengan penurunan jumlah madu hutan yang dipanen. Akan tetapi setelah tahun 2000an para pemungut lebah hutan menggunakan tehnik panen madu lestari dengan cara hanya memotong bagian sarang lebah hutan yang mengandung madu saja dan meninggalkan sisiran anakan. Seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman masyarakat akan madu organic menjadikan madu hutan semakin dipilih oleh banyak masyarakat dibandingkan dengan madu ternak yang sering kali menggunakan bantuan supplement makanan sewaktu masa paceklik pakan.

Madu hutan yang berasal dari kab. Kampar sudah cukup dikenal pada tingkat nasional maupun internasional melalui beberapa media seperti workshop, pameran, temu usaha, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun memiliki potensi produksi madu hutan yang tinggi akan tetapi sampai saat ini produk madu hutan ternyata belum menjadi tuan rumah di kabupaten sendiri. Hal ini didukung oleh data pasar yang menyatakan bahwa lebih dari 90% produk lebah hutan ternyata lebih dinikmati oleh masyarakat di luar kab. Kampar. Sedangkan masyarakat di kab. Kampar sendiri lebih memilih madu yang berasal dari luar.

Secara umum produksi madu hutan di provinsi Riau memiliki nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan madu hutan Sumbawa (Nusa Tenggara) yang produksinya hanya 25 ton pada tahun 2008 maupun Kalimantan Barat (Danau Sentarum). Nilai ini hanya lebih rendah dari produksi madu di provinsi Jawa Tengah yang mencapai 2120 ton pada tahun 2009. Akan tetapi jenis madu yang diproduksi adalah madu ternak jenis Apis mellifera.

Permasalahan

Berdasarkan data dari Kementrian Kehutanan (2010), angka deforestasi di dalam dan di luar kawasan hutan tahun 2003 s.d 2006 mencapai 150.000 ha/tahun. Hal ini terjadi salah satunya akibat dari kebutuhan masyarakat akan lahan untuk pembangunan perkebunan dan menjadi areal konsesi HPHTI.  Hal ini akan berdampak langsung pada populasi pohon sialang semakin menurun. Dampak lain adalah berubahnya iklim mikro di sekitar tegakan pohon sialang yang dapat mempengaruhi kesukaan lebah hutan (A. dorsata) untuk bersarang di pohon sialang. Meskipun telah menggunakan tehnik panen lestari, permasalahan deforestasi yang berdampak pada penurunan populasi pohon sialang ini apabila tidak dilakukan usaha konservasi yang bersifat in situ maupun ex situ maka perlahan akan berdampak pada penurunan hasil panen madu hutan. Selain itu permasalahan kebakaran hutan akan sangat berdampak pada populasi.

Permasalahan lain dalam pengelolaan madu hutan di kab. Kampar adalah:

  1. Produk lebah hutan masih terbatas pada madu
  2. Belum diusahakannya beberapa produk lebah lain seperti bee pollen, lilin, propolis, royal jelly, dan bee venom
  3. Khusus lilin lebah dan bee pollen masih banyak terbuang sia-sia di lantai hutan.
  4. Jenis perlebahan yang diusahakan hanya bergantung pada jenis lebah hutan ( dorsata) sehingga perlu ada pengembangan perlebahan dengan jenis lebah local yang lain (Apis cerana dan Trigona sp.)

Tujuan

Menyajikan potensi dan produktivitas madu hutan di kab. KamparMemberikan gambaran mengenai sebaran pakan lebah di kab. KamparMemberikan gambaran mengenai peluang pengembangan lebah selain lebah hutan di kab. Kampar

 

Potensi dan sebaran populasi pohon sialang dan produktivitasnya di Kampar

Berdasarkan pengamatan sentra produksi madu di Kab. Kampar menunjukkan adanya penurunan sentra penghasil madu hutan (dari 7 kecamatan pada tahun 2000 menjadi hanya 4 kecamatan pada tahun 2007) (Gambar 1). Hal ini terjadi karena adanya deforestasi terhadap areal berhutan dimana pohon sialang tersebut ada untuk kebutuhan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet.

 

Berikut beberapa kecamatan sentra madu hutan pada tahun 2000:

  1. Kecamatan Kampar Kiri tersebar di Desa Lipat Kain, Lipat kain Selatan, Kuntu dan Teluk Paman.
  2. Kecamatan Kampar Kiri Hilir tersebar di Desa Sungai Pagar, Mentulik dan Sungai Bunga
  3. Kecamatan Gunung Sahilan tersebar di Desa Sahilan, Gunung Sari, Suka Makmur, Kebun Durian, dan Sebarak
  4. Kecamatan Tapung tersebar di Desa Flamboyan atau Koto Garo, Beucah Lubi, Petapahan dan Pantai Cermin.

Gambar 1. Sebaran sentra madu hutan kab. Kampar tahun 2000

 

Pada tahun 2007 sentra madu hutan di kab. Kampar mengalami penurunan menjadi hanya 4 kecamatan. Berdasarkan Gambar 1 dan 2 diperoleh informasi bahwa hilangnya areal berhutan merupakan salah satu sebab mengapa hilangnya sentra madu hutan di 2 kecamatan sentra madu tersebut (kec. Tapung dan kec. Tapung Hilir). Tekanan deforestasi hutan untuk kebutuhan lahan perkebunan dan kayu sialang yang bernilai ekonomi tinggi diduga menjadikan populasi pohon sialang berkurang dan bahkan menghilang di daerah tersebut. Akan teapi pada daerah sentra madu yang berada di selatan menunjukkan tetap menunjukkan hasil panen madu hutan. Hal ini didukung oleh keberadaan areal berhutan yang keberadaanya kurang begitu mengalami deforestasi menjadi kebun (terutama di kec. Kampar Kiri Hulu) dan ketersediaan pakan di daerah Hutan Tanaman Industri.

Gambar 2. Sebaran sentra madu hutan kab. Kampar tahun 2007


 

Berdasarkan hasil inventarisasi pohon sialang di kabupaten Kampar diperoleh informasi bahwa sedikitnya terdapat 12 jenis pohon sialang. Jenis pohon sialang yang dominan adalah Rengas (Glupta aptera) (n= 56), Cempedak air (Artocarpus maingayi) (n= 40), dan Makeluang (Heriteria parvifalia) (n= 39) (Tabel 1). Sedangkan agregat atau kepadatan koloni A. dorsata lebih dominan menghuni pohon sialang jenis Cempedak air (Artocarpus maingayi) (rata-rata 36 koloni per pohon), Beringin (Ficus benjamina) (rata-rata 33,48 koloni per pohon), dan Makeluang (Heriteria parvifalia) (rata-rata 30,90 koloni per pohon).

 

Tabel 1. Jenis-jenis pohon sialang yang ada di kab. Kampar tahun 2007

Jenis Pohon Σ Pohon Σ Koloni
Keruing 8 150
Rengas (Glupta aptera) 56 613
Kempas  (Kompssia parvifalia) 12 52
Makeluang (Heriteria tarrieta) 39 1205
Kayu Ara 34 935
Kayu Batu (Homalium tomentosum) 22 410
Cempedak Air (Artocarpus maingayi) 40 1440
Beringin (Ficus benjamina) 23 770
Meranti (Shorea sp.) 8 160
Randu (Ceiba petandra) 7 70
Merbau (Intsia sp,) 7 210
Babi Kurus 2 16

 

Hasil inventarisasi mengenai produksi madu hutan provinsi Riau tahun 2007 menunjukkan bahwa kabupaten Kampar termasuk pada 3 kabupaten dengan produksi madu tertinggi setelah Pelalawan dan Kuantan Singingi dengan jumlah produksi mencapai hampir 85 ton per tahun. Kecamatan yang memiliki produksi madu hutan tertinggi adalah Kec. Gunung Sahilan (22,98 ton/tahun). Akan tetapi sebelum tahun 2007, kec. Tapung merupakan sentra penghasil madu hutan dengan produksi tertinggi jika dibandingkan dengan kecamatan sentra madu hutan (24,88 ton/tahun) (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kehilangan produktivitas madu hutan di kab. Kampar senilai hampir 25 ton/tahun sebagai akibat dari deforestasi yang terjadi.

Kecamatan Sentra Produksi Produksi Madu
Kg/Bulan Ton/Tahun
Kec. Kampar Kiri 1811,64 21,74
Kec. Kampar Kiri Hilir 1231,00 14,77
Kec. Gunung Sahilan 1957,21 23,49
Kec. Tapung 2073,36 24,88
Total 7073,21 84,88

 

Tabel 2. Data produksi madu di kecamatan sentra madu hutan kab. Kampar sebelum tahun 2007         

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • Kondisi daya dukung dan peluangnya ke depan

Makanan pokok lebah yaitu serbuk sari (pollen) dan nektar (larutan gula yang berasal dari tanaman). Bagi lebah, serbuksari (pollen) adalah sumber protein, sementara nektar adalah sumber karbohidrat. Kedua jenis makanan ini diambil oleh lebah dari tanaman, khususnya di bagian bunga. Namun, pada tanaman tertentu, misalnya karet (Hevea brasiliensis) dan akasia (Acacia crassicarpa dan Acacia mangium) nektar tidak dikeluarkan dari kelenjar yang ada di bagian dasar bunga, melainkan dari tunas daun muda (petiole) dan pangkal daun

Inventarisasi jenis dan kelimpahan tanaman pakan serta pendataan kalender pembungaan tanaman pakan (bee forage) merupakan faktor kunci yang paling menentukan terhadap keberhasilan usaha. Perkembangan koloni lebah madu ditentukan oleh ketersediaan nektar dan serbuksari yang dihasilkan tanaman. Dengan demikian dibutuhkan tanaman sumber pakan yang tidak sekedar cukup untuk mendukung perkembangan koloni, melainkan harus melimpah agar usaha perlebahan mampu menghasilkan panen yang baik. Oleh sebab itu, hal pertama dan paling utama harus dilakukan dalam memulai kegiatan perlebahan lebah madu adalah pengumpulan informasi ketersediaan dan kelimpahan tanaman pakan.

Dalam konteks inilah, penting dilakukan inventarisasi jenis, potensi, dan lokasi tanaman sumber pakan potensial, sehingga dapat ditentukan di mana kegiatan perlebahan dapat dilakukan. Dalam pada itu, masa pembungaan tanaman umumnya bersifat musiman. Hal ini menyebabkan koloni lebah pada waktu tertentu berpotensi mengalami kelangkaan pangan. Bagi lebah madu, masa langka bunga adalah masa kritis, populasi koloni mengecil dan tidak jarang sampai tingkat yang paling rendah. Kondisi demikian sangat berpengaruh terhadap musim panen selanjutnya, karena penurunan populasi yang tajam akan menyebabkan keterlambatan perkembangan koloni di saat menyongsong kedatangan musim nektar. Akibatnya, lebah tidak dapat memanfaatkan musim sekresi nektar secara maksimal atau bahkan mengalami gagal panen. Pada A. cerana dan umumnya jenis lebah asal daerah tropis, kekurangan sumber pakan, khususnya serbuksari, seringkali berdampak lebih buruk dari sekadar penurunan populasi, yaitu koloni hijrah meninggalkan sarangnya (absconding) (Woyke, 1976, Verma, 1993). Berdasarkan pengalaman dan penelitian, persentase terjadinya hijrah pada apiari A. cerana dapat mencapai angka 50 % (Wongsiri dan Tangkanasing, 1987). Mengingat pembungaan tanaman yang bersifat musiman berpotensi menjadi kendala serius bagi kegiatan usaha perlebahan, maka informasi kalender pembungaan masing-masing jenis tanaman perlu dimiliki setiap petani lebah. Informasi tersebut sangat berguna bagi petani untuk menentukan model usaha perlebahan yang akan dilakukan serta keberhasilan usahanya.

Pembangunan hutan tanaman dapat menjadi bagian penting dalam mengatasi persoalaan kekurangan sumber pakan, apabila jenis yang ditanam termasuk golongan tanaman pakan lebah, seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan  Eucalyptus sp. Selain itu, pengkayaan tanaman pakan lebah dapat dilakukan melalui program reboisasi dan penghijauan. Untuk daerah pinggiran hutan, seperti daerah penyangga di hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya, sejauh tidak melanggar ketentuan, sebaiknya ditanami dengan tanaman yang memiliki masa pembungaan sepanjang tahun, misalnya kaliandra merah (Calliandra calothyrsus), karena akan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan lebah secara menetap.

Berdasarkan  Peta tutupan lahan tahun 2000 dan 2007 (Gambar 1 dan 2) selain menunjukkan adanya kecenderungan deforestasi pada kawasan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit maupun karet yang berdampak pada berkurangnya populasi pohon sialang di kabupaten Kampar. Hal ini terjadi selain karena kayunya yang bernilai ekonomi tinggi dan kebutuhan masyarakat akan lahan juga semakin tinggi sehingga menyebabkan tekanan yang begitu tinggi terhadap pohon sialang. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa meskipun kegiatan pembukaan lahan dengan menebang habis dan membersihkan vegetasi di bawah pohon sialang sehingga hanya meninggalkan pohon sialang sendiri. Hal ini juga tidak membantu perkembangan populasi lebah hutan (Apis dorsata) karena diduga telah terjadi perubahan yang terhadap iklim mikro di sekitar pohon sialang.

Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau menunjukkan bahwa jumlah luasan perkebunan kelapa sawit di kabupaten Kampar merupakan yang ketiga setelah Rokan Hulu dan Siak dengan total luasan hampir 160.000 ha dan memiliki potensi untuk terus berkembang. Pollen dari tanaman kelapa sawit bagi lebah madu dijadikan sebagai sumber protein sehingga dapat diperkirakan bahwa potensi pakan lebah madu berupa pollen sangat melimpah, sepanjang tahun, dan tidak mengenal musim. Akan tetapi tanaman kelapa sawit tidak mensekresikan nectar yang merupakan bahan baku madu.

Peta tutupan lahan provinsi Riau tahun  2000 dan 2007 tersebut juga menunjukkan kecenderungan penambahan luasan untuk kebutuhan konsesi HPHTI. Jenis tanaman terbanyak yang digunakan pada hutan tanaman ini adalah Acacia mangium. Tanaman ini mensekresikan nectar dalam jumlah yang banyak dan tidak mengenal musim (sepanjang tahun).  Pengamatan terhadap sekresi nectar ekstra flora pada hutan tanaman A. mangium diperoleh hasil bahwa sumber nectar berasal dari ketiak daun A. mangium. Sedangkan hasil penghitungan potensi nectar pada hutan tanaman jenis A. mangium pada umur 1 tahun adalah 83,25 liter/ha/hari, 2 tahun adalah 112,38 liter/ha/hari, 3 tahun adalah 141,52 liter/ha/hari, 4 tahun adalah 170.66 liter/ha/hari dan 5 tahun 199,800 liter/ha/hari (tabel 3). Jumlah sekresi nectar oleh A. mangium menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan pada setiap umurnya. Hal ini berkaitan dengan jumlah daun yang semakin banyak terbentuk seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kadar air yang terdapat pada nectar ekstra flora A. mangium mencapai 33%, sedangkan kadar gulanya bervariasi antara 24,5% s.d 23%.

 

Tabel 3. Jumlah sekresi nectar ekstraflora A. mangium pada setiap kelas umur

Umur tegakan

A. mangium (tahun)

Jumlah sekresi nectar ekstraflora (liter/ha/hari)
1 83,25
2 112,38
3 141,52
4 170,66
5 19,8
Total 707,61

 

Berdasarkan hasil perhitungan, ketersedian nektar ekstrafloral pada tanaman A. mangium sekitar 83,25 liter/Ha/hari, sedangkan luas kawasan yang efektif untuk menyediakan pakan lebah di areal HPHTI yang ditanami oleh jenis A. mangium umur 1 tahun yang berlokasi di Riau sekitar 60000 Ha maka total sekresi nektar ekstra floral pada seluruh areal HPHTI yang ditanami A. mangium adalah sebesar 3,5 juta liter/ha/hari. Kecenderungan ini akan semakin meningkat berbanding lurus dengan peningkatan umur tegakan (Tabel 1). Sehingga total nektar ekstra floral pada HPHTI yang ditanami A. mangium yang dapat dimanfaatkan oleh lebah madu menjadi madu adalah 30,18 juta liter/hari.

Peluang transformasi di perlebahan

Deforestasi dan konversi lahan menjadi kebun sawit menimbulkan permasalahan dalam pengembangan usaha madu hutan ini. Hal ini mengakibatkan kecenderungan produksi madu hutan di kabupaten Kampar yang semakin menurun karena semakin rusaknya vegetasi yang cocok untuk pengembangan lebah madu.  Oleh sebab itu diperlukan usaha yang berbeda untuk berbudidaya lebah madu dengan tidak lagi mengandalkan lebah hutan tapi lebih mengarah pada pengembangan lebah madu local jenis Apis cerana (lebah sayak) dan Trigona spp. (klanceng, kelulut, galo-galo).

Pengembangan budidaya lebah madu  jenis A. cerana dan Trigona spp. sangat dimungkinkan karena melimpahnya sumber pakan lebah madu (nectar dan pollen) di kab. Kampar. Berdasarkan pengamatan inventarisasi sumber pakan lebah madu local menunjukkan potensi yang cukup besar untuk dikembangkan karena jumlah luasan yang besar dan tersebar hampir di seluruh kab. Kampar, yaitu karet (Hevea brasiliensis) sebagai sumber nectar (bahan baku madu) dan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) sebagai sumber pollen.

Selain itu potensi nectar yang terdapat HTI jenis Acacia mangium dan Acacia crassicarpa yang mencapai 30,18 liter/ha/hari untuk tanaman umur 1 tahun sangat dimungkinkan untuk dilakukan usaha budidaya ternak lebah madu. Keunggulan lain adalah jenis tanaman ini mampu mensekresikan nektarnya di setiap hari dan tidak mengenal musim. Berbeda dengan jenis tanaman bunga lain yang hanya berbunga pada musim-musim tertentu saja. Jenis lebah madu local yang sesuai dengan kondisi di HTI ini adalah lebah A. cerana.  Purnomo et al. (2008) menyatakan budidaya lebah A. cerana di areal HTI A. mangium dan A. crassicarpa dalam tiap bulannya akan dihasilkan madu rata-rata sebanyak 1,3 liter/ koloni. Akan tetapi permasalahannya adalah pada areal HTI yang merupakan suatu ekosistem homogen di satu sisi melimpah akan sumber pakan berupa nectar akan tetapi langka akan sumber pollen. Hal ini sebenarnya dapat diantisipasi dengan melakukan peletakkan koloni lebah yang berada diantara atau berbatasan dengan kebun sawit yang selalu menyediakan pollen dalam jumlah yang melimpah dan tidak mengenal musim. Cara lain adalah dengan menggunakan system budidaya berpindah/ manipulasi lingkungan, yaitu pada bulan pertama koloni lebah diletakkan di kebun yang diperkirakan melimpah akan sumber pollen (jagung, kelapa sawit, dll) dan pada bulan selanjutnya diletakkan di areal HTI untuk mulai proses pengumpulan madu.

Pada pengembangan jenis lebah madu lain yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah lebah Trigona sp. Terdapat sedikitnya 2 jenis Trigona sp. local yang berpotensi untuk dikembangkan di kab. Kampar, yaitu Trigona itama dan Trigona minangkabau. Berbeda dengan jenis lebah madu A. cerana, jenis lebah ini tidak memiliki sengat (stingless bee) dan cenderung mudah untuk dibudidayakan karena sifatnya yang tidak mudah kabur dan memiliki kisaran pakan yang luas karena ukurannya yang relative kecil.

Perbedaan lain adalah lebah jenis ini lebih mengutamakan produksi propolisnya dibandingkan madu. Propolis berasal dari bahasa yunani yakni pro berarti sebelum dan polis maknanya kota berfungsi mensterilkan sarang dari organism pengganggu seperti bakteri, cendawan dan virus yang berakibat penyakit tak menyebar dan sarang tetap bersih. Dengan demikian bagi  Trigona sp propolis berfungsi sebagai senjata untuk melindungi diri. Karena tidak memiliki sengat, oleh karena itu Trigona sp memproduksi propolis sangat intensif. Akhir-akhir ini propolis mendapat perhatian yang banyak dari dunia medis karena khasiatnya dalam menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit sehingga banyak masyarakat di Jawa yang mulai beternak klanceng ini untuk diambil propolis mentah selain madu dan pollennya.

Trigona sp. menghuni ruas-ruas batang bambu kering, batang pohon berlubang, celah-celah batu dan plafon rumah. Di alam Trigona sp membentuk sarang berbentuk gundukan mengikuti bentuk dan ukuran lubang. Oleh karenanya Trigona sp sangat adaptif, ia bisa bersarang di berbagai lubang, rongga bebatuan, lubang pohon, hingga pipa saluran pembuatan air yang tak terpakai. Sarang berbentuk sisiran disekat-sekat menjadi ruang untuk membesarkan telur dan anakan, ruang ratu, ruang lebah pekerja, ruang jantan, ruang menyimpan madu dan ruang menyimpan cadangan pollen.

Trigona  sp. dalam kehidupannya lebih mengutamakan dalam mengumpulkan propolis dibanding madu. Propolis yang dihasilkanpun sangat bergantung pada keberadaan tanaman penghasil getah atau resin. Sedangkan madu yang dihasilkan hanya sekitar 1 s.d 1,5 kg per tahunnya untuk setiap koloninya. Berdasarkan hasil pengamatan di kabupaen Kampar, jenis resin yang disukai oleh klanceng ini adalah yang berasal dari tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus), mangga (Mangifera indica), Agathis sp., dan Shorea sp. Sehingga lebah jenis ini sangat dimungkinkan untuk dipelihara di areal pekarangan-pekarangan masyarakat. Beberapa jenis tanaman penghasil resin yang disukai oleh lebah adalah Jarak (Jatropha sp.), Manggis (Garcinia mangostana), Nyamplung (Canophylum innophylum), dan Pulai (Alstonia scholaris).

 

 Penutup dan rekomendasi

  1. Hasil inventarisasi mengenai produksi madu hutan provinsi Riau tahun 2007 menunjukkan bahwa kabupaten Kampar termasuk pada 3 kabupaten dengan produksi madu tertinggi setelah Pelalawan dan Kuantan Singingi dengan jumlah produksi mencapai hampir 85 ton per tahun. Kecamatan yang memiliki produksi madu hutan tertinggi adalah Kec. Gunung Sahilan (22,98 ton/tahun). Akan tetapi sebelum tahun 2007, kec. Tapung merupakan sentra penghasil madu hutan dengan produksi tertinggi jika dibandingkan dengan kecamatan sentra madu hutan (24,88 ton/tahun). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kehilangan produktivitas madu hutan di kab. Kampar senilai hampir 25 ton/tahun sebagai akibat dari deforestasi yang terjadi.
  2. Makanan pokok lebah yaitu serbuksari (pollen) dan nektar (larutan gula yang berasal dari tanaman). Bagi lebah, serbuksari (pollen) adalah sumber protein, sementara nektar adalah sumber karbohidrat. Kedua jenis makanan ini diambil oleh lebah dari tanaman, khususnya di bagian bunga. Namun, pada tanaman tertentu, misalnya karet (Hevea brasiliensis) dan akasia (Acacia crassicarpa dan Acacia mangium) nektar tidak dikeluarkan dari kelenjar yang ada di bagian dasar bunga, melainkan dari tunas daun muda (petiole) dan pangkal daun
  3. Deforestasi dan konversi lahan menjadi kebun sawit menimbulkan permasalahan dalam pengembangan usaha madu hutan ini. Hal ini mengakibatkan kecenderungan produksi madu hutan di kabupaten Kampar yang semakin menurun karena semakin rusaknya vegetasi yang cocok untuk pengembangan lebah madu. Oleh sebab itu diperlukan usaha yang berbeda untuk berbudidaya lebah madu dengan tidak lagi mengandalkan lebah hutan tapi lebih mengarah pada pengembangan lebah madu local jenis Apis cerana (lebah sayak) dan Trigona spp. (klanceng, kelulut).

 

 

Rekomendasi

  1. Konservasi jenis-jenis pohon sialang secara in situ maupun ex situ.
  2. Tanaman pakan (bee forage) merupakan faktor kunci yang paling menentukan terhadap keberhasilan usaha budidaya lebah madu dalam kaitannya dengan usaha pengembangan lebah.

BEE MANAGEMENT AND PRODUCTIVITY OF TWO LOCAL HONEYBEES (Apis dorsata Fabr. AND Apis cerana Fabr.) AT RIAU PROVINCE

By:
Avry Pribadi and Purnomo
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
avrypribadi@gmail.com

ABSTRACT
Problem(s). Forest degradation over to plantation forest and palm oil is not only effected to decrease of amount of Sialang tree (consequently reducing the of A. dorsata colony) but also giving unique phenomenon. Presence of Plantation Forest Industry (PFI) in Riau is also affected to A. cerana management . The lack of pollen source is become one the problem of beekeeping in PFI. Objective(s). (1) Informed the bee management of Apis dorsata (honey productivity and comparation between traditional harvesting to sustainable harvesting method (Purnomo, 2008) and also preferences phenomena of Apis dorsata nesting tree) in Riau and (2) informed the honey productivity and its problem of Apis cerana that kept on Plantation Forest Industry tree species (A. mangium and A. crassicarpa) in Riau. Result (s). (1) The species that dominated the deployment of Sialang tree at Riau were Makeluang (n=361), Kayu Ara (n=325) dan Acacia mangium (n=253). Tree that had highest density of A. dorsata colony were Kempas and Julang (average 100 colony/tree). Sustainable A. dorsata harvesting method showed in 28 days after honey harvesting, the A. dorsata colony had established 1050 cm2 the honey cell and 264 cm2 the pollen cell in each colony. (2) Average of honey productivity of Acacia mangium PFI showed 1,17 (2 years) and 1,18 (3 years) liter each A. cerana colony/month. Meanwhile, Acacia crassicarpa PFI showed 1,18 liter (2 years) and 1,22 liter (3 years) each A. cerana colony/month. Effect of lack of pollen source in PFI affected the honey productivity decrease to 61,4%

Keyword: Apis dorsata, Apis cerana, Sialang tree, Plantation Forest Industry, Bee management

I. INTRODUCTION
Riau is a province with larger forest honey potency compared to other provinces in Indonesia, even to West Nusa Tenggara (NTB). The productivity of forest honey in Riau on the year 2006 through 2007 reached more than 400 tons (Purnomo et. al., 2007). Mean while, the forest honey productivity in NTB reached only 125 tons/year (Julmansyah, 2007) and in Danau Sentarum only reached 20 – 25 ton/year (Riak Bumi Foundation, 2012).
There are at least two species of local honeybee that exists in Riau, Apis dorsata and Apis cerana. Asiatic giant honeybee (A. dorsata) is the most productive honeybee producing honey which has the percentage of honey production nearly 70% of all honey produced in Indonesia (Ditjen RLPS, 2006). The characteristic of Asiatic giant honeybee hive is a hive with one stroke that hangs in a branch and a twig of a tree (sialang tree: local name) (Starr et al., 1987). Sialang tree is a kind of plant which is protected by law, both government law and customary/community law. It is intended to preserve those trees as the place which the group of bees produces honey as one of incomes of the people who lives near the forests (Mujethid, 2007).
A. cerana, local honeybee, has been practiced in Indonesia especially in Central and West Java for a long time. The farmers have been keeping this local honeybee species in old coconut log (glogod; local name) and box hives (stup). A. cerana is a good pollinator, and have survival capacity due to the co-evolution of native floral sources, pests and predators accustomed to the same climatic conditions. In South India, large number of beekeepers is earning their living from this indigenous honeybee (Thomas et al., 2002).
The impact of natural forests deforestation being Plantation Forest Industry (PFI) and Palm Oil Plantation are not only giving negative effect to Sialang tree but also giving a unique phenomenon. The tendency of A. dorsata colonies is more getting away to the forest boundary of PFI Acacia crassicaraa, Acacia mangium, and Eucalyptus sp. (Purnomo et al., 2007). The similar tendency appeared in palm tree plantation that showed the existence of the colonies withdrawing from the forest boundary. This issue was related to the availability of food resources of honeybee A. dorsata, which extra floral nectar is produced by the Acacia plant (Sihombing, 1997). The potency of extra floral nectar that secreted by A. crassicarpa and A. mangium reached average of 60 liters/day/hectare based on the age of the tree (Purnomo et. al., 2009).
The other problems in A. dorsata management is the destructive technique that used by the honey farmer. Before year 2000, most of the honey farmer used the cut off method and it affected to the sustainability of A. dorsata colony that became declined. Mean while to A. cerana, although there is abundant of extra floral nectar in Acacia plantation, the lack of pollen source at Acacia plantation effected to the honeybee health and also to the honey productivity.
Therefore, the objectives of the study are (1) Informed the bee management of A. dorsata (honey productivity and comparation between traditional harvesting to sustainable harvesting method (Purnomo, 2008) and also preferences phenomena of sialang tree by A. dorsata swamps in Riau and (2) informed the honey productivity and its problem of A. cerana that kept on Plantation Forest Industry tree species (A. mangium and A. crassicarpa) in Riau.

II. Management of A. dorsata in Riau and the preferency of sialang tree
Identification and observation of forest honey harvesting in each district are giving obtain information about the equipment that commonly used by forest honey collectors groups are: (1) “latak” and wooden bat, (2) traditional smoker, (3) cutting tools nest, (4) containers for honey collection (ubol) and rope to lower and raise ubol, (5) the strokes container, (6) tool filters and (7) lighting equipment. The sialang tree is reached by used” latak” that is made of wood or bamboo which have a length of 20 cm and a width of 5 cm and used as stairs built into the beehive tree. “Latak” amount used depends on tree height, the height of the tree where the nest colony “latak” needed more and more. Traditional smoker used to relieve hives by the honeybees. Traditional smoker is made of wood or roots of coconut coir can also bound form of bars.
The sequence of the harvest of forest honey are: (1) installation “latak” conducted by the handler, (2) releasing of many honeybee that hang on the hive by using smoker, (3) cutting all strokes nests using bamboo knife, (4) bring the honey strokes using container by reel (ubol) that is usually made from rattan, (5) extraction and filtering. Brushing of honey squeeze technique was done by using blackmail so the honey produced will be mixed with brood/larvae, wax, pollens, and even with other waste. So it usually made the level of cleanliness and hygienic honey is not guaranteed and will likely cannot stand for a long time because it will be quickly fermented. The time for honey harvesting is generally done on the day starting at 07:00 pm to 05:00 am and also at noon. Harvesting was done after the nest reaced 20-25 days since the arrival of A. dorsata colonies. The duration to harvest all of hive in a sialang tree average reached 2-3 days.
Before the year 2000s, forest honey harvesting method is done by cut off all strokes nest. As a result, not only honey comb that is taken, but also the brood cell will be drawn. Other way, there is no selection treatment between immature to mature honey comb that closed by A. dorsata worker used wax. The immature honey will made the honey is easily fermented by yeast. Following the analysis of the quality of forest honey than honey quality requirements (SNI 01-3545 2004) (Table 1).

Tabel 1. Requirement of honey quality by SNI 01 – 3545 years 2004.

No Parameter Unit Requirment Test Result
1 Diastase enzyme activity DN Min 3 2,10
2 Hidroksimetilfurfural (HMF) mg/kg Max 50 51,30
3 Water content % Max 22 24,10
4 Reduction sugar %,w/w Min 65 69,1
5 Sucrose %,w/w Max 5 1,20
6 pH ml Na OH1 N/Kg Max 50 52,40
7 Solids that unsolved in water %,w/w Max 0,5 Negative
8 Ash %,ww Max 0,5 0,70
9 Metal contamination
– Lead (Pb) mg/kg Max 1,0 <0,005
– Copper (Cu) mg/kg Max 5,0 1,11
10 Arsen contamination (As) mg/kg Max 0,5 Negative Gutzeit

Test results of forest honey at Riau showed that the activity of the enzyme diastase has a lower value than the required by SNI 01-3545 year 2004. The function of diastase enzyme is to break down the oligosaccharides into monosaccharide compound. The small amount of diastase enzyme activity due to diastase enzyme that theoretically available in honeybee stomach will be denatured by the presence of yeast that secrete the phenol compounds. The presence of yeast allegedly as a result of the high water content in honey (table 1) and the microflora of honey has not inhabit the yeast yet. The high levels of water content happened when the treatment of forest honey was done in younger cells (immature). Moreover, the existence of A. dorsata nest in the open air is allegedly to be one factor of the high water content of forest honeybee.
Treatment for increasing honey productivity was done by doing cleaning treatment of the rest of honey comb that was still attached to the stem after honey harvesting and by not doing cleaning treatment (the rest of comb left tobe attached). Based on the observation, it was showed on day 1 after doing honey stroke harvesting that both trials still made a crowd of A. dorsata. After 28 days since the treatment, the cleaning treatment of honey comb showed that the part had reformed and bulged. The opposite thing happened to the hive whose hive/comb was uncleaned which showed the change of the function of the comb which was the comb for sapling (brood) to become honey (table 2). In addition, the cleaning process of the rest of the honey comb had higher value (1260 cm2) if compared to the uncleaned honey comb (960 cm2). The similar trend could be seen in the pollen comb and brood which had higher values to the cleaning treatment compared to the uncleaned one (table 2).

Table 2. Wide average of each hive stroke (honey, pollen, brood) on the 28th day after the process
Part of hive comb Honey (cm2) Pollen (cm2) Brood (cm2)
Cleaned Uncleaned Cleaned Uncleaned Cleaned Uncleaned
comb of former honey harvest
(point part/farthest part of main stem/harvested part) 1050 0 264 0 0 0

The low trend of comb wide of each hive to the uncleaned treatment was suspected because of the existence of the rotten comb rest, so it lured the decomposing organisms (fungi or decomposer) to come, and it made the old hive becoming humid and rotten. This such condition was probably not favored by the bees, specifically it was because of the high humidity of the comb which occured disease caused by fungi and bacteria. According to Renich et al. (2011), some bee diseases are caused by the existence of microorganisms such as roten larvae rot (caused by bacteria Bacillus larvae).
The number of sialang trees in Riau province in year 2008 reached 2011 trees, with 52 species of sialang trees and 46,875 of A. dorsata colony. The preferency of A. dorsata to nest at sialang tree showed that the highest tree species are Makeluang (n = 361), Kayu Ara (n = 325), and Acacia mangium (n = 253). Mean while, the district (kabupaten) that had the most number of sialang tree species are Siak (n = 20), Pelalawan (n = 14), and Kuantan Singigi (n = 14). The phenomena of sialang tree in Riau tends to widely distribution in the middle and west district and low in district that closed to the coast. This showed in Indragiri Hilir district and Rokan Hilir district (the district that closed to the coast) had only 6 species of sialang trees which number of 54 and 26 sialang trees. While the district is located in the middle and west showed the highest number of sialang trees; Rokan Hulu district (n = 515 trees), Pelalawan (n = 424 trees), and Kuantan Singingi (n = 378 trees). Similar trends occurred at the observation of number of A. dorsata colonies. Result showed that the highest colony was on Pelalawan (n = 11,517), Rokan Hulu (n = 10,412), and Kuantan Singingi (n = 9,636). While the district that closed on the coast have fewer number of colonies, i.e Indragiri Hilir (n = 1,143) and Rokan Hilir (n = 545).
This is probably caused due to effect in the presence of Plantation Forest Industry (PFI) that planted by A. mangium, A. crassicarpa, and Eucalyptus spp. that abundance at Kuantan Singingi and Pelalawan. Acacia sp. is plants that provide food (extra flora nectar) abundantly (40 to 75 liters / ha / day) (Purnomo et al., 2009). The existences of forest protected areas that boundary the PFI were so petrified the A.dorsata nesting and finding sources of pollen from the flowers of the forest (because of there are very low pollen source at PFI area).
Some factors influenced the high and low of colony preference of honeybee A. dorsata to sialang tree relatively are many horizontal branchings. The tall of tree reaching 27 m with branching fewer than 15 are not found vegetation/ another tree which is as big as the sialang tree, and branching that is far from plants of epifit and liana (Starr et al., 1987) and located around the sustainable forest (Purnomo et al., 2007). It can be seen that sialang tree located in the center of concession area of PFI was not inhabited by honeybee A. dorsata which was caused of the micro climate change (Purnomo et al., 2007).

III. Productivity of A. dorsata honey di Propinsi Riau
Two districts that have productivity of forest honey more than 100 tons/year are Pelalawan (108.5 tons/year) and Kuantan Singigi (106.6 tons/year) (Table 3). Overall the total forest honey productivity in Riau reached 438.75 tons in year 2008. Similiar tends happened on the district that closed to the coast. In this district the forest honey productivity is low (under 10 tons/year) (Table 3).
Table 3. Potency of forest honey production at every regency/kabupaten in Riau province (periode 2006 – 2007).
Honey Production Center per kabupaten Forest Honey Production
Kg/month Ton/year
Kab. Pelalawan : 9,064.69 108.5
Kab. Siak : 4,677.23 55.8
Kab. Rokan Hulu : 2,416.17 49.01
Kab. Kuantan Singingi : 8,893.07 106.6
Kab.Kampar 7,073.21 53.55
Kab. Indragiri Hulu 5,368 52.82
Kab. Indragiri Hilir 1,568.62 9.2
Kab. Rokan Hilir 682.2 3.27

This trend is related to the existence of PFI that planted by A. mangium and A. crassicarpa which are widely spread in that district. Purnomo et. al., (2008), Plantations forest of A. mangium and A. crassicarpa are source of food (nectar) for honeybee species that continuously every day and begin to secrete nectar from the age of 3 months. Based on the calculation of the potential nectar of A. mangium and A. crassicarpa informed that the nectar potency reach 40-75 liters/hectare/day depend on the age standing. Acacia nectar existence can be seen by the presence of reddish forest honey which is a hallmark of honey derived from the nectar of Acacia. While the low productivity of honey in the forest areas closed to the coast probably caused by several factors, the lack of bee forage plants that produce nectar and physic influences such as exposure to the strong winds that can disrupt the activity of flying and how they communicate (Murphy and Robertson, 2000).
Harvesting of forest honey is also influenced by the rainy and dry seasons. Based on the observation of forest honey showed higher value in the rainy season (148.996 tons) even compared to the dry season (134.420 tons). The differences are probably caused by the increasing of needs of carbohidrat by A. dorsata colony in the dry season and this is cannot filled by the availability of nectar by forest plant. So the initial allegations against the low amount of honey obtained in the dry season is mainly due to the small number of flowers formed so as directly proportional to the amount of nectar that honeybees can be taken. The influence of the wind and solar radiation intensity also affects to the amount of nectar secretion. It is happened because the nectar will easily dry out with exposure to sunlight and constant strong winds. According to Anonymous (2012), the amount of flowering that is formed will decrease during the dry season in the tropics. Most of flowering occurs during the transition from the dry to the rainy season. In the rainy season, the plants will absorb nutrients and water maximalist.
IV. Honey productivity of A. cerana farmed on A. crassicarpa and A. mangium plantation

The potency of extra flora nectar secretion of A. crassicarpa showed the same value in the whole observed stand age (12 and 50 months) which is 0.035 cc/day (Table 4). But if it calculated to 1 stand, the nectar volume reach 25.69 cc/day for 12 months and 44.31 cc/day for 50 months. This happen due to the difference in the average of young leaves per stands (734 pieces of leaf / plant for ages 12 months and leaves 1266 / plants to age 50 months). If calculated into 1 hectare the extra flora potency reach 42,774 cc/day for ages 12 months and 73,766 cc / day for age 50 months.

Table 4. Daily average of extra floral nectar secretion of A. crassicarpa age 12 and 50 months

Nectar secretion Plant age
12 month (cc/day) 50 month (cc/day)
per leaf 0.035 0.035
per tree 25.69 44.31
per hectare 42,774 73,766

Based on daily observations to extra flora nectar secretion on A. crassicarpa, can be assumed that the highest secretion nectar of 12 months was occurred at 06.30 to 7:30 that amounted to 0.012 cc. This value will declined until at 10.30 to 17:30 with volume secretion only reached 0.001 cc. The volume secretion back to increased at 17.30 to 18:30 with volume secretion reach 0.002 cc (Figure 1). Mean while, the daily observations of extra flora nectar secretion nectar showed the same trend between A. crassicarpa age of 50 months to 12 months, which highest at 06.30 to 7:30 with volume secretion of 0.010 cc and continued to decline until stagnate at 10.30 to 17:30 with volume secretion of only reached 0.001 cc and volume secretion will back increased at 17.30 sd 18:30 with volume secretion of reaching 0.003 cc.
A similar trend of nectar secretion is probably thought caused by environmental factors, one of which is temperature, humidity, and wind. Kapil (1960) stated that the combination of temperature and humidity of the environment will affected to the level of water saturation in the air. Daily air temperatures always showed rising up during the day and noon to the observation of the afternoon, but the opposite trend occurred in humidity. During the day, high temperatures and low humidity are expected to affect the water content of the nectar secreted so the nectar will likely quickly become dry before it was to be carried by honey bees. Wind factor is also thought to increase the rate of speed of nectar to be dry more faster.
At the trial of placement of A. cerana on plantations of A. mangium showed that the honey productivity at the stands age of 2 and 3 years reach average of 1.175 liters/month/colony. Whereas on plantations of 2 and 3 years A. crassicarpa showed honey productivity reach an average of 1.20 liter /month/colony (Table 5). The same trend between type A. mangium and A. cassicarpa at ages 2 and 3 years was due to number of leaves on each of its standing thus expanding that secreted nectar. According Sihombing (1997), plant species Acacia sp. has abundant food (nectar) source for honeybee because of its extra flora and continuously to secreted its nectar.
Table 5. Honey production of A. cerana at A. mangium dan A. crassicarpa plantation
Standing age Honey production (lt) and its water content (%)
A. mangium Water content (%) A. crassicarpa Water content (%)
2 year 1.17 22 1.18 22.71
3 year 1.18 21.98 1.22 22.78

V. Problem in A. cerana farming on Acacia plantation
At the plantation level, Acacia plants under the age of 1 year will always be weeding once times every 3-4 months. It aims to reduce the level of competition for nutrients, but the absence of lower plants (weeds) will impact on the availability of pollen provided by many lower plants (Ageratum conyzoides and Mimosa pudica) that directly affect the lives of honeybee (A. cerana). The method that used to anticipate the scarity of pollen source is by planted / introduced the pollen-producing plant, for example Sorghum spp. and provision of A. dorsata bee bread supplements.
Colony health parameter of A. cerana can be seen by the percentage of crude protein / CP) of worker bees body. The result showed that the A. cerana placed on the area of the A. mangium plantation which intercropped with sorghum showed higher the value of CP by 58% and significantly different to A. cerana which are not intercropped with sorghum (31.90%).
Table 6. The content of crude protein (CP) of A. cerana that placed on Sorghum spp. plantation and no sorghum spp. plantation.
Observations Percentage of crude protein of A. cerana worker
Place on Sorghum spp. No Sorghum spp.
1
2
3
4 56.76
57.00
58.44
59.80 31.60
33.20
31.30
31.50
Rataan 58.00* 31.90

A standart of healthy honeybee by Kleinschmidt and Kondos (1976) was the body of worker bee should contains 40% to 67% CP. Getting a range of over 40%, honeybee colonies should consume a minimum quality of pollen that contains at least 18% protein. Pollen from sorghum based on proximate analysis content of 18.68%.
According Mourizio (1975), pollen is protein forage that is needed by brood growth and development adult honeybees. In addition, pollen also contains fats, vitamins and minerals which are essential nutrients for the honeybees. According to Dietz (1975), the protein in pollen serves as the material for the formed of hypopherengeal gland located at the caput of worker honeybee that serve a shaper of royal jelly for the queen. Cale and Ruthenbuhler (1975) stated that for young honeybee, the protein will affected to hypopharengeal gland which then affects the bee’s ability to form food for the larvae and queen bees.
The low productivity of honey in the lack location of pollen source will result in less eager to move to find the source of nectar. Additionally also effected to number of honeybee colony (due to lack of ability of the queen bee to lay eggs). This will result in low production of honey produced by A. cerana which fell to 61.4% when compared to colonies that were given supplements such as bee bread A. dorsata.

VI. Conclusion
1. Forest honey harvesting techniques that used in Riau are (1) the “latak” installation conducted by the handler, (2) releasing the bee hive using traditional smoker, (3) cutting all strokes nests using bamboo knife, (4) dropping off the honey comb using container (ubol) that made of rattan, and (5) extracting and filtering.
2. After harvesting (on 28th day observation), the rest of honey stroke done through the cleaning process had a higher value (1260 cm2) if compared to the honey stroke which was uncleaned (960 cm2). The similar trend was seen in pollen and brood strokes which had higher values through the cleaning process compared to the uncleaned process.
3. The phenomenon of sialang tree in Riau instant tends to widely distribute to rural areas (middle to west district in Riau province) and the other wise distribution of sialang tree on the district closed to the coast is low. Similar trends occurred in the distribution of A. dorsata colony and forest honey productivity.
4. There are two districts that have highest forest honey productivity over 100 tons/year, there are Pelalawan (108.5 tons/year) and Kuantan Singingi (106.6 tons/year). Overall total honey productivity forest honey in Riau reached 438.75 tons in year 2008.
5. Placement of A. cerana on A. mangium plantations at the age of 2 and 3 years showed that honey productivity is 1.175 liters/month/colony. Mean while honey productivity at A. crassicarpa plantation at age 2 and 3 years reach 1.20 liters/month/colony.
6. Scarcity of pollen on plantation forest of A. mangium and A. crassicarpa result in lower CP of worker bees that will impact to the low productivity of honey produced by A. cerana to 61.4%.

Reference
Anonymous. 2012. Pembungaan (flowering). http:/ http://www.sanoesi.wordpress.com. Acces at July 13rd, 2012
Cale, G.H and Ruthenbuhler, W.C. 1975. Genetics and Breeding of the Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illonois
Dietz, A. 1975. Nutrition of the Adult Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illonois
Ditjen RLPS, 2001. Data Produksi Madu Indonesia tahun 1997 s.d 2000. http://www.dephut.go.id/informasi/Statistik/2001
Kapil, R.P. 1960. Observations of Temperature and Humidity to Apis indica. Journal of Apic Italy (27); pg 79-83
Kleinschmidt, G.J. and Kondos, A.C. 1976. The influence of crude protein levels on colony production. Australian Beekeeping 80. pp: 251-257
Mujetahid, M.A. 2007. Technique of Forest Honeybee Harvesting Praticed by Local Community around the Forest Area in District of Mallawa, Regency of Maros. Jurnal Perennial, 4(1) : 36-40
Murphy, C and Robertson, A. 2000. Preliminary study of the effects of honey bees (Apis mellifera) in Tongariro National Park. Department of Conservation, Wellington,
Purnomo, Rochmayanto, Y., Junaedi, A., Aprianis, Y., dan Suhendar. 2007. Peta Sebaran Koloni Lebah Hutan (Apis dorsata) dan Data Produksi Madu di Riau ed 1. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok. Tidak dipublikasikan
Purnomo, Rochmayanto, Y., Junaedi, A., Aprianis, Y., dan Suhendar 2008. Peta Sebaran Koloni Lebah Hutan (Apis dorsata) dan Data Produksi Madu di Riau ed 2. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok. Tidak dipublikasikan
Purnomo. 2010. Potensi Nektar Pada Hutan Tanaman Jenis Acacia crassicarpa untuk Mendukung Perlebahan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok (tidak dipublikasikan)
Rennich, K., Petitis, J., 2, Vanengelsdrop, D. and Hayes J., 2011. National Honey Bee Pests and Diseases Survey Report. Pennsylvania State University, Pennsylvania
Riak Bumi Foundation, 2012. Forest Honey. http://www.riakbimi.or.id. Acces on June 6th 2013
Sihombing, D.T.H., 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Starr K. C., Schmidt, J.P., Schimdt, J.O. 1987. Nest-site Preference of Giant Honey Bee, Apis dorsata (Hymenoptera: Apidae), in Borneo. Pan-Pasific Entomologist 63(1); pp: 37-42
Thomas, D., Pal, N. and Rao, K.S. 2002. Bee Management and Productivity of Indian Honeybees. Journal of Apiculture in Tropical Climates (Apiacta) vol:3